Share

Bab 6 : Naresh vampir?

Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.

Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut.

"Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.

Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."

Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."

Luna mendelik, mengambil kembali ponsel miliknya. Dia menghapus jejak penelusuran yang dia cari tadi, dan anehnya dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia ingin mencari tahu mengenai makhluk mitologi yang sering disebut vampir itu. Ada perasaan penasaran yang kini bersarang dalam hati Luna. Walaupun dia tipikal orang yang selalu berfikir rasional, kali ini Luna benar-benar ingin mencari tahu kebenaran berita yang saat itu semakin marak dibicarakan masyarakat.

"Udah lah, lo sebenernya percaya kan kalo vampir itu ada?" kata Alice.

"Vampir itu gak ada," ucap Hans tiba-tiba menimpal.

Laki-laki manis itu menghampiri Luna dan Alice, lalu duduk di kursi kosong yang belum diduduki sang pemilik. "Buktinya apa kalo vampir itu ada?"

Alice memutar bola mata malas. "Buktinya banyak lah. Lo sering-sering deh nonton acara berita di tv, jangan nonton spongebob mulu yang digedein."

"T—tau dari mana gue suka nonton spongebob?" tanyanya seperti hendak menyangkal.

"Tuh." Alice mengedikkan dagu bermaksud menunjuk case ponsel Hans yang bergambar tokoh kartun spongebob.

Hans yang sadar langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam. Untungnya Alice tidak mempermasalahkan gambar case ponselnya, itu membuat Hans sedikit lega.

"Gue udah bilang vampir itu gak ada," kata Luna membuka suara. Merasa ada yang mendukung, Hans mengangkat sebelah tangannya, mangajak Luna adu tos.

"Nah iya, vampir itu emang gak ada. Lo jangan pernah percaya Lice," ucap Hans membenarkan perkataan Luna sembari mengacungkan jempol.

"Terserah lo deh. Lo ga jauh bedanya sama Luna." Gadis itu mendelik, memposisikan tubuhnya kembali menatap Luna.

"Woy, Hans! Lo liat Jeno ga?" sahut Rey yang baru saja masuk ke dalam kelas.

Hans mengangkat bahu, dia beranjak dari duduknya untuk kembali ke habitat asli laki-laki itu. "Tadi gue liat lagi dikerumunin cewek-cewek depan koridor," jawab Hans.

Rey mengangguk, akhir-akhir ini Jeno memang selalu jadi objek para siswi, tidak sedikit dari mereka yang datang ke kelasnya hanya untuk meminta tanda tangan, ataupun sekedar memberi hadiah kecil pada Jeno. "Ohh. Woy! mabar kuy lah!"

"Pubg?" Rey mengangguk mantap. Belum sempat bokongnya menyentuh permukaan kursi, Hans sudah berlari kecil menuju bangku Rey yang ada di bagian paling depan.

Di sisi lain, pandangan Alice tak sengaja menoleh ke arah Naresh dan Mark yang sedang duduk terdiam di bangku, entah apa yang mereka lakukan dengan benda pipih di genggamannya. Gadis itu diam-diam memperhatikan kebiasaan Mark dan Naresh. Sangat aneh, ketika berada di luar ruangan, mereka selalu memakai hoodie untuk menutupi sesuatu, tapi berbeda halnya ketika mereka ada di dalam kelas, jaket hoodie itu seolah bukan hal yang penting. Seketika, tindakan jahil terlintas begitu saja dalam otaknya.

Alice bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela kaca di samping kelas.

"Wah, panas banget gak sih hari ini? Pak KM, boleh gak gue buka kaca jendelanya?! Kayanya kipas angin gak mempan ngusir gerah yang melanda," sahut Alice sedikit berteriak pada Rey.

"Buka aja Lice!" jawab Rey tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan permainan game pubg.

Alice membuka pintu jendela dengan sangat hati-hati. Ekor matanya tidak pernah lepas menoleh ke arah Mark maupun Naresh. Rupanya kedua laki-laki itu tidak sadar. Dia menggeser jendela kaca ke depan, dan belakang, mencoba mencari posisi yang pas sebelum menguncinya.

"Ini kok macet ya."

"Pelan-pelan Lice, silau," kata Luna yang sedang menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, karena pantulan cahaya dari kaca jendela.

Gadis itu tetap berpura-pura menggeser kaca bermaksud agar pantulan cahaya matahari menyentuh Mark dan Naresh. Dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi kedua laki-laki yang menurutnya sangat aneh dibanding Hans dan Jeno. Apa mereka adalah vampir seperti apa yang ada di pikirannya selama ini?

Satu ... dua ... tiga ...

"AKH!" Naresh menjerit tertahan, ketika pantulan cahaya matahari tepat mengenai kulitnya. Laki-laki itu beranjak, dan limbung, terjatuh ke lantai sembari memegangi tangan sebelah kiri.

Hal itu membuat seluruh penghuni kelas terkejut, menoleh ke sumber suara. Mark yang duduk di samping Naresh ikut terkejut juga, dia menghampiri temannya yang sedang menahan sakit.

"Nana! Lo kenapa?!" Alice berlari, mengurungkan niatnya untuk membuka kaca jendela. Karena memang itu tujuan Alice.

Dia membekap mulutnya sendiri, ketika melihat asap putih mengepul dari tangan kiri Naresh, kulitnya tampak memerah, seperti daging sapi yang baru saja masuk ke dalam panggangan.

Gadis itu menghampiri Naresh tanpa ada rasa bersalah maupun takut. Mark kalap, laki-laki itu terlihat bingung harus melakukan apa pada temannya yang sedang menahan sakit.

"Akh! Panas!" pekiknya.

Alice mengambil alih lengan Naresh yang sebelumnya dipegang erat oleh si pemilik. Jemari lentik Alice terulur pelan ingin menyentuh permukaan kulit Naresh.

"JANGAN DISENTUH!" sahut laki-laki berwajah tegas yang menghampiri Naresh. Dia menghempaskan tangan Alice kasar, berusaha menjauhkan tangannya dari Naresh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status