Share

Bab 3 : Korban vampir

Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.

Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.

Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.

Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.

Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhluk hidup, tentu sama-sama butuh asupan untuk isi perutnya.

Dilihat, ada beberapa botol kaca dengan cairan kental berwarna merah pekat, dan daging yang masih segar. Entah daging apa itu, bulu-bulu halus masih terlihat jelas di permukaannya. Mungkin daging hewan hasil buruan?

Laki-laki itu mengambil satu potong daging berukuran sedang, dan sebotol minuman yang diketahui adalah darah.

Dia memotong daging sampai berbentuk dadu, menatanya ke dalam piring. Lalu sentuhan terakhir, laki-laki itu melumuri daging yang ada di atas piring dengan darah.

Sarapan pagi sudah siap. Dia duduk di meja makan sambil menikmati santapan sehari-harinya.

Slurp..

Satu laki-laki berwajah manis mengambil botol berisi darah yang tersisa setengah, dan meminumnya hingga kandas.

"Naresh. Aku harap kamu bisa bersikap sopan," ucapnya.

"Kau ini. Masih saja kaku dengan orang-orang sebayamu, Jeno. Kau ingat? Kita berdua lahir di tahun yang sama, 1021," kata Naresh yang menepuk bahu Jeno.

Jeno beranjak, dan mengambil piring bekas sarapan ke wastafel untuk dicuci.

Giliran Naresh yang membuka pintu kulkas.

"Apa kau yang menghabiskan minumanku?" tanya Naresh.

Jeno tetap melanjutkan tugas cuci piringnya. "Kau fikir di rumah ini hanya kau saja yang butuh makan?"

Naresh mendengus. "Setidaknya sisakan untuk besok. Ini hanya cukup untuk nanti malam saja."

"Kalau begitu, kau beli saja di pasar."

"Kau saja yang pergi. Kau lupa bahwa aku ini vampir?" ucapnya.

Jeno mengangkat bahu, dia berjalan meninggalkan dapur. Naresh mengikuti Jeno dari belakang.

"Lalu apa hubungannya dengan identitasmu?" kata Jeno yang duduk di sofa, dan mulai menyalakan layar televisi.

Naresh duduk di samping Jeno.

"Aku tidak tahan melihat darah. Kau ingin aku membabi buta di sana?" ujarnya.

Jeno bertumpang kaki dan tetap fokus melihat acara berita pagi itu.

"Sedang apa kalian?" tanya Mark yang baru saja datang. Laki-laki itu duduk bergabung dengan Jeno dan Naresh.

"Stok makanan kita sudah habis. Kau mau pergi ke pasar? Aku sudah memesan pada pedagang seperti biasa." Jeno bersuara.

Mark mengangguk dan sedikit berfikir. "Ah, sepertinya tidak. Aku akan pergi ke Itopera, menemui ibuku. Kau saja dengan Naresh."

"Dia tidak mau."

"Kalau begitu, biar Hans yang menemanimu."

Mau bagaimana lagi, Jeno hanya mengangguk tanda setuju.

"Hans! Kemari! Hans!" teriak Mark.

Anak laki-laki dengan setelan piyama bermotif bunga matahari menuruni tangga. Wajah yang terlihat lecek menandakan bahwa dia baru saja bangun dari tidurnya.

"Apaan? Ganggu orang lagi tidur aja," ucapnya sembari mengucek kedua mata yang terasa rapat.

"Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" tanya Jeno saat menelisik Hans.

"Emang ada yang salah?"

"Kau jangan mengikuti kebiasaan manusia. Berpakaian seperti kaum kita ketika berada di dalam rumah. Bagaimana jika Lord tiba-tiba datang kemari. Jangan pakai baju itu lagi," kata Jeno memberi peringatan.

Hans hanya mengangguk lemas.

"Iya, iya. Jadi kenapa kalian manggil gue."

"Bicara yang benar!" peringat Jeno sekali lagi.

"Sialan. Salah mulu gue," gumamnya.

"Iya! Jadi kenapa kalian memanggilku?"

Jeno bersmirk. "Temani aku ke pasar."

Hans menggeleng cepat. "Engga! gue ga mau. Kaya emak-emak aja ke pasar," tolaknya.

"Hans! Perbaiki perkataanmu!" sahut Jeno lagi.

Laki-laki itu mengacak rambutnya. "Ah elah ribet amat ngomong juga. Jangan kaku amat kaya kenebo kering dah."

Jeno menatap Hans dengan tatapan tajamnya, kilatan cahaya berwarna biru terpancar. Hans menelan salivanya bulat-bulat.

"B—baik. Akan aku temani. Tunggu!" Hans berlari menuju kamarnya.

Tentu untuk menghindari tatapan dari Jeno. Ditambah dia juga takut berhadapan dengan werewolf berdarah demigod. Elf seperti dirinya bukan tandingan Jeno, yang ada dia akan mati dicabik.

"Kau ini, jangan menakuti Hans seperti tadi," ucap Mark terkekeh, dan berlalu dari hadapan Jeno.

Jeno pergi ke kamarnya juga untuk berganti pakaian. Tidak mungkin dia memakai jubah kebesaran di luar, dia akan dianggap sedang mengikuti event costum halloween oleh manusia.

Tidak sampai dua detik laki-laki itu sudah berada di dalam kamar. Apalagi jika bukan karena kekuatan super yang dimilikinya. Dia memilih baju yang kira-kira cocok dengannya. Walaupun sebenarnya, laki-laki itu akan tetap terlihat tampan memakai baju atau setelan manapun.

Jaket hoodie dan celana jeans yang sedikit sobek di bagian lutut menjadi pilihan Jeno.

Dia segera turun dan keluar rumah untuk menunggu Hans di dalam mobil.

"Maaf, terlalu lama," kata Hans yang baru saja memasuki mobil. Laki-laki itu segera memakai seatbelt.

Jeno menjalankan mobil menuju pasar. Tidak ada perbincangan apapun, seperti biasa, hingga akhirnya Hans angkat bicara.

"Kau sudah baca artikel terbaru?" tanya Hans.

"Hm," jawab Jeno dengan deheman.

"Apa itu Naresh? Mark?"

Jeno menggeleng. "Bukan. Mereka tidak menggigitnya. Aku tidak bisa mencium aroma pelaku, dia memiliki kekuatan manipulasi yang kuat."

"Apa mereka vampir bangsa Zabura?" ucap Hans menebak.

Jeno tidak menjawab, dia sendiri masih tidak yakin bahwa yang melakukan itu adalah kaum iblis, bangsa Zabura.

"Jika itu perbuatan vampir bangsa Zabura, apa alasan mereka membunuh manusia?" tanya Hans yang masih ingin bertanya.

Jeno menghela nafas. "Tentu saja untuk dibangkitkan kembali, dan menjadi Undead Races, pengikut kegelapan. Lalu menghancurkan kerajaan Verusa dan menguasai Itopera. Itulah kenapa kau, aku, Mark dan Naresh diutus Lord Jay ke dunia manusia. Untuk menjaga agar bangsa Zabura tidak mengambil mayat manusia untuk dijadikan senjata."

Hans mengulum bibir. Sebenarnya dia masih ingin bertanya, namun niatnya dia urungkan karena kini mereka sudah sampai di depan pasar yang dituju.

Jeno dan Hans keluar dari mobil, mereka memasuki pasar. Tidak terlalu ramai, mungkin karena sudah agak siang. Mereka mencari penjual daging langganan mereka.

"Selamat pagi," sapa Hans ramah.

Pedagang laki-laki paruh baya itu membalas senyuman Hans tak kalah ramah. Dia menghentikan kegiatannya yang sedang memotong beberapa ekor ayam.

"Eh. Pagi Hans, Jeno," ucapnya.

"Pesanan saya udah siap belum, hehe," kata Hans nyengir. Hal itu mengundang tawa dari bapak pedagang.

Bapak itu mengangguk mantap. "Udah. Udah bapak siapkan," katanya memberikan dua kantong plastik hitam besar pada Hans.

Laki-laki berkulit eksotis itu membuka plastik untuk memastikan. Ada banyak kantong plastik bening berisi darah hewan. Menciumnya saja sudah membuat Hans bergidik, bagaimana bisa teman-temannya meminum darah seperti itu. Dia masih bersyukur, karena dia seorang elf yang bisa makan layaknya manusia.

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian rajin sekali membeli darah? Bukan untuk kalian konsumsi kan?" tanya pedagang itu.

Hans gelapagan, tapi Jeno biasa saja. Memang pada dasarnya Jeno cuek, laki-laki itu sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan si pedagang walaupun memang itu kenyataan.

"Bukan. Ini untuk hewan peliharaan kami," jawab Jeno yang diberi anggukan dari bapak pedagang.

"Saya kira kalian vampir. Makanya sering beli darah," ujarnya mengundang gelak tawa dari Hans.

Jeno? tentu laki-laki itu hanya bereaksi datar.

"Ah si Bapak. Ada-ada aja bercandanya. Haha." Hans masih memaksakan diri untuk tertawa.

"Eh, tapi ini serius loh. Kemarin tetangga saya meninggal karena digigit vampir. Makanya saya inisiatif nyebar bawang putih di depan rumah."

"Bapak masih aja percaya tahayul. Vampir itu ga ada pak. Jangan percaya sama yang begituan. Mungkin aja tetangga bapak digigit nyamuk."

"Aduh, masa iya digigit nyamuk sampe meninggal sih," kata si penjual. "Lehernya kaya digigit taring waktu saya lihat."

"Semuanya berapa, Pak?" ujar Jeno setelahnya. Tampak laki-laki itu ingin segera pergi dari sana.

Ini tidak bisa dibiarkan. Semakin hari, semakin banyak korban yang diduga dihabisi oleh makhluk bertaring. Secepatnya dia harus tahu, sebenarnya siapa yang melakukan tindakan gegabah itu.

"Kaya biasa Jen," jawab si pedagang.

Jeno memberikan beberapa lembar uang kepada si penjual. Setelah itu berpamitan, lalu pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status