Share

Bab 2 : Apa vampir itu ada?

Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.

Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf.

"Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.

Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal.

"Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.

Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas.

"Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."

Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu datar, sementara Luna tidak peduli, yang dia harus lakukan adalah duduk di bangku dan memulai pelajaran yang sempat tertunda.

"Lun? Lo gapapa kan?" bisik Alice sedikit melirik Luna dengan ekor matanya.

Luna mengangguk seolah tidak terjadi apa-apa.

"Gapapa."

Jam pelajaran berlangsung selama dua jam. Selama itu pula murid-murid harus ekstra fokus walaupun hati, pikiran dan otak tidak sinkron dengan materi.

Kring!

Suara bel istirahat berbunyi. Semuanya bersorak gembira, akhirnya mereka bisa terlepas dari belenggu rumus menyebalkan. Satu per satu murid keluar meninggalkan kelas untuk pergi ke kantin, mengisi asupan amunisi yang terkuras selama pembelajaran.

Gadis itu berjongkok di bawah bangkunya, mencari sesuatu. Mata elangnya menelisik setiap penjuru, dia tidak tahu persis ke mana dia melempar benda berharga itu.

"Ayo Lun, ke kantin," kata Alice yang baru saja membereskan buku-buku miliknya di atas meja.

"Lo lagi nyari apa sih?" tanya Alice.

"Lo liat ponsel sama earphone gue ga? Perasaan tadi disini deh," ujarnya. Luna masih mencari di mana keberadaan dua benda itu.

Jika terjatuh, harusnya benda itu ada di lantai bukan?

"Nih. Punya kamu kan?"

Suara deep menghentikan kegiatan Luna. Ada tangan laki-laki yang kini menyodorkan ponsel beserta earphone milik gadis itu.

Luna menengadahkan kepala. Dia buru-buru bangkit dan mengambil benda yang dicarinya.

"Makasih," ucap Luna.

Laki-laki itu kembali ke tempat duduknya tanpa mempedulikan ucapan rasa terima kasih dari Luna. Aish! Bahkan dia tidak bereaksi apapun. Ingin rasanya Luna mencabik wajah laki-laki bernama Jeno.

Tapi, bukan Luna namanya kalau tidak bersikap ramah. Gadis itu mendekati Jeno yang sedang membaca sebuah buku tebal bersampul merah bergradasi hitam, buku yang cukup seram jika dilihat.

"Lo, mau dibeliin apa? Makanan? Minuman? anggap aja sebagai rasa terima kasih gue," ujarnya sembari tersenyum.

Sekali lagi, Jeno tidak bereaksi apapun. Jari tangannya membuka lembaran buku yang dia baca. Luna mengulum bibir, tangannya mengepal. Ini pertama kalinya dia diabaikan oleh orang, setelah Ayah dan Ibunya. Luna benci itu.

"Jeno! Lo denger ga sih temen gue bilang apa?" sahut Alice. Gadis itu pun ikut terheran dengan sikap Jeno yang kelewat dingin.

Jeno menolehkan pandangannya, dia menatap satu per satu gadis yang kini berdiri di depannya. Tatapan itu, tatapan paling tajam yang pernah mereka berdua lihat. Seram? tentu saja. Mereka seperti melihat pemeran antagonis dalam sebuah film.

Laki-laki itu mengernyit, menutup kembali buku miliknya. Dia melipat kedua tangan seperti orang angkuh.

"Kalau bicara yang sopan," ucapnya. "Kalian tidak sadar sedang berbicara dengan siapa?"

Luna menautkan kedua alis tidak mengerti. Berbeda halnya dengan Alice, gadis itu kini berkacak pinggang.

"Iya, gue sadar lagi ngomong sama siapa. Cowok super jutek! Jangan mentang-mentang lo cakep, terus seenaknya berlagak sok ngartis! Lo pikir lo siapa, hah?! Nenek moyang? Pake acara ngoreksi omongan gue!"

Jeno bangkit dari duduknya, jari telunjuk laki-laki itu melayang ke arah Alice. Sementara Alice membusungkan dada, seperti bersiap untuk bertarung. Gadis tomboy itu sama sekali tidak takut.

"Jaga mulut kamu manusia tidak bermoral!" sahut Jeno.

Naresh, Mark dan Hans beringsut dari duduknya menghampiri Jeno. Mereka sangat was-was jika Jeno bertindak di luar batas. Begitu juga dengan Luna, gadis itu menahan tubuh Alice yang ingin memberontak.

"Udah, jangan diladenin," ucap Luna yang tidak didengar oleh Alice.

"COWO GILA! SINI MAJU LO, LO PIKIR GUE TAKUT! MANUSIA SOMBONG!" teriak Alice.

"Kamu! Dasar—"

Naresh memotong ucapan Jeno.

"Kita minta maaf. Jeno emang suka kaya gini. Maaf ya maaf," ujar Naresh.

"Kalian mending ke kantin. Biar kita yang eksekusi Jeno," timpal Hans sembari tersenyum.

"AWAS LO, JENO SIALAN! URUSAN KITA BELUM SELESAI!" sahut Alice. "LEPASIN GUE! GUE PENGEN CABIK-CABIK MUKA SI JENO! LEPASIN GUE! COWO GILA! WOY! JENO!"

Alice terus memberontak ketika Luna dan Mark ikut menyeretkan ke luar dari kelas.

Di dalam kelas, Jeno kembali mendudukkan dirinya di bangku. Tanpa sadar kedua mata laki-laki itu samar-samar berubah menjadi warna biru terang.

"Jeno, sampai kapan kamu tidak bisa mengontrol emosi? Ini di dunia manusia. Kamu harus paham sifat manusia, mereka memang seperti itu," peringat Naresh.

Jeno memijit pelipisnya dan mengatur nafas. Naresh benar, dia tidak bisa mengatur emosinya yang bisa meledak kapan saja.

🔱

🔱

"Udah gue bilang jangan emosian," ujar Luna.

Saat ini mereka berdua sedang membawa nampan berisi makan siang.

"Tapi dia duluan yang nyari perkara. Dia pikir dia siapa. Baru juga murid baru, tapi sombongnya minta ampun," jawab Alice membela diri.

Mereka duduk di bangku yang masih kosong. Kantin tidak terlalu ramai, bisanya banyak anak-anak nakal yang selalu mericuhkan suasana, seperti menjahili orang-orang yang sedang makan, menyuruh murid kurang mampu untuk membelikan mereka cemilan, dan sebagainya.

"Awas aja, gue ga bakal biarin si Jeno hidup tenang karena berurusan sama gue. Dasar manusia pucet," umpatnya.

"Ga boleh gitu, ga baik," kata Luna sembari menyuapkan chicken katsu kedalam mulutnya.

Alice tidak peduli. Bagaimanapun, Jeno harus diberi sedikit pelajaran. Gadis itu memainkan ponsel saat makan. Dia menscroll berita yang muncul dari bilah status benda pipih miliknya.

"OH MY GOD!" seru Alice.

Luna tersentak. "Apaan sih! heboh mulu kerjaannya."

Alice memang salah satu orang yang tidak baik untuk kesehatan jantung Luna.

"Lun! lo liat deh berita ini. Serem banget," ucap Alice memberikan ponselnya pada Luna.

Luna mengambilnya dengan setengah hati, kali ini apa lagi yang membuat temannya itu sangat heboh. Gadis itu membaca berita yang dimaksud Alice.

"Seorang petani ditemukan tidak bernyawa di ladang gandum dengan luka gigitan dileher. Diduga gigitan itu ulah dari makhluk mitologi vampir."

Luna mengernyit. Berita macam apa itu? Vampir katanya? Ah, orang-orang terlalu banyak menonton film horror.

"Ga jelas banget beritanya," kata Luna memberikan ponsel itu pada Alice.

"Ga jelas gimana? itu udah jelas-jelas ada buktinya Lun. Kalo vampir itu beneran ada," ucap Alice yang keukeuh dengan pendapatnya.

Luna menggelengkan kepala. Dia kembali menghabiskan makan siangnya yang tinggal tiga suap lagi.

"Lun, udah banyak bukti kalo vampir itu ada. Salah satunya berita ini. Kemaren gue juga liat di artikel, beberapa bulan lalu ada korban yang sama persis kasusnya kaya gini," ujar Alice.

"Terus, lo pernah ketemu sama vampir ga?" tanya Luna.

Tentu Alice menggelengkan kepala. Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu merinding.

"Belum pernah kan? Berarti berita itu cuma hoax, cuma akal-akalan media aja biar trending. Lagian sampe sekarang belum ada berita penangkapan vampir juga. Semua berita itu masih abu-abu tanpa sebuah bukti. Lagian, lo sih kebanyakan nonton film horror," ujar Luna yang membuat Alice tutup mulut.

Ada benarnya juga apa yang dikatakan Luna. Tapi entah kenapa feeling Alice mengatakan bahwa berita itu benar adanya, bahwa vampir sebenarnya masih ada.

"Tapi Lun, kalo misalnya vampir itu beneran ada gimana?"

"Ya mungkin populasi manusia di bumi udah punah kalo vampir beneran ada."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status