Share

Chapter 8 - Edrick

Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.

“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.

“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”

Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”

Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”

“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”

Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena masakan Marissa.

“Martha,” Kakek Arnold meraih ponselnya, “Terima kasih atas bantuanmu.”

“Itu sudah tugas saya. Jangan berterima kasih. Justru aku senang karena ada perkembangan pada Eric.”

Tidak. Belum ada perkembangan sama sekali. Hasilnya baru bisa dilihat setelah Eric mencicipi sup ini. Tadi saja saat pertama kali datang, Marissa tahu Eric mungkin ingin marah dan segera mengusir Marissa. Tetapi, rasa sakitnya mengurungkan niatnya.

“Baiklah, sekali lagi terima kasih. Maaf mengganggu liburanmu.” Kakek Arnold memutus sambungan telepon bersamaan dengan sup yang telah matang sempurna.

Marissa mundur beberapa langkah, membiarkan pelayan menyajikan masakannya. Marissa tak henti-hentinya berdoa di dalam hati, semoga Eric suka.

“Serahkan makanannya pada Alex. Dia pasti menunggu di depan kamar Eric.”

Salah satu pelayan yang bertugas membawa makanan untuk Eric mengiyakan lalu beranjak meninggalkan dapur. Sedangkan dua lainnya sibuk membereskan peralatan yang sebelumnya Marissa gunakan.

“Kakek, sepertinya aku harus pergi sekarang,” kata Marissa tanpa b**a-basi. Ia tidak mau tinggal lebih lama di sini.

“Kenapa?”

“Temanku pasti khawatir karena aku tiba-tiba menghilang, Kek.”

Kakek Arnold menggeleng, “Tenang, aku sudah meminta bosmu untuk menyampaikan keadaanmu pada Anna.”

Marissa terdiam. Seberapa jauh Kakek Arnold mencari tahu tentang dirinya? Bahkan nama sahabatnya sudah Kakek Arnold ketahui.

“T-tapi, aku masih harus pergi, Kek.”

“Beri tahu aku alasanmu.” Kakek Arnold bersedekap.

Marissa mengacungkan jari telunjuk ke udara, “Pertama, aku tidak nyaman, Kek,” lalu jari tengahnya, “Kedua, Eric tidak akan senang jika aku masih di sini.”

Baru saja Kakek Arnold ingin menyela, Marissa cepat-cepat melanjutkan, “Kakek, aku tahu maksud Kakek baik. Kakek ingin Eric sembuh. Tapi, aku rasa bukan aku orangnya. Eric harus menemukan orang yang dia cintai terlebih dahulu baru setelah itu membiarkan pasangannya melewati batas privasinya.”

Jeda sejenak sebelum Marissa melanjutkan, “Kalau mendadak seperti ini, aku takut Eric malah membenciku atau bahkan pada Kakek.”

Marissa pikir, Kakek Arnold akan menentang pendapatnya. Seperti biasanya. Kali ini, berbeda. Kakek Arnold terdiam beberapa saat lalu senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Kau tahu, Marissa?”

Alis Marissa terangkat tinggi, menunggu Kakek Arnold melanjutkan.

“Aku semakin yakin menyerahkan Edrick padamu.”

Ow, tunggu! Kata-kata Kakek Arnold barusan seperti menyerahkan anak perempuannya pada laki-laki kaya yang menjanjikan hidup sejahtera dan bahagia. Padahal Marissa hanya perempuan biasa yang saking biasanya sampai dikhianati oleh laki-laki seperti David.

Oh, astaga. Lagi-lagi Marissa mengingat David.

“Kakek, aku minta maaf karena harus mengatakan ini,” kata Marissa hati-hati. Kakek Arnold mengangguk.

“Aku dan Edrick belum tentu saling menyukai. Aku baru saja dicampakkan, sementara Edrick masih terus mengingat masa lalunya. Kita berdua hanya seperti pasien yang kebetulan dirawat di ruang inap yang sama.”

Kakek Arnold menepuk pundakku lembut, “Aku tahu. Aku melakukan ini bukan berarti tidak memikirkan kemungkinan lain yang bisa terjadi. Tapi, jujur aku memang sangat berharap, Marissa.”

Kakek Arnold kembali menjadi Kakek yang keras kepala.

“Tidak ada yang tidak mungkin. Bisa saja hari ini kau bilang tidak suka, tetapi besok, Minggu depan, bulan depan atau tahun depan, jawabanmu akan berubah. Perasaan manusia mudah berubah, Marissa.”

Iya, Marissa tahu akan itu. Semudah membalikkan telapak tangan, kan? Begitulah David meninggalkannya. Oh, tidak! Lagi-lagi David. Marissa merutuki dirinya sendiri. Ini pasti efek dari David yang tidak henti-henti menghubunginya tanpa kenal waktu.

“Kenapa Kakek begitu yakin padaku?”

Kakek Arnold tersenyum cerah, “Karena kau sederhana, mandiri, dan yang paling penting kau setia. Kau bahkan tidak goyah dan tetap setia pada kekasihmu yang tidak seberapa itu meski disodorkan cucu dari seorang Kakek kaya raya.” Penjelasannya diakhiri gelak tawa.

“Semua yang ada pada dirimu tidak aku temukan pada mantan-mantan cucuku.”

Marissa menunduk, menyembunyikan senyumnya karena Kakek Arnold terus memujinya. “Bukannya lebih baik menikahkan cucu Kakek dengan yang setara dengan kalian? Seperti novel-novel yang aku baca, demi memperkuat bisnis.”

Kakek Arnold menggeleng, “Tidak, tidak. Aku tidak perlu menantu kaya. Perusahaanku sudah lebih dari cukup dan kuat.”

Sebenarnya, perkataan Kakek Arnold barusan termasuk sombong. Tetapi, anehnya Marissa malah tersenyum. Keduanya lalu menoleh bersamaan ketika sadar akan kehadiran seseorang di tengah-tengah mereka.

“Oh! John, mana dokter Bella?” Kakek Arnold menghampiri John.

“Dokter Bella ada di ruang tamu.”

Kakek Arnold mengangguk-angguk kemudian menoleh ke arah Marissa. “Kau ingin pulang, kan? Kali ini aku tidak akan menahanmu karena alasanmu sangat masuk akal. Biar John yang mengantarmu.”

Syukurlah. Marissa tak harus terjebak dalam istana ini.

***

Marissa dan Anna kompak menjatuhkan tas yang sejak tadi mereka tenteng begitu masuk ke dalam penthouse. Mulut Marissa bahkan terbuka lebar dengan mata yang sama lebarnya. Bagaimana tidak? Pemandangan di depannya ini seperti mimpi.

“Marissa, kau tahu? Ini benar-benar gila.” Anna sampai geleng-geleng kepala.

Marissa mengerjap beberapa kali agar segera sadar, “Kau benar. Kali ini aku setuju denganmu.”

Marissa pikir, pulang yang dimaksudnya sama dengan apa yang dipikir Kakek Arnold. Nyatanya tidak. John memang mengantarnya ke apartemen hanya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan. Saat itu, Marissa jelas menolak ketika John bilang Kakek Arnold telah menyediakan tempat yang aman dan sangat privasi agar paparazzi tidak menemukan Marissa. Kakek Arnold sudah sangat baik padanya dan ia tidak ingin menambah beban karena Kakek Arnold lagi-lagi memberinya sesuatu. Sialnya, Anna justru lebih bersemangat dari Marissa dan segera mengemas barangnya sesuai perintah John.

Akhirnya Marissa mengalah dan memutuskan tinggal di sana selama beberapa hari saja. Hanya sampai keadaan kembali normal. Tetapi, Marissa tidak tahu bahwa ia dan Anna akan di tinggal di sebuah penthouse super mewah.

“Sisa barang Anda akan sampai esok hari,” ucap John tiba-tiba.

Marissa berbalik cepat dengan kening mengernyit, sementara Anna entah pergi ke mana. “Barangku? Kau yang bawa?”

John mengalihkan pandangannya sambil berdehem dan kembali menatap Marissa, “Jangan salah paham. Bukan saya yang mengemas barang Anda, tapi para pelayan dari rumah Kakek Arnold.”

Marissa menghela napas lega, tetapi sedetik kemudian ia sadar akan sesuatu, “Eh! Tunggu. Kau tidak usah mengemas semua barangku.”

“Tapi saya menjalankan perintah Kakek Arnold.”

Marissa menggeleng tidak setuju. Biarpun itu perintah Kakek Arnold, Marissa masih punya hak untuk menerima atau menolak. “Jangan. Aku hanya tinggal beberapa hari di sini.”

Masih dengan air muka kakunya, John menjawab, “Kakek Arnold bilang Anda akan seterusnya tinggal di sini.”

“Oh, astaga!” Marissa memijit pelipisnya yang mendadak pening. Lagi-lagi Kakek Arnold bertingkah semaunya. “John, seharusnya kau juga mendengarkanku. Aku bilang jangan pindahkan semua barangku.”

“Saya tidak ingin dipecat.”

Marissa memejamkan kedua matanya. “Bisa hubungi Kakek Arnold? Aku ingin bicara dengannya.”

Tanpa kata, John merogoh saku dibalik jasnya. Menggulir layarnya sebentar lalu menyerahkannya pada Marissa.

Sembari menunggu orang di seberang sana mengangkatnya, Marissa melangkah agak menjauh dari John. Sekarang, pandangannya mengarah pada dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota lampu. Dua puluh enam tahun hidup di dunia, ini pertama kalinya Marissa menyaksikan pemandangan seindah ini.

[John, ada apa?”]

Marissa sedikit tersentak ketika ponsel yang sejak tadi ia tempelkan di telinga akhirnya mengeluarkan suara. “Oh, Kakek. Ini aku, Marissa.”

[Oh! Marissa. Bagaimana? Kau suka, kan?”]

Marissa menjalankan jari-jarinya di dinding kaca, “Aku suka, Kek. Tapi, bukankah ini sedikit berlebihan?”

[Berlebihan apanya?]

“Kakek, aku tidak bisa seterusnya tinggal di sini. Aku punya apartemen sendiri.”

[Kau tidak aman di sana, Marissa. Keamanannya sangat buruk.]

“Aku tinggal bersama Anna, Kek. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Apa Kakek lupa, aku bahkan melumpuhkan pencuri yang ingin mencelakai Kakek?”

Kakek Arnold terdengar mendengus di seberang sana, [Dia memang lemah, Marissa.]

Marissa tersenyum, “Jadi?”

Jeda beberapa saat sebelum akhirnya Kakek Arnold menjawab, [Astaga, baiklah. Kali ini kau menang lagi.]

“Terima kasih, Kakek.”

[Tunggu, aku hampir lupa memberi tahumu. Aku menyuruh Edrick menemuimu karena hotelnya tidak jauh dari tempatmu. Dia belum sampai?]

“A-apa? Edrick?”

“Marissa?”

Itu suara Edrick!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status