Share

Chapter 7 - Sisi Tersembunyi Eric

Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh.

“Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini.

Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.”

“Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya.

“Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John.

“Eric? Kau kenapa?”

Marissa berbalik mendengar suara Kakek Arnold. Di sana, dari arah tangga, Kakek Arnold mempercepat langkahnya menghampiri cucunya. Meski kadang bertengkar, Marissa bisa lihat betapa Kakek Arnold khawatir. Beliau sama sekali tidak menyembunyikannya.

“Kenapa tidak ke rumah sakit? Untuk apa repot-repot membangun rumah sakit, kalau kau tidak menggunakannya di saat-saat seperti ini!” Kakek Arnold murka.

Marissa menelan salivanya susah payah, selain memiliki perusahaan besar. Keluarganya ini juga membangun rumah sakit? Oh astaga, apa lagi yang mereka tidak miliki?

Dari belakang, Marissa bisa melihat dengan jelas pundak Eric yang semakin merosot. Mungkin ia sudah tidak kuat berdiri dan butuh tempat untuk merebahkan tubuhnya.

“Kakek, jangan berlebihan,” ucap Eric lemah.

Kakek Arnold melotot, hampir mengayunkan tongkatnya seandainya John tidak cepat menahan. “Kau! Dari dulu tak pernah bisa mendengar kakekmu ini!”

“Kakek, aku hanya butuh istirahat.”

Kakek Arnold mendesah berat lalu membiarkan Eric menaiki anak tangga yang entah jumlahnya ada berapa. “Anak itu benar-benar!”

Kali ini Kakek Arnold melarikan pandangannya ke arah John, “Hubungi Dokter Bella. Anak itu harus diperiksa. Minta Dokter Bella agar secepatnya datang. Kalau perlu jemput dia.”

“Baik.”

Pandangan matanya yang mengikuti langkah John akhirnya berhenti ketika melihat Marissa. Kakek Arnold tersenyum. Marissa balas tersenyum meski agak dipaksakan. Marissa merasa pemilihan waktunya datang ke sini salah.

“Marissa,” Kakek Arnold menghampiri Marissa kemudian merangkul bahunya, “Maaf karena aku lupa kalau kau ada di sini.”

“Apa aku sebaiknya pulang, Kek?”

Kakek Arnold menggeleng tak setuju, “Tidak, tidak. Aku senang kau ada di sini. Tidak perlu khawatir.”

“Tapi, sepertinya Eric merasa tidak nyaman karena keberadaanku.”

“Bagaimana kau tahu?” Alis Kakek Arnold terangkat tinggi.

Marissa melongo tak percaya. Kalimat barusan hanya basa-basi karena dibanding Eric, Marissa lah yang justru merasa tak nyaman. Kakek Arnold menghela napas panjang, “Sejak kedua orang tuanya meninggal, sejujurnya Eric tidak bisa menerima orang asing masuk ke dalam rumah ini. Ini wilayah privasi bagi Eric.”

Kakek Arnold melepas rangkulannya sambil mengembuskan napas lagi. Seakan beban di pundaknya terlalu berat. “Aku sengaja mengundangmu agar Eric belajar menerima orang baru di rumah ini. Karena bagaimana pun, suatu hari ia atau Edrick akan menikah dan membawa pasangan mereka ke sini.”

Marissa mengikuti langkah Kakek Arnold lalu duduk saling berhadapan, “Bagaimana dengan bodyguard dan pelayan yang bekerja di sini?”

“Mereka punya bangunan sendiri, ada di belakang. Mereka yang tidak Eric kenal hanya aku perbolehkan bekerja ketika Eric tidak berada di rumah.”

Marissa terdiam. Baru kali ini ia mendengar ada orang sejenis Eric. Marissa penasaran sebabnya namun itu terlalu lancang untuk menanyakannya pada Kakek Arnold.

“Kau lihat bodyguard botak yang tadi memapahnya?” Marissa mengangguk. “Itu orang yang paling Eric percaya. Hanya dia dan kepala pelayan yang boleh masuk ke kamarnya selain aku dan Edrick.”

“Kakek, bukannya aku sok tahu. Tapi, dibandingkan mengundangku bukankah lebih baik Eric dibawa ke seseorang yang memang ahli?” kata Marissa ragu.

Kakek Arnold melempar senyum tipis, menunduk sebentar dan kembali menatap Marissa, “Mereka menyerah. Mereka bilang, pengobatan apa pun akan sia-sia jika Eric yang sendirilah yang tidak menginginkan dirinya sembuh.”

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya. Eric 15 tahun, tiba-tiba melempar semua barang yang di hadapannya ketika aku membawa kepala pelayan baru karena kepala pelayan yang merawatnya sejak kecil memilih berhenti.”

Kakek Arnold berhenti sejenak sambil menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, “Mungkin karena kasihan, kepala pelayan yang lama kembali bekerja. Sampai hari ini.”

Semakin Kakek Arnold mengungkap diri Eric yang sebenarnya, semakin Marissa penasaran. “Kakek, bukannya waktu itu kau pernah bilang, Edrick lebih sulit menerima seseorang dibanding Eric?”

“Memang benar. Eric cukup sering menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Tapi, tak ada yang dia ajak ke rumah ini. Mereka semua hanya berakhir di apartemen dan tidak ada yang benar-benar diajaknya serius.”

Marissa mengerjap beberapa kali, ternyata Eric laki-laki semacam itu? Tetapi, bukankah itu wajar? Marissa akui, Eric tampan dan berkarisma. Belum lagi kekayaannya yang tidak akan habis beberapa turunan. Mendapatkan perempuan yang dia inginkan bukan hal yang sulit. Segampang membalikkan telapak tangan mungkin?

“Walaupun begitu, aku tetap berharap dia menemukan perempuan yang benar-benar ia cintai,” ungkap Kakek Arnold pelan sambil menerawang jauh ke depan.

Marissa tidak bisa merasakan apa yang Kakek Arnold rasakan. Tetapi, dari tatapan sendunya. Marissa bisa tahu betapa Kakek Arnold berharap selama ini. Ia ingin kedua cucunya bisa hidup selayaknya orang-orang di luar sana. “Pasti. Eric pasti bisa, Kek,” kata Marissa menenangkan.

“Terima kasih, Marissa. Sejak awal, aku tidak salah memilihmu.” Kakek Arnold tertawa menggelegar. Padahal baru saja tatapan dan nada suara tampak sedih. Perubahan emosinya bisa secepat itu?

“Oh, sebentar.” Tiba-tiba Kakek Arnold bangkit dari duduknya, “Aku harus menghubungi kepala pelayan.” Kakek Arnold menghela napas sambil mengutak-atik ponselnya, “Padahal ia sengaja mengambil libur hari ini.”

Marissa mengernyit, “Untuk apa? Bukankah ada pelayan lain”

Selain tiga pelayan yang tadi Marissa lihat. Kakek Arnold sendiri yang bilang masih ada yang tinggal di bangunan lain. Marissa yakin ada puluhan pelayan yang bekerja di istana seluas ini.

“Kalau kondisinya sedang sakit, Eric hanya mau makan masakannya.”

Kalau Marissa yang menjadi orang tua atau Nenek Eric. Sudah bisa dipastikan Marissa akan menikahkan Eric dan sang kepala pelayan. Hanya dia yang boleh masuk ke kamarnya dan memasak untuknya ketika sakit, mereka akan hidup bahagia selamanya.

“Oh! Marissa,” seru Kakek Arnold.

Marissa mendongak, “Ada apa, Kek?”

“Bagaimana jika kau yang masak?”

Alis Marisa terangkat tinggi, “Aku?” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Kakek Arnold mengangguk semangat, “Kita tanyakan resepnya pada kepala pelayan lalu kau yang masak.”

Marissa meringis. Mau ditolak, tetapi Marissa tidak enak hati. Kalau diterima, Marissa takut kemarahan Eric akan berimbas padanya. “Kakek, meskipun aku bisa masak. Aku tidak tahu bagaimana selera Eric.”

“Kau pasti bisa, Marissa. Bagaimana?” desak Kakek Arnold.

Jika Marissa menolak, ia tahu Kakek Arnold akan tetap membujuknya hingga jawabannya berubah. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Marissa mengangguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status