Share

Chapter 3 - Kandas

Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.

Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.

Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.

Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.

Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah lift khusus pegawai, sementara lift yang berjarak dua meter di sisinya dikhususkan bagi petinggi-petinggi perusahaan. Marissa menunggu lift terbuka sambil menggoyang-goyangkan paperbag di tangannya. Ia tidak sabar bertemu David.

Lift akhirnya terbuka. Kakinya bersiap mengayun namun urung ketika melihat pemandangan yang ada di hadapannya. David bersama seorang perempuan yang bergelayut manja di lengannya. Bahkan David sempat mengecup pelipis perempuan itu sebelum menyadari kehadiran Marissa.

“Marissa?”

“Marissa?” ulang perempuan itu. “Oh, ini yang namanya Marissa.”

Perempuan itu tersenyum cerah. Berbeda dengan raut wajah Marissa yang mendadak keruh.

“Selesaikan urusan kalian. Aku tunggu di mobil, sayang.”

Kedua bola mata Marissa nyaris melompat keluar ketika perempuan itu mendaratkan kecupan singkat di pipi David. Dan tanpa rasa bersalah melenggang pergi.

“Siapa perempuan itu?” tanya Marissa lemah.

David menyugar rambutnya kemudian menjawab, “Dia.. teman kantor.”

Marissa mendengus, “Teman katamu? Kau pikir aku percaya setelah melihat kalian bermesraan.”

“Jangan berlebihan, Marissa. Yang kau lihat barusan bukan bermesraan.”

“Apa kau bilang? Berlebihan?”

David mengangguk. Marissa berusaha memindai wajah David, barang kali di sana ada raut bersalah. Nyatanya, tidak ada.

“Marissa, apa kau tidak merasa bosan menjalani hubungan ini? Jujur saja, aku bosan. Saking bosannya, tidak bertemu dua bulan denganmu pun aku biasa-biasa saja.”

Pria di hadapannya ini bukan David yang ia kenal. Kekasihnya telah berubah.

“Jelaskan padaku, apa yang membuatmu bosan? Kita bisa memperbaikinya.”

“Tidak,” David maju selangkah, memegang kedua pundak Marissa, “Hubungan kita terlalu monoton dan kau atau pun aku tidak perlu memperbaikinya.”

Marissa menepis tangan David lalu mengambil langkah mundur. Air mata yang sejak tadi ia tahan, tak sanggup lagi ia bendung. “Kau salah. Kita bisa, David.”

“Jangan keras kepala, Marissa,” desis David.

Marissa mundur dua langkah, “Kita bahas ini setelah perasaan kita sama-sama tenang. Jangan mengambil keputusan sekarang. Oke?” Marissa berusaha keras menarik ujung bibirnya membentuk seulas senyum sebelum berbalik.

Lima tahun yang mereka jalani bersama tidak boleh kandas hanya karena rasa bosan. Marissa akan pulang dan menenangkan diri terlebih dahulu. Namun, baru beberapa langka menjauh. Tangannya dicekal.

“Marissa, hubungan kita harus berakhir.”

“Tidak!” Marissa menarik tangannya tapi David justru mempererat pegangannya. “Aku tidak mau.”

“Kau tidak masalah aku berselingkuh?” tanya David tersenyum miring. “Namanya Letta dan dia tahu bagaimana hubungan kita.”

Dari balik punggung David, Marissa melihat beberapa pegawai yang baru keluar dari lift. Mereka berkerumun, penasaran akan perdebatannya dan David. Sebagian dari mereka bahkan terang-terangan mengarahkan lensa ponselnya ke arah Marissa dan David.

“Aku menyukai Letta. Begitu pun sebaliknya.”

“Cukup!” Marissa memejamkan matanya. “Sekarang lepaskan aku.”

“Tidak, sebelum kau menerima bahwa hubungan kita telah berakhir.”

Sebelah tangannya yang bebas Marissa ayunkan dan mendarat di pipi David. Terdengar suara menjerit singkat dari arah belakang.

“Aku bilang lepaskan,” ucap Marissa geram.

David menoleh dengan tatapan tajam. Selama lima tahun menjalin hubungan, ini pertama kalinya David memandangnya penuh kebencian.

“Marissa, kau—“

“Lepaskan tanganmu.”

Suara berat dan dalam itu menginterupsi Marissa dan David. Mereka berdua kompak menoleh.

“Mr. Smith?” David melepas tangan Marissa, mundur selangkah lalu menyatukan kedua tangannya ke depan.

Sementara Marissa tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Selain terkejut karena kehadiran Eric yang tiba-tiba. Marissa juga sedikit takut melihat tatapan tajam dan aura berwibawa yang menguar dari Eric.

Eric menarik siku Marissa dan menyembunyikannya di balik punggung lebarnya. Terkejut? Tentu saja! Apa maksud Eric melakukan ini?

“Lain kali carilah tempat yang nyaman untuk membahas hubungan kalian. Bukannya menyajikan tontonan untuk pegawai lain,” tegas Eric.

Marissa meneguk salivanya. Sindiran itu secara tidak langsung juga ditujukan pada dirinya, kan?

“Maafkan saya, Mr. Smith,” ucap David sambil menunduk.

Eric mengangguk, “Silakan pergi.”

David menurut. Begitu pun kerumunan pegawai yang sebelumnya berdiri di dekat lift. Mereka ke mana?

“Kau Marissa, kan? Yang waktu itu menyelamatkan kakekku?”

Marissa mendongak. Ia baru sadar kalau mereka sudah berdiri berhadap-hadapan.

“Iya. Hmm, soal yang tadi. Terima kasih sudah membantuku.”

“Anggap saja kita impas. Kau membantu kakekku, aku membantumu lepas dari kekasihmu.”

“Mantan,” ralat Marissa.

Eric manggut-manggut, “Iya, maksudku itu.”

Iya, mantan. Berbeda dari beberapa menit yang lalu. Marissa yang keras kepala, berusaha mempertahankan hubungan mereka. Kali ini, Marissa harus mengambil keputusan. Tersakiti atau melepaskan.

“Kalau begitu, aku pamit. Sekali lagi terima kasih.” Marissa berlalu dari hadapan Eric tanpa mendengar sahutan dari lelaki itu.

***

“Jadi, dugaanku benar?” Anna berjalan mondar-mandir di hadapan Marissa yang tengah duduk menenangkan perasaannya.

Sesampainya di apartemen, sebenarnya Marissa ingin mengurung diri di kamar. Namun, radar Anna lebih cepat menyadari ada sesuatu yang berbeda dari temannya. Mata Marissa masih sembab. Anna menahannya di sini dan melakukan interogasi.

“Iya.”

“Dasar laki-laki kurang ajar! Kau tidak lupa menghajarnya sebelum pulang, kan?”

Marissa mendongak. Kemampuan karate yang ia pelajari selama bertahun-tahun tidak berlaku untuk David. Perasaan cinta yang ada di hatinya mengalahkan keinginannya membuat David babak belur.

“Kau tidak menghajarnya?” Suara Anna meninggi.

Marissa menggeleng lemah, “Aku tidak tega, Anna.”

“Tapi, dia tega menduakanmu Marissa. Kau seharusnya juga tega.”

Marissa menghela napas panjang, “Aku tidak bisa.”

Anna mendesah berat, “Baiklah! Kalau nanti dia muncul lagi di hadapanmu, biar aku yang menghajarnya.”

“Tidak perlu. Aku sudah menamparnya.”

“Kau pikir itu cukup?”

Meski memiliki tampang perempuan baik-baik. Jauh dalam dirinya, Anna termasuk perempuan tanpa belas kasih. Contohnya, seperti saat ini.

“Aku baru merasa cukup kalau satu giginya lepas dari gusinya,” sambung Anna.

Marissa tersenyum tipis mendengar kesangaran Anna. Bukannya takut, Marissa malah menganggapnya lucu.

“Mulai sekarang, jangan pikirkan brengsek itu. Aku akan mengenalkanmu dengan pria yang jauh lebih baik darinya.”

Laki-laki lain? Selama ini, Marissa sama sekali tidak pernah terbayang akan menjalan hubungan dengan laki-laki selain David. Hanya David satu-satunya yang Marissa harapkan menjadi pendampingnya hingga tua nanti. Namun, saat ini. Semua itu tinggal kenangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status