Share

Chapter 5 - Menolak dan Ditolak

Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.

Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.

“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.

“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.

Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.

Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.

“Lalu?”

“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.

Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas dari apartemennya, Marissa tetap merasa pengap.

“Aku memang sudah menganggap Marissa seperti cucuku sendiri. Apa yang salah dengan itu?” jawab Kakek Arnold acuh tak acuh.

Bagaimana Eric tidak semakin marah jika jawaban Kakek Arnold semenyebalkan itu. Kalau begini, Eric bisa saja menyalahkan Marissa sepenuhnya.

Ngomong-ngomong, satu lagi orang di ruangan ini tidak berbaur sama sekali. Edrick tampak tenang dan tidak terusik dengan pertengkaran Kakek dan adiknya.

“Aku tidak masalah kalau memang Kakek menganggapnya cucu tapi tidak usah dipublikasikan. Cukup aku dan Edrick yang tahu,” suara Eric naik satu oktaf.

Marissa menelan ludahnya takut. Tubuhnya serasa semakin menyusut mendengar ucapan Eric.

“Harus. Itu cara untuk melindungi Marissa.”

Eric menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “Edrick, aku mohon katakan sesuatu.”

Laki-laki itu akhirnya berbalik. Ia terdiam lama dan Marissa tanpa sadar terus menatapnya. Sebelumnya, Marissa tidak berani menatap Edrick saat berada di lobi bersama karyawan lain.

Rambutnya dibiarkan jatuh menutupi keningnya, tak seperti Eric yang ditata ke atas agar kening mengkilapnya terlihat. Wajahnya juga tampak teduh, berbanding terbalik dengan adiknya yang tegas. Satu lagi, pakaiannya. Eric dengan jas licinnya, Edrick dengan jeans dipadu kaus dan mantel panjang.

Edrick mengedikkan bahu, “Kalau Kakek bisa mengatasinya sendiri, aku tidak masalah.”

Selain luarnya berbeda. Ternyata dua bersaudara ini punya sifat yang juga berbanding terbalik.

Kakek Arnold tertawa penuh kemenangan, “Lihat, kan? Kakakmu saja tidak masalah.”

Eric menggeram tertahan di kursinya, “Kakek, dia itu hanya orang asing yang kebetulan menyelamatkan Kakek waktu itu. Bukan berarti Kakek bisa mempercayainya!”

“Hei, anak muda. Jangan mulutmu.” Kakek Arnold memperingatkan lalu menoleh ke arah Marissa.

“Kakek, sebaiknya aku pulang saja,” bisik Marissa.

“Jangan! Kau harus berkenalan dengan Edrick terlebih dahulu,” ucap Kakek Arnold lantang. Marissa sampai tersentak di tempat duduknya.

“Bukankah itu tujuan kita datang ke sini?” tanya Kakek Arnold.

Bukan tujuan kita, tapi tujuan Kakek seorang diri, batin Marissa. Dengan hati-hati, Marissa melirik Edrick. Laki-laki itu juga tengah menatapnya dengan kening berkerut.

“Aku?” Edrick menunjuk dirinya sendiri.

"Tidak!" seru Marissa tiba-tiba. kata-kata Kakek barusan seakan Marissa yang sangat ingin berkenalan. Padahal, kan tidak. “Bukan beg—”

“Ya! Kakek ingin kalian berdua berkenalan. Kakek rasa kalian akan cocok satu sama lain,” potong Kakek Arnold.

Marissa meringis. Ia pikir Edrick sudah tahu rencana Kakeknya dan mengiakan, makanya Edrick ada di sini sekarang. Nyatanya, tidak.

“Bagaimana Marissa?” tanya Kakek Arnold tiba-tiba.

“Bagaimana apanya?”

“Bagaimana Edrick? Dia jauh di atas mantan brengsekmu itu, kan?”

Mata Marissa melotot kaget mendengar umpatan yang keluar dari mulut Kakek Arnold. Ternyata orang kaya dan berkelas semacam Kakek Arnold bisa mengumpat juga.

“I-iya,” balas Marissa melirik Edrick sekilas.

“Kakek, Edrick tidak akan mau,” sela Eric.

“Ini bukan urusanmu, anak muda,” sergah Kakek Arnold.

Eric memutar bola mata malas kemudian memutar kursinya menghadap jendela. Sementara Edrick memilih duduk di kursi di depan meja Eric.

“Jadi, ini alasan Kakek menyuruhku pulang?” Edrick tersenyum tipis.

Kakek Arnold mengangguk semangat, “Sudah saatnya kau mencari pasangan. Apa kalian berdua tidak kasihan padaku? Aku sudah bau tanah dan belum ada tanda-tanda kalian serius menjalani hubungan.”

Kakek Arnold mulai lagi. Bawa-bawa umur agar dikasihani.

Edrick mengubah posisi duduknya, menyerong ke arah Marissa, “Apa kakekku memaksamu datang kemari?”

Marissa menoleh ke arah Kakek Arnold yang hampir menyemburkan amarahnya, “Tidak!”

Edrick mengangguk pelan, “Tapi, kakekku meminta dengan wajah memelas, kan?”

Marissa diam. Takjub karena Edrick bisa tahu. Oh, tunggu! Itu wajar. Edrick cucu Kakek Arnold. Justru laki-laki ini lebih mengenal kakeknya sendiri.

Edrick menahan senyumnya, “Diammu berarti iya.”

“Hei! Tidak seperti itu,” bantah Kakek Arnold. “Sudah kubilang kalian itu tampak serasi. Selain itu, Marissa tidak akan mengkhianatimu.”

Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Edrick, menguap tak bersisa. Kursi Eric juga dengan cepat berbalik.

“Kakek!” Eric menatap punggung Edrick khawatir.

Kakek Arnold menghela napas panjang, “Bukankah sudah saatnya melupakan perempuan itu, Edrick? Kakek hanya ingin kau melupakan masa lalumu dan mulai menata hidup baru.” Suara Kakek Arnold tenang dan lemah. Seakan lelah akan sesuatu yang berhubungan dengan Edrick.

Butuh beberapa saat sampai akhirnya Edrick mengangkat kepala dan mengangguk pada kakeknya. Meski dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

“Benar. Tapi, aku tidak bisa menjamin perkenalanku dengan Marissa berhasil. Bisa saja kami tidak cocok,” Edrick melirik Marissa meminta bantuan.

“Ya! Bisa saja kami tidak cocok tapi untuk sekarang akan kami coba,” kata Marissa.

Kakek Arnold tersenyum cerah sembari menepuk-nepuk punggung Marissa. “Aku senang sekali mendengarnya.”

Marissa balas tersenyum. Membiarkan Kakek Arnold merasakan kebahagiaan. Karena dari jawaban Edrick, Marissa bisa tahu jika laki-laki itu enggan mengenal dirinya lebih jauh. Edrick memilih terjebak dimasa lalu, seperti yang Kakek Arnold katakan.

“Oh, tadi kau ingin pulang, kan?” tanya Kakek Arnold.

“Iya, aku akan pamit sekarang.”

“Edrick, tolong antar Marissa pulang,” perintah Kakek Arnold.

“Tidak usah! Aku bi—”

“Tidak apa-apa, Marissa. Biar aku yang mengantarmu pulang,” sela Edrick.

Baiklah! Cukup bertemu hari ini dan selesai!

“Oke.”

***

Hampir dua puluh menit berada di dalam mobil. Yang ada hanya sunyi. Marissa memilih diam, begitu pun Edrick yang sepertinya tidak ada niat memulai percakapan. Hanya ketukan jari Edrick ke setir mobil yang terkadang memecah keheningan.

Tanpa sadar Marissa menghela napas. Walaupun pelan, nyatanya suara kecil itu memancing Edrick menoleh ke arah Marissa.

“Pasti kau bosan.” Edrick terkekeh ringan. “Maaf, aku bukan orang yang pandai basa-basi. Kau tahu maksudku, kan?”

Marissa meringis, tak berani bahkan untuk sekadar melirik, “Ya! Lagi pula kita baru bertemu. Jadi, suasana seperti ini wajar.”

Edrick mengangguk samar, “Aku senang kau mengerti.”

Tak ada balasan yang keluar dari mulut Marissa. Cukup sampai di situ percakapan mereka, tidak usah dilanjutkan.

“Ngomong-ngomong, aku ingin meminta maaf atas nama kakekku,” ujar Edrick.

Marissa mengernyit lalu menoleh cepat, “Minta maaf?”

“Iya. Aku tahu, Kakek pasti banyak merepotkanmu.”

Kepalanya kembali ia arahkan ke depan. “Tidak juga. Aku tidak tahu seberapa merepotkannya Kakek Arnold karena baru mengenalnya.”

Edrick tertawa keras. Marissa sampai melongo menatap laki-laki yang duduk di sampingnya. Selucu itu?

“Kau ada benarnya,” kata Edrick setelah berhasil mereda tawanya. “Tapi, jujur. Begitu kakekku suka dengan seseorang, dia akan terus merepotkannya.”

“Suka?”

“Oh! Jangan salah paham. Maksudku, selama ini kakekku sangat jarang tertarik dengan orang luar. Bodyguard yang menjaganya saat ini pun butuh waktu berbulan-bulan agar menjadi orang kepercayaan kakekku.”

Marissa mengangguk paham membayangkan wajah kaku John.

“Kakek Arnold sulit mempercayai seseorang tapi juga kesepian,” gumam Marissa.

“Kesepian?”

Marissa menoleh cepat, tak menyangka Edrick mendengar suaranya. “Kau dengar?”

Edrick mengangguk lalu menepikan mobilnya di depan gedung apartemen Marissa. “Kenapa kau menganggap kakekku kesepian? Dia punya banyak teman dan orang-orang di sekitarnya.”

Marissa terdiam sejenak sebelum menjawab, “Keluarga. Kakek Arnold yang sulit percaya butuh seseorang yang ia anggap keluarga untuk menemaninya. Bukan teman atau rekan bisnis yang mengelilingi tiap hari. Kau tahu? Terkadang berada di tengah-tengah keramaian pun, seseorang bisa merasa kesepian.”

Marissa tersenyum bangga mengetahui kalimat bijak dan panjang itu bisa keluar dari mulutnya. Penasaran dengan respons Edrick, Marissa menoleh sebelum pamit turun dari mobil.

Tidak disangka, Edrick memandangnya. Marissa tidak tahu maksud tatapan itu. Bahkan setelah ketahuan pun, Edrick tidak berniat mengalihkan pandangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status