Share

Bagian 4 - Tolong, Jangan Lagi!

           Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak.

            Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersiap-siap untuk acara tersebut, tiba-tiba ponsel Kana berdering, “halo? Gimana, Han?” ucap Kana mengangkat telepon dari Hani.

            “Na, gimana toko? Udah beres semua?” Tanya Hani untuk berbasa-basi.

            “Udah, kok. Tinggal nunggu makanannya siap aja. Lo udah siap-siap?” Kana bertanya balik pada Hani.

            “Oh, gitu. Ini gue lagi siap-siap, kok.” Hani menjawab pertanyaan Kana dengan sedikit terbata-bata.

            “Sip, deh. Kenapa emang, Han? Ada yang mau disampaiin?” Kana merasa bahwa sahabatnya itu ingin membicarakan sesuatu di luar acara peresmian.

            “Emmm,” Hani berpikir cukup panjang, “enggak kok, Na. Nevermind!”

            “Yakin? Kalau ada apa-apa bilang.” Kana terlihat tidak yakin dengan jawaban Hani.

            “Iya kok, nggak ada apa-apa. By the way, beneran nggak ada yang perlu dibantu, kan?” Perempuan di seberang telepon itu seperti mengalihkan pembicaraan.

            “Ya, udah kalau emang nggak mau bilang. Iya, ini udah selesai, kok. Tinggal nunggu kalian aja. Bentar lagi udah jam 9 loh, buruan.” Ucap Kana sambil melirik jam dinding di depannya yang sudah menunjukkan pukul 08.35.

            “Siap, tuan putri. Ini tinggal rapiin rambut terus cusss. Tapi gue jemput Sisil dulu. See you!” Hani mulai mengakhiri telepon.

            “Iya, hati-hati, ya. See you!” Balas Kana yang kemudian langsung menutup telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian ia pergi ke pantry untuk mengecek kue dan hidangan lain yang akan disajikan.

            Tak lama setelah itu, datanglah mobil putih yang parkir tepat di depan pintu masuk toko. Dari dalam mobil, keluar laki-laki tinggi dengan kemeja polos warna cream dan lengan yang dilipat hingga siku. Laki-laki dengan bucket bunga mawar merah di genggaman tangan kirinya itu segera memasuki toko.

            “Eh, dr. Rian sudah datang.” Sambut nenek dari balik etalase kue dengan suara yang sangat keras dan terdengar sumringah atas kedatangan dr. Rian.

            “Pagi, Oma! Oma apa kabar?” Tanya psikiater muda itu dengan suara yang dapat membuat hati pendengarnya menjadi meleleh.

            “Ya, beginilah oma, selalu dalam keadaan baik.” Wajah dan penampilan nenek Kana memang terlihat luar biasa bersinar hari ini.

            Mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu sedang berbincang dengan nenek, Kana langsung bergegas ke depan tanpa membuang banyak waktu untuk menemui sumber suara percakapan itu berasal.

            “Kana sayang, dr. Rian udah datang, nih.” Nenek memberi tahu Kana yang baru saja muncul dari arah pantry.

            Seperti biasa, jantung Kana tak bisa untuk lebih tidak berdetak kencang. Baru juga ia mendengar suara dr. Rian, nyawa Kana serasa ingin terbang ke surga. Anehnya, di pagi ini Kana merasa malu untuk menatap dr. Rian. Bukan karena ada hal memalukan dalam dirinya, tetapi Kana takut hilang kesadaran saat itu juga. Dengan penuh senang campur rasa deg-degan, Kana terus melangkahkan kaki menuju dr. Rian.

            “Halo, Kana, apa kabar? Selamat ya atas peresmian mini cafe-nya!” Ucap pujaan hati Kana itu sambil menyerahkan bunga mawar yang terlihat nampak indah menurut Kana, karena diberikan oleh sosok terindah juga bagi hidupnya.

            ‘OH MY GOD! GUE GAK BISA DIGINIIN!’

            Kana terus menyebut nama Tuhan dalam hati. Baginya, didatangi oleh dokter yang dikaguminya itu sudah merupakan hadiah paling istimewa, dan sekarang ia mendapatkan tiga kali lipat dari yang ia harapkan sebelumnya. Kana mendapat kehadiran, senyum, dan juga bunga dari dr. Rian. Rasa bahagia dalam diri Kana sudah tidak terbantahkan lagi.

            “Makasih banyak, Dok. Kana baik-baik aja, kok. Malahan semakin hari semakin baik. Ini semua juga berkat bantuan dokter selama ini.” Jawab Kana yang terus berusaha tenang.

            “Bagus kalau begitu. Saya ikut senang. Itu semua karena kerja keras Kana. Pelan-pelan membuka diri lagi, ya. Nanti pasti bisa.” dr. Rian mengeluarkan jurus senyuman mautnya.

            “Iya, Dok. Kana coba.” Kana tersenyum semakin lebar, “ya udah, Dok, Kana mau taruh bunga ini ke sana dulu.” Lanjut Kana sambil menunjuk meja yang penuh dengan dekorasi. Kana akan meletakkan bunga itu sebagai hiasan.

***

            Jarum panjang menunjuk ke arah di antara angka 11 dan angka 12, pertanda bahwa jam 9 akan datang dalam waktu sekitar tiga menit lagi. Hani dan Sisil tiba di toko setelah Kana baru saja akan menelepon mereka.

            “Ya ampun, akhirnya dateng juga. Gue udah cemas banget ini.” Kana memprotes Hani dan Sisil dengan nada yang tetap halus.

            “Sorry, Na. Sisil nih kebiasaan. Gue udah bilang otw dari kapan, eh sampai rumahnya malah dia masih pilih baju.” Kata Hani menyalahkan Sisil.

            “Maaf, deh. Sisil kan pengen pakai baju bagus di acara Kana, jadi Sisil cobain satu-satu, deh.” Sisil merasa bersalah.

            “Dih, alesan banget.” Hani seperti tidak terima.

            “Ih, beneran. Beneran kok, Kana. Sisil nggak bohong.” Sisil memasang wajah memelas untuk meyakinkan Kana.

            “Iya, udah, nggak apa-apa, kok. Lagian belum jam 9 tepat. Gue cuma khawatir aja kalau kalian mendadak nggak jadi dateng.” Kata Kana memaafkan, “ya, udah, bentar lagi mau dimulai, nih.” Lanjut Kana mempersilakan.

            Acara pun segera dimulai. Peresmian digelar dengan begitu intim. Rangkaian acara juga singkat. Pada awalnya semua berjalan lancar dan aman. Sampai di satu waktu di mana Kana selesai menyampaikan pidato singkat, ia melihat laki-laki dengan kaos putih polos yang dibalut jaket bomber warna hitam berdiri di luar toko. Terlihat jelas lelaki itu berusaha mengintip suasana dalam toko. Laki-laki yang sepertinya tidak asing bagi Kana itu membuat Kana memikirkan sesuatu. Perasaan tak nyaman mengganggu dirinya saat itu. Ditambah lagi Hani dan Sisil yang mulai menembakkan confetti untuk menambah kemeriahan perayaan peresmian kecil tersebut, serta suara tepuk tangan atas pidato Kana yang semakin kencang terdengar. Perasaannya mulai kacau, seperti ada sesuatu yang mengganggu ingatannya saat ini. Tangannya semakin dingin dan tubuhnya sedikit bergetar.

            “Kana, are you okay?” dr. Rian mulai menyadari ada reaksi berbeda dari tubuh Kana yang tidak biasa.

            Kana mulai menutup rapat telinganya, “tolong berhenti,” pintanya sambil merengek.

            “Kana, kenapa sayang?” Nenek mulai cemas dengan tingkah Kana.

            Suasana mendadak hening. Kana mulai berlari ke arah pantry. Nenek mengikuti cucu kesayangannya itu, disusul oleh dr. Rian. Sesampainya di pantry, nenek semakin khawatir melihat cucunya itu duduk di pojokan sambil menunduk dan memeluk lututnya sendiri. Nenek tidak berani mendekat. Nenek menyerahkan semuanya kepada dr. Rian.

            “Kana, are you okay? Apa yang terjadi?” Tanya dr. Rian kepada Kana yang terus saja menunduk.

            “Kana coba lihat saya. Semua baik-baik saja. Ada saya dan Oma di sini.” dr. Rian mencoba menenangkan Kana.

            Kana langsung memeluk dr. Rian dengan erat. Tangis Kana pun menjadi pecah. Dr. Rian yang tak bisa banyak berkutik pun langsung membalas pelukan Kana. Berada dalam pelukan dr. Rian dapat membuat perasaan Kana menjadi lebih tenang, meski tubuhnya masih saja menunjukkan reaksi penuh ketakutan dan kecemasan. Dr. Rian mulai menebak-nebak di dalam kepala tentang apa yang terjadi pada Kana, tetapi ia tidak berani bertanya saat itu juga. Karena kondisi Kana yang kurang stabil, maka dr. Rian memutuskan untuk membawa Kana pulang dan membiarkannya beristirahat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status