Share

Bagian 2 - Melepas Rindu

Tok tok tok!

            Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong.

            “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut.

            “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna.

            “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”

            Kana segera menyelesaikan buah apel yang terakhir untuk dicuci bersih sebelum dipotong. Setelah selesai, Kana langsung bergegas menuju ruang tamu. Ketukan pintu masih saja terdengar seperti tidak sabar untuk segera dibuka oleh pemilik rumah. Belum sampai seperempat pintu terbuka, Kana terkejut melihat dua perempuan di hadapannya. Tak lama, dua orang tersebut segera memeluk Kana dengan begitu erat, seperti sedang melepas rindu yang sudah sejak lama membelenggu.

            “Kita kangen banget sama elo, Na!” Kata Hani, sahabat Kana yang sudah hampir dua tahun ini tidak pernah bertemu dengan Kana.

            “Sisil juga kangen sama Kana!” Sisil yang juga merupakan sahabat Kana tak mau kalah mengungkapkan rasa rindunya pada Kana.

            “Ya ampun, gue juga kangen banget sama kalian!” Kana perlahan melepas pelukan dan menatap mata kedua sahabatnya itu, “ya udah, masuk dulu deh!” Lanjut Kana sambil menutup pintu kembali dan meletakkan makanan pemberian Hani dan Sisil di atas meja.

            “Mau minum apa?” Ucap Kana menawarkan minum.

            “Amer ada, nggak?” Celetuk Sisil secara spontan.

            “Ah, apa sih, Sil. Jangan ngada-ngada, deh.” Hani segera menimpali celetukan Sisil.

            “Iya, iya. Bercanda doang, kok.” Sisil meminta maaf.

            “Kita apa aja mau kok, Na.”  Ucap Hani kepada Kana.

            “Oke, tunggu bentar, ya. Aku minta tolong mbak Lastri buatin minum dulu.” Kana segera berjalan menuju dapur.

            Tak lama kemudian, Kana kembali ke ruang tamu. Hani mulai memperhatikan penampilan Kana dari kepala hingga kaki untuk memastikan bahwa Kana dalam keadaan baik-baik saja karena selama hampir dua tahun ini Hani dihantui oleh perasaan cemas dan khawatir terhadap kondisi sahabat baiknya yang sudah ia kenal sejak SMP itu.

            “Kenapa, Han, kok liatin gue gitu banget? Nggak ada yang berubah kok dari gue.” Kana mencoba menebak isi kepala Hani dengan memberi penjelasan lebih dulu sebelum Hani menanyakan kabar kepada Kana.

            “Gue khawatir banget sama elo, Na. Lo kemana aja sih dua tahun ini nggak ada kabar? Lo marah juga sama kita, Na?” Hani bertanya dengan penuh rasa penasaran serta rasa cemas yang tak bisa disembunyikannya.

            Memang sudah hampir dua tahun ini Kana, Hani, dan Sisil tidak saling bertemu. Dua bulan sejak percobaan bunuh diri yang dilakukan Kana, Kana memutuskan tidak ingin bertemu dan berbincang dengan siapa pun kecuali orang rumah dan dr. Rian. Kana takut bahwa pertemuannya dengan orang lain akan membuat perasaannya semakin hancur karena ketidaksiapannya untuk kembali memulai hari baru. Bagi Kana, setiap orang memiliki sifat iblisnya sendiri-sendiri. Ia menjadi semakin takut dengan orang baik yang ada di sekelilingnya, akibat kejadian menyakitkan berupa pengkhianatan oleh sahabat dan mantan kekasih Kana. Namun, berkat terapi dan pengobatan rutinnya dengan dr. Rian, Kana merasa menjadi lebih baik dan mulai mencoba membuka diri dengan orang lain lagi.

            “Maafin gue ya, Han, Sil. Gue emang payah banget. Nggak tau, deh. Rasanya kayak udah nggak mau ketemu siapa-siapa lagi waktu itu. Selalu ngerasa nggak ada yang tulus sama gue.” Wajah Kana berubah menjadi sedih dan penuh rasa bersalah.

            “Kana, lo masih punya kita berdua. Kita bakal selalu ada buat elo, Na. Masalah Clarin sama Jovi, nggak usah dipikirin lagi, ya. Mereka cuma masa lalu.” Hani meraih tangan Kana untuk lebih menenangkan.

            Kana mengangguk dan tersenyum, “makasih, ya. Kalian emang sahabat yang paling baik.”

            “Iya, Kana. Nanti kalau Kana butuh hiburan, Sisil siap 24 jam, hehehe.” Kata perempuan mungil itu sambil tertawa kecil.

            Kana tersenyum penuh haru karena dua sahabatnya yang selalu menunjukkan kesetiaannya kepada Kana. Meski Kana pernah merasa kehilangan kepercayaan dengan semua orang, tetapi kehadiran dua sosok teman baiknya ini menyadarkannya kembali bahwa masih banyak manusia baik di sekeliling Kana. Kana sangat bersyukur atas hal itu.

            “Oh, iya. Rencananya semester depan gue mau lanjut kuliah lagi, nih.” Kata Kana memberi kabar kepada kedua sahabatnya.

            “Eh, serius? Gue ikut seneng, Na. Ya walaupun kita udah bakal jarang bareng-bareng lagi di kampus karena udah beda semester, gua sama Sisil juga udah semester tua lagi. Tapi gue janji bakal sering luangin waktu buat ketemu lo, kok.” Kata Hani dengan perasaan yang teramat senang mendengar kabar dari Kana.

            “Makanya, Hani jangan rajin-rajin banget ngerjain skripsinya, biar kita bisa sering main.” Timpal Sisil dengan nada meledek.

            “Apaan sih lo, Sil. Mending kerjain tuh skripsi lo, mikir judul aja nggak kelar-kelar.” Hani membalas ledekan Sisil.

            “Ihhh, jahat banget sih Hani.” Sisil mulai memasang muka kesal.

            “Udah, deh, kalian ini. Pokoknya kalian urus kerjaan kalian masing-masing dulu aja. Gue bakal baik-baik aja kok walaupun bakal lebih sering sendirian di kampus nanti. Kan kita masih bisa kumpul bareng di luar kampus.”

            “Ah, oke, cantik!” Jawab Sisil sambil mengacungkan jempol.

            Mereka bertiga kembali berbincang. Saling bertanya kabar satu sama lain, mengenang masa-masa kebersamaan selama kuliah dulu, hingga membuat rencana baru untuk kegiatan hangout bersama. Namun, di antara banyaknya topik pembicaraan, tak ada satu pun di antara Hani dan Sisil yang berani membahas hubungan Kana dengan Jovi, mantan kekasih Kana. Lebih tepatnya, Hani sudah membungkam mulut Sisil untuk tidak membahas masa lalu Kana. Meski pada awalnya Hani ragu karena Sisil merupakan orang yang sering tidak berpikir sebelum berbicara, tetapi ternyata Sisil mengikuti apa yang sudah diperintahkan Hani. Bahkan, keduanya juga tidak membahas Clarin yang merupakan salah satu sahabat mereka.

            Ya, dulu mereka berempat merupakan sahabat dekat yang selalu menempel satu sama lain dan saling menguatkan, serta peduli dengan keadaan Kana yang masih belum lepas dari trauma masa kecilnya. Saat ini Hani dan Sisil harus melupakan masa-masa indah dengan Clarin untuk menghargai perasaan Kana. Sejak hubungan Jovi dan Clarin di belakang Kana terkuak, tidak ada satu pun dari Hani maupun Sisil yang membuka pintu maaf untuk Clarin. Bahkan, mereka sudah tidak pernah saling menghubungi satu sama lain. Padahal, Clarin merupakan sahabat Kana dan Hani sejak mereka masih SMP. Tetapi ternyata lamanya persahabatan belum cukup dalam menguji kesetiaan.

            Ting!

Dering ponsel Hani tiba-tiba berbunyi. Terdapat notifikasi pesan masuk melalui W******p.

            'Hai, Han. Gimana kabar kampus sekarang?” Kata laki-laki itu melalui pesan W******p.'

            Jantung Hani berdetak semakin kencang seperti sedang mengikuti lari marathon. Bibirnya tanpa sadar menyunggingkan senyum yang berusaha disembunyikannya dari Kana dan Sisil. Tak biasanya pipi Hani merona seperti ini. Sepertinya laki-laki itu bukan sosok biasa bagi Hani. Tak langsung membalas, Hani malah mengunci lagi ponselnya dan berniat membalas pesan tersebut setelah pulang dari rumah Kana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status