Share

Kejutan Mengharukan

Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.

Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.

Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.

Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka.

"Kenapa dengan raut wajahmu?"

Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil.

"Kenapa kau harus datang ke sini?"

"Apa masalahnya?"

"Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengejekku, kini berbalik pura-pura baik demi mendapatkan tempat di hatimu." Sesaat terjeda dengan helaan nafas. "Oh, Asley, kumohon biarkan aku mendapat nomor ponsel saudaramu. Aku berjanji tak akan lagi ada bully untukmu. Cih!" Memperagakan dengan lagak yang menyebalkan.

"Baguslah."

"Bagus apanya?! Bagus karena kau bisa bermanja dengan gadis lain kan?!"

"Haha, sudahlah. Kita berangkat sekarang, sayang?"

Uuuhhh ... teriakan histeris para gadis itu saling berjingkrak melihat pesona Paul yang tersenyum ke arah mereka. Beberapa diantaranya malah ada yang mengejar mobil Paul hingga sampai tak terlihat kendaraan itu.

"Cih! Menyebalkan!" Melipat tangannya.

"Kau cemburu pada mereka, honey?"

"Untuk apa aku cemburu?"

"Benarkah? Jadi kau setuju jika aku memberikan nomor ponselku pada ... siapa tadi?"

Berlagak memperbaiki posisi spion demi melihat expresi Asley yang sangat menggemaskan menurutnya.

"Hem, berikan saja. Apa yang menjadi masalah?"

"Oh, baiklah. Kita putar balik sesaat untuk memberikan nomorku padanya."

"Kau putar haluan, aku turun!"

"Haha, sudah kuduga kau cemburu ...."

Kerasnya alat pemutar musik di dalam mobil itu mewarnai perjalanan mereka menyusuri sebuah jalanan yang berjarak langsung dengan lautan lepas.

Asley menadahkan tangannya membiarkan titik-titik salju menyentuh permukaan berbalut sarung wall itu.

"Kita mau ke mana?"

"Musim bersalju, sayang sekali jika kita lewatkan di rumah begitu saja."

"Jadi?"

"Aku akan membawamu ke suatu tempat yang belum pernah kau kunjungi."

Asley mengernyitkan dahinya, ia hanya menggeleng kepala sambil menekuk sikut membiarkan tangan menahan kepalanya yang mendongak menatap langit.

Lautan tampak putih ketika musim salju. Entah kemana arah laju kendaraan itu membawa mereka. Beruntung salju tak begitu tebal kali ini, sedikitnya sempat terbias cahaya mentari yang masih malu-malu menampakkan diri.

Sedikitnya aspal jalanan itu sudah mulai terlihat pada saat kendaraan menggilas habis hingga tampak kehitaman menjalar mengikuti kemana arah kendaraan melaju.

"Sebenarnya kita mau ke mana?"

Paul tersenyum puas pada saat hemparan salju itu menyambut serta berjejer pula beberapa pohon cemara di hadapan mereka. Beberapa bocah berpipi merah mengenakan sweeter berbahan wall itu tersenyum ke arah mereka, melambaikan tangan tertutup sarung cantik warna-warni.

Asley tersenyum takjub, beberapa tulisan membentang serta menjutai membuatnya mendongak memerhatikan tingginya pohon cemara berhias beragam gantungan boneka kucing berbulu.

"Happy Birth Day, honey."

Kecupan hangat itu mendarat sempurna di pipi Asley, membuat gadis itu menoleh haru dengan mata berkaca-kaca.

"Paul ...."

Asley memekik, memeluk tubuh itu dengan erat. Ini begitu gila. Perasaan itu semakin mendalam seiring dengan kecupan hangat Paul di pucuk kepala Asley yang tertutup ciput berbahan bulu domba.

"Kau menangis lagi? Ayolah, kenapa selalu seperti ini?"

"Aku terharu, Paul. Kenapa kau begitu selalu menyanjungku?" Asley menekan sudut matanya.

"Mereka semua anak asuhanku."

Asley menoleh, beberapa bocah itu masih tersenyum menampilkan deretan gigi, beraut penuh suka cita menyambut kedatangannya.

"Kau memiliki panti asuhan?"

"Bukan aku, tapi mereka yang memiliki diri sendiri. Aku hanya turut berbaur, merasakan apa yang mereka rasakan, tetap hidup bahagia tanpa orang tua."

"Jadi ini kejutan yang kau janjikan?"

"Kau tidak menyukainya?"

Asley menunduk, ia menggelengkan kepala sambil menutup wajah yang kian berlinang air mata.

"Ini kejutan terindah yang pernah aku dapat seumur hidupku."

Sesaat Asley menatap pohon cemara yang menjulang di antara kawanan bocah-bocah berlarian sambil bermain lempar salju.

"Di belakang setiap boneka tergantung itu terdapat harapan dan cita-cita mereka. Semua menggantungkannya di sini."

"Kenapa harus kucing?"

"Karena ... seseorang pernah berkata, kucing adalah hewan yang paling disenangi orang suci. Dan orang suci itu paling dekat dengan Tuhan."

Asley tersenyum. Itu adalah perkataannya tempo hari pada saat Paul bertanya kenapa ia sangat menyayangi hewan berbulu itu.

"Mereka percaya?"

"Sangat percaya. Setiap boneka kecil itu akan tergantung dengan berbagai harapan selama musim salju berlangsung."

Asley turun dari mobil itu. Berjalan menuju pohon cemara untuk membuka diantara salah satu boneka kucing berkantung di punggungnya.

Aku berharap, Tuhan sembuhkan penyakit cancer yang ada padaku.

_Joice_

Asley terkesiap dengan tulisan mungil yang ia yakin itu dari seorang bocah yang menyendiri sambil tertunduk pada buku serta balpoint di tangannya.

Sesaat Asley menoleh ke arah Paul, seolah ia mencari keyakinan untuk menghampiri bocah bersweeter hitam itu.

Paul mengangguk. Ia membiarkan Asley berjalan menghampiri bocah itu dan duduk di hadapannya.

"Ini milikmu, Joice?"

Gadis itu menoleh, tersenyum ke arah Asley yang kini tengah duduk di hadapannya hingga nyaris lutut itu saling bersentuhan.

"Bidadari," ujarnya membulatkan kedua mata biru yang indah, tapi berkantung mata.

"Bidadari?"

Bocah itu menunjuk ke arah Paul yang sudah berdiri tepat di belakang Asley.

"Kakak itu, sering membicarakanmu, dia bilang kau adalah ratu dari semua bidadari."

"Dia berkata seperti itu?" Asley tersenyum geli.

"Iya. Sebelumnya aku tak percaya, hingga sudah tampak di depan mata ternyata benar. Anda persis seperti bidadari."

"Emh, sayang. Kau terlalu memujiku."

"Anda begitu lembut, cantik seperti bidadari. Orang bilang, bidadari adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Bisakah anda menyampaikan surat ini pada Tuhan? Titip salam untuk kedua orang tuaku."

Bocah itu mendongak seolah memastikan jika kedua orang tuanya tenga melihatnya di atas langit.

"Baiklah, surat ini akan aku sampaikan. Tapi ...." Asley membuka lembaran itu, membacanya untuk sesaat kemudian menutup kembali. "Kau harus menggunakan prangko supaya surat ini sampai ke sana."

"Prangko?"

"Iya, prangko. Stiker pengantar surat ketika kita titip ini di kantor pos."

"Tapi ...." Bocah itu tampak murung.

"Kau tak perlu khawatir, kita bisa membuatnya."

"Membuat prangko?"

Asley mengangguk. Meraih buku miliknya dan sebuah perona bibir dengan warna senada.

Membubuhkan perona itu pada bibir mungil sang gadis kecil, mengarahkannya untuk mencium selembar kertas dalam genggaman.

"Kita jadikan ini prangko untuk suratmu."

Sambil menempelkan kertas berbentuk bibir yang baru ia potong.

Ia tersenyum menampilkan deretan gigi yang rapih.

Joice kecil, ia tampak begitu kurus. Kedua bola matanya besar dan berkantung. Itu pasti sangat menyakitkan. Dia pasti sangat menderita dalam hidupnya.

Hingga Paul datang dan turut duduk, memeluk Asley yang menangis sambil menggenggam surat kecil itu.

"Kenapa?"

Paul menyeka air mata itu. Joice kecil, dia memilih menutup diary mungil miliknya, turut bergabung bersama bocah lain berlarian sambil saling melempar salju dan bersembunyi dk balik boneka salju yang tinggi.

***

Next....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status