Share

3. Hopeless

Sama seperti yang direncanakan, pagi hari Levi dan Stacy disambut dengan jadwal memilih rancangan baju untuk pernikahan keduanya. Sebuah hal yang telah Levi prediksi sebelumnya sebab sejak awal Jordan yang mengambil alih semua urusan pernikahan mereka.

Jika ditanya apakah Levi sudah siap dengan kenyataan yang akan terjadi, maka jawabannya adalah iya dan tidak. Iya, karena sudah menjadi konsekuensi dari keputusan yang telah ia ambil. Dan tidak, karena malas. Malas menjadi terikat dengan sebuah hubungan, malas jika banyak reporter yang mewawancarai dirinya dan juga malas berpura-pura peduli dan mencintainya. Tapi Levi tidak akan menjadi suami yang kurang ajar, dia akan berperilaku manis dan baik selayaknya suami yang bertanggung jawab.

Satu lusin gaun dengan modelkan ball gawn yang telah pajang sedemikian rapi pada dua belas manekin. Namun Stacy menolak semua rancangan baju tersebut secara cuma-cuma dengan alasan bahwa ia tidak menyukai motif maupun renda yang terpasang. Wajahnya bahkan terlihat tak peduli dengan semua ini sementara para penjahit dan perancang di sana telah kelewat panik.

"Ini saja, kupikir ini cocok denganmu," ujar Levi yang terlahan mulai terlihat kesal karna Stacy sama sekali belum memilih salah satu gaun di sana.

"Aku tidak tertarik."

Levi menghembuskan napas perlahan, genggaman tangannya sama sekali tidak terlepas sejak pertama kali keduanya datang. Terlihat hangat namun keduanya sama sekali tidak merasakan sensasi senang. Sebab Levi menyadari jika tempat ini telah Jordan beri pengawasan ketat, Levi sendiri tahu jika ia lengah maka nyawanya akan terancam dan secara keseluruhan takhta Leoxy akan diberikan pada Stacy. Levi tidak bodoh, dia tahu hal itu sejak awal.

"Hanya satu hari, setelahnya kau bisa bebas menggunakan apapun, kan? Aku akan membelikanmu semua yang kau mau, serius!"

Stacy menoleh, dia cukup kebingungan mengapa Levi bertindak sangat antusias dalam sandiwara keduanya. Bahkan raut wajahnya terlihat berseri-seri menandakan kebahagiaan. Entah Levi yang sangat berbakat dalam bidang membohongi atau hanya Stacy yang tidak bisa membedakan antara akting murahan dan kelas kakap.

Namun tatapan Stacy melemah, ia sangat tidak suka dengan apa yang terjadi di hadapannya. Mimpinya hancur seketika kala di hadapkan dengan dua belas pakaian dengan rancangan yang berbeda-beda, sebab semua ini bukan sesuatu yang ingin ia kenakan saat pernikahannya. Dulu ia pernah menulis akan menggunakan pakaian berwarna merah muda selayaknya tokoh kartun yang akan tersenyum senang selama pernikahannya. Dia bahkan sudah merancang dan bertanya pada beberapa orang tentang saran model dan motif pakaiannya.

Rasanya mengerikan kala mimpinya hancur tanpa sisa.

Mencoba menarik senyum tipis. "Boleh kita berjalan-jalan dulu, aku kebingungan memilih gaun yang mana," katanya perlahan. Dari pergerakannya Levi bisa membaca bahwa ada kesedihan yang terpancar, sejauh ini ia mencoba menoleransi Stacy dan segala hiruk-piruk kekacauan hidupnya. Maka dari itu ia memilih diam, menggandeng tangan gadis itu keluar dari butik dan berkeliling sejenak.

Levi tahu jika Stacy tidak akan bisa melakukan perannya dengan baik selama menjadi calon istrinya saat ini, maka dari itu dia akan mendominasi secara keseluruhan. Sandiwara tanpa bayaran ini harus tetap berjalan bagaimanapun caranya. Baik ataupun buruk, suka maupun tidak.

Mencari banyak udara segar dan pada akhirnya berakhir di sebuah taman sederhana yang lokasinya berada di sekitar butik tersebut atau lebih tepatnya, mereka sedang mencari sebuah tempat aman untuk berdiskusi. Tidak perlu khawatir dengan kamera yang akan menyorotnya secara diam-diam, karena tempat sudah diamankan oleh Jordan.

Sebuah bangku yang terbuat dari kayu, beberapa bunga berwarna putih dan merah yang ada di bagian kanan, seekor kupu-kupu yang terbang melintas. Mirip kisah dongeng, walau apa yang sedang terjadi tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan dongeng yang memiliki akhir bahagia.

Levi menyandarkan tubuhnya dengan nyaman, kedua tangannya berada di belakang kepala, menjadi penyangga agar nyaman bersantai menatapi langit. "Pilih saja salah satu gaun di sana, tidak akan bermasalah dengan kelanjutan pernikahannya." Kesabaran Levi saat ini sudah terkuras, sejak awal yang ia lakukan di dalam butik hanya memutari dua belas gaun dan gadis itu samai saat ini belum menentukan pilihannya.

"Semua bajunya terlalu terbuka, aku tidak menyukainya."

"Alasan yang bagus," jawabnya enteng. Levi berubah menjadi pribadi semula, sosok yang tak memiliki belas kasih dan terkesan kejam. Padahal bagi Stacy sendiri Levi adalah sosok keras kepala, sisi kejamnya tidak terlalu mendominasi karna sejauh ini ia hanya menyaksikan secara nyata apabila dia hanya bersikap acuh tak acuh pada sekeliling.

"Tapi itu-"

"Apa?" Levi memotong cepat. "Dengar Putri Darell, aku tahu kau masih berusaha mengelak, tapi bahkan kita tidak memiliki waktu, tiga hari lagi kita menikah dan apa yang kau bisa lakukan selama tiga hari itu? Tidak ada."

Stacy terdiam, napasnya tercekat. Rasanya luar biasa menyakitkan. Stacy akui beradaptasi dengan kenyataan seperti ini tidak mudah, meskipun semalaman ia mencoba meyakinkan diri sendiri apabila perjodohan dalam lingkup bangsawan memang hal yang lumrah. Karna seperti itulah golongan mereka mempertahankan kekuasaan dan kekayaan, menikah dengan yang setara atau lebih tinggi kastanya. Menguntungkan di pundi-pundi uang maupun reputasi.

Namun ia digunakan sebagai alat perdamaian, sepenuhnya hanya berupa alat dan Jordan sama sekali tidak memedulikan hal itu.

"Aku tahu kau ingin segara menuntaskan ini, maka pilih satu di antaranya. Lebih cepat lebih baik."

Stacy tidak punya pilihan lain. Semua kejadian yang tengah terjadi tidak pernah membiarkan Stacy mendapat opsi kedua, pilihannya hanya berupa iya dan iya. "Kalau begitu, kau saja yang memilih pakaiannya. Mana saja, terserah aku akan setuju."

Sedetik kemudian Levi menoleh ke arah Stacy, menaikkan slah satu ujung bibirnya tanpa ada kejelasan setelahnya.

Setelahnya Levi memilih pakaian yang ia inginkan dan jujur, Stacy tidak mendapat kenyamanan dari setiap gaun yang Levi pilih. Stacy yang sebelumnya mengatakan akan setuju pada pilihannya sekarang harus sedikit merengek agar ia bisa menarik perkataannya.

Levi menghembuskan napas. "Aku tidak menerima penolakan, ini yang terakhir." Melirik sekeliling dan mencari seorang wanita di sana. "Ambilkan gaun terakhir yang belum Putri Stacy tolak," ucap Levi tegas kepada salah satu pegawai wanita di sana. Wanita itu jelas terpesona karna sepertinya ia harus mengembalikan setengah nyawanya karna telah mengagumi paras Levi dari jarak dekat.

Bahkan beberapa penjaga Levi harus memasang posisi siaga kana takut tiba-tiba wanita di dalam butik tersebut berubah gila.

"Gaun yang terakhir itu paling terbuka, kau mau tubuh calon istrimu di lihat orang lain?"

Levi tersenyum tipis. "Tidak masalah, kau seksi."

Sekarang Stacy tahu mengapa tadi saat di taman Levi tersenyum saat ia bisa memilih pakaian yang ia inginkan.

"Biar aku saja yang membantu gadis ini melepaskan bajunya, kau ambil saja gaun permintaanku," ucap Levi dengan ujung bibir terangkat.

"Lev-Levi!" Stacy mencoba menahan Levi menuju ruang ganti. Belum sempat ia melanjutkan protesnya, mereka berdua telah berakhir pada ruangan minimalis dengan sebuah pintu berwarna putih yang menutupi isi ruangan.

"Diamlah," ucap Levi seraya mendekatkan kepalanya menuju telinga Stacy. Tubuh mereka jelas terpantul jelas dari kaca besar yang berdiri di hadapan Stacy, dengan tubuh gagah Levi yang menggunakan jas merah sebagai torsonya. Lelaki itu sedikit menumpu pundaknya kemudian ia melanjutkan ucapannya.

Secara perlahan Levi meraih resleting putih yang tersemat pada punggung bagian atas Stacy, salah satu tangan Levi menyingkirkan beberapa rambut yang tergerai di punggungnya. Sedangkan gadis itu sukses bungkam pun menggigit bibir bagian bawahnya karena serius, napas berat Levi menyapa lehernya dengan sangat tidak sopan. Sensasi menggelikan itu sukses mengantarkan remang ke seluruh tubuhnya. Kedua tangannya sudah menahan bagian bajunya dengan erat, berharap gaun itu tidak terjatuh dari tubuhnya.

"Levi?"

"Hm?"

"Bisakah kau berhenti menatap bra-ku seperti itu?"

***

Stacy akhirnya berhasil masuk ke dalam kamarnya pada pukul sepuluh malam. Untunglah kali ini Jordan cukup memberi jeda dan membiarkan keduanya untuk berhenti melakukan sandiwara memabukkan karna jika bisa pria itu pasti akan membuat Stacy berakhir menginap di dalam Kerajaan Levi.

Tubuh Stacy seakan tidak menyatu dalam susuan yang benar, rasanya hari ini sangat melelahkan. Stacy berencana untuk berendam di dalam kubangan air hangat dengan aroma esensial yang mampu menyegarkan tubuh serta pikirannya.

Namun, semua bayangan kenyamanan tersebut mendadak hancur kala ia mendengar suara pintu kamarnya yang mendadak terbuka dan tertutup dalam waktu yang sangat singkat. Lampu yang menerangi kamarnya mendadak dimatikan dan pada detik berikutnya Stacy merasakan pergelangan tangannya ditarik dan didesak pada dinding.

Dengan mudah mengunci semua pergerakan Stacy, membuat tubuh Stacy terhimpit antara dinding dan semakin mendekatkan tubuhnya. Napasnya tersenggal, perasaannya membuncah hebat, debar jantungnya kian meningkat kala sosok tersebut kian mendekatkan parasnya. Niatan untuk berteriak seketika Stacy gagalkan karena aroma parfum yang sangat dikenali indra penciumannya. Aroma parfum yang tidak berubah selama dua tahun terakhir.

Manik hazel miliknya begitu kentara kala sinar rembulan mampu memberi samar-samar cahaya. Hanya dengan hal yang begitu sepele Stacy dapat mengetahui dengan jelas siapa sosok yang ada di hadapannya. Begitu familier.

Dia mengembangkan senyumannya seraya mengelus pipi Stacy pelan. "Lama tak bertemu, sayangku."

"Adrian Mathew!" Stacy menaikkan nada bicaranya, nyaris memekik. Terkejut bukan main mendapati eksistensi lelaki bersurai hitam tersebut di hadapannya.

Adrian meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungil Stacy, kemudian mendekatkan wajahnya. "Sshhhh, jangan berteriak jika kau tak mau aku bertindak lebih jauh." Pernyataan singkat tersebut berhasil membuat Stacy terdiam. Tubuhnya seketika memberi sensasi lain.

Perlahan Adrian menjauhkan telunjuknya, perlahan melingkarkan tangannya pada pinggang Stacy dan membawa tubuhnya kian dekat. Sengaja mengikis jarak.

"Bagaimana kau bisa masuk? Bagaimana kau melewati seluruh penjaga?"

"Kau pernah mengajakku menyelinap seperti ini juga, tidak ingat?" Adrian terkekeh sebentar. Lagipula aku tahu seluk beluk Kerajaan ini, dimana tempat yang aman untuk bersembunyi dan tempat mana yang paling jarang dikunjungi penjaga."

Adrian mengetahui dengan jelas jika perbuatannya kali ini adalah sebuah tindakan berujung malapetaka dengan risiko yang sangat besar. Terutama menyusup ke dalam kamar Stacy.. Karena menurut perjanjian yang tertera, keduanya tidak boleh saling bertemu lagi. Kisah cinta yang berakhir tragis, miris.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menemui kesayanganku, apalagi?"

"Kita tidak bisa bersama lagi, mengerti? Aku takut jika kau akan mendapat masalah lagi jika melakukan memaksakan kehendakmu Adrian, tolong. Aku mencoba melindungimu, aku berusaha tidak menanyakan keberadaanmu pada Dean. Aku mencoba tidak peduli. Jangan bahayakan dirimu sendiri seperti ini, demi aku." Lambat laun nada bicaranya semakin melemah, mimik wajahnya berubah-takut sedih bercampur menjadi satu.

Keduanya tersiksa, sangat. Tidak ada kebahagiaan bagi mereka, sama sekali tidak ada yang tersisa.

Melihat hal tersebut Adrian spontan memeluk Stacy erat, seerat mungkin. Seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sebelum dunia ini berakhir.

Dusta apabila mengatakan Stacy tidak merindukan Adrian, dia merindukannya. Sangat rindu. Tapi di sisi lain ia tidak bisa menolak karena banyak hal yang menjadi konsekuensi. Stacy sudah tidak mampu menerima hal lain yang lebih buruk mengenai Adrian, sudah cukup keduanya dipisah secara paksa, Stacy tidak mau hal buruk lain yang mengenai mereka.

"I know you still want me, Stacy." Adrian membisikan hal tersebut tepat di sebelah telinga Stacy, tapi Stacy tidak memberikan jawaban.

Adrian melihat paras Stacy seakan mengagumi sebuah keindahan yang tiada tandingannya, seakan memuja. Adrian suka sekali memperhatikan Stacy dari dekat, semakin terlihat menawan dan memikat. Bahkan dalam keadaan yang sangat kacau seperti ini, dia masih sama menawannya.

"Apa kau tidak mau kabur denganku, ke sebuah pedesaan dan kita akan hidup bahagia di sana. Hanya kita berdua, mari tinggalkan semua hal di sini." Bergerak menuju pipinya, membelainya seiring dengan memberi beberapa kecupan pipi. "Kita masih punya waktu, Stacy."

Adrian menyadari bahwa tatapan Stacy kian meredup, gadis itu bergeming, tidak mau mengucapkan apapun. "Kenapa kau hanya diam? Jawablah, aku tahu kau tidak menginginkan semua ini."

Sebuah ciuman lembut terbalut di antara keduanya, tapi hanya Adrian yang mendominasi, sementara Stacy merasakan ngilu luar biasa pada dadanya. Stacy membiarkan Adrian melakukan apa yang ia mau, membiarkan semua pertahanannya kali ini runtuh.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karna lebih baik aku menderita dari pada melihatmu sengsara."

"Kita sudah menderita," Dia memberi jeda. "Kita berhak memilih apa yang baik untuk kita."

"Tapi semua keputusan ada pada Ayahku, kita tidak bisa menolak.

Kita adalah cinta, sekaligus luka."[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status