Share

4. Artificial Love

Sejak beberapa hari lalu Levi selalu mendapatkan berbagai macam laporan dari pelayan maupun koki yang bertugas di Kerajaannya. Mereka mengatakan bahwa makanan yang disajikan untuk Levi sering sekali berkurang dan habis, bahkan sebelum makanan tersebut dihidangkan di hadapan Levi. Beberapa orang sudah mengecek beberapa tempat di dalam kerajaan, tapi sama sekali tidak menemukan petunjuk. Dan Levi tidak pernah menganggap hal ini serius.

Sebab bagi Levi hal seperti itu tidak akan menjadi sebuah masalah serius lantaran tidak mengancam kehidupannya, tidak ada tanda penyusup karna ia sendiri yakin apabila penjagaan kerajaannya sudah sangat ketat. Tidak mungkin juga penyusup melalui laut, ada banyak sekali pengawal di daerah dermaga. Di samping itu, toh, mereka bisa membuat makanannya lagi, pun jika stok bahannya habis, mereka pasti akan segara membeli bahan dengan kualitas terbaik.

Malam ini Levi mendapatkan jadwal untuk evaluasi bulanan. Rapat semacam ini ia coba tingkatkan di setiap bulannya karena menyadari bahwa kekurangan dan tidak ketelitian bisa terjadi dimana pun. Semakin menambah pekerjaannya, tapi dia tidak keberatan asal negaranya terurus dengan baik.

Seperti biasa, Levi menjadi pemimpin rapat. Mengurus ini dan itu, melihat beberapa lembar dokumen dan surat legalisir yang harus ia setujui, beberapa di antaranya hanya memerlukan tanda tangan dan sisanya hanya berupa anggukan kepala. Levi tegas dalam urusan pekerjaannya. Dia bisa membedakan orang-orang kompeten dan hanya menumpang nama dalam barisan teratas negara. Dia pernah merasakan kehancuran karna seorang koruptor sebelumnya, maka dari itu ia sangat berhati-hati dan tidak akan mengulangi kebodohan yang sama.

Dia memberikan beberapa kritikan pada Menteri Perindustrian karena tidak terlihat perkembangan kinerja industri-industri yang mampu membuka lapangan kerja baru. Lalu, beralih pada Menteri Keuangan karena beberapa laporan mengatakan apabila ia menggunakan uang Negara untuk kebutuhan yang tidak begitu penting. Selebihnya, semua baik.

Beberapa hari terakhir Levi lebih sering menghabiskan waktu dengan Stacy, yang katanya sebagai masa pendekatan yang nyatanya tidak sama sekali. Hal itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk mengurus tugas negara beberapa harus diwakilkan oleh penasihat kerajaan dan Perdana Menteri. Banyak sekali waktu yang tersita hanya untuk memuaskan Jordan terhadap ekspektasi hubungan keduanya.

Sejak pukul tujuh malam hingga jarum jam telah menunjuk angka dua belas, Levi masih sibuk berkutat dengan lembaran berwarna putih yang rasanya tidak pernah habis. Butuh waktu untuk membaca setiap lembaran tersebut dan memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dan juga memperhatikan setiap pola kata yang terlampir dalam tersebut-barangkali ada pesan tersirat yang berusaha menghancurkan negaranya.

Bukan sebuah hal baru ketika Levi melewatkan makan malam dan lebih memilih berkutat dengan urusan pekerjaannya hingga larut. Levi selalu mengatakan bahwa ia hidup untuk rakyatnya dan malah kesehatannya bisa di urus belakangan. Jika diumpamakan, maka sekarang Levi adalah pupuk yang rela melebur menjadi satu dengan tanah agar tanamannya tumbuh dengan cantik.

"Apa Raja telah mendengar rumor baru?" Levi tidak memberi respon pada penasihat kerajaannya, Antonio. Manik Levi sibuk memperhatikan lembaran kertas yang sejak dua menit lalu masih ia pegang.

Antonio menghembuskan nafas perlahan, menyadari bahwa Levi tidak akan memberikan tanggapan maka ia memilih menjelaskan,"Ada rumor yang mengatakan jika akan hadir seorang gadis tanpa identitas yang memiliki kekuatan unik dengan paras rupawan di daerah Leoxy."

"Rumor akan tetap menjadi rumor."

"Tapi seorang Penyihir yang meramalkannya."

"Sama saja, semua itu hanya mitos yang gunanya untuk menarik perhatian."

"Tapi ini berbeda," ucap Antonio mencoba mempertegas pernyataannya. "Penyihir tersebut berkali-kali sukses dalam semua ramalannya. Tidak ada satupun yang meleset. Hal tersebut membuatnya menjadi buronan untuk seseorang yang gemar bermain lotre atau beberapa orang yang ragu akan masa depannya sendiri."

Levi mendongak, menatapnya kemudian maniknya menatap datar. Senyuman kecil terbentuk di ujung bibirnya. "Aku cukup terkejut kau tahu sebanyak itu."

"Ah sudahlah, aku mau tidur. Kepalaku mulai sakit." Efek yang biasa Levi terima adalah sakit kepala, dia sudah terbiasa dengan denyutan menyakitkan seperti itu. Tapi dia sama sekali tidak bosan menghindarinya, tetap bekerja sampai batasannya baru berhenti total.

Terkadang Levi merutuki Kerajaannya karena memiliki lorong-lorong yang sangat panjang. Sangat melelahkan jika harus naik-turun tangga kemudian berjalan bolak-balik setiap hari dalam jangkauan jauh seperti ini. Tidak bisa mengubah menjadi tema lebih modern agar mengikuti perkembangan zaman karna kerajaan ini adalah kerajaan utama.

Tepat saat Levi akan membelokkan tubuhnya menuju lorong lain yang langsung tertuju pada kamarnya, pendengarannya menangkap sesuatu. Langkah kaki kecil. Mempercepat laju jalannya seraya memijit pelipisnya, beberapa kali mengumpat dan memaki diri sendiri.

Dalam sekejap Levi membenci indranya yang begitu peka seperti ini, sebab beberapa detik lalu ia baru mendengar derap kaki. Levi menghentikan langkahnya sebentar, mencoba meyakinkan dirinya jika suara itu benar adanya. Bukan sebatas imaji yang ditimbulkan akibat terlalu lelah bekerja.

Tidak mau terjebak akan semua pemikiran yang tidak akan berhenti membayangi kepalanya, Levi memilih mencari asal suaranya. Mati-matian mengabaikan kepalanya yang terasa seolah dihantamkan pada dinding jutaan kali. Berusaha sebaik mungkin untuk meminimalkan suara yang timbul. Namun lama-kelamaan derap kaki itu melemah berangsur menghilang. Menandakan bahwa hal tersebut telah berhenti di suatu tempat dalam Kerajaannya.

Ia mengikuti suara derap kaki dan mendapati dirinya berhenti di sebuah daerah tua yang amat jarang di kunjungi. Membawanya dalam sebuah tempat yang ia benci. Disuguhkan dengan pemandangan yang membuat seluruh darahnya seolah mengalir ke kepala. Rasa sakit di kepalanya semakin bertubi-tubi hingga saat ini Levi memilih untuk menukar kepalanya dengan orang lain.

Lorong penuh darah itu kembali terpampang, bau anyir yang tidak hilang selama kurang lebih empat belas tahun terakhir membuat tempat itu semakin menyeramkan. Begitu kacau dengan sebagian besar ornamen pecah dan wallpaper yang sudah mulai terkelupas. Hanya memiliki tiga lampu yang mana membuat suasana remang-remang. Mengerikan bahkan bukan kata yang cocok untuk menjelaskan tempat itu.

Lorong itu hanya memiliki dua ruangan, satunya dikunci rapat karna tak ada isinya dan sisanya di biarkan tidak terkunci. Dari pada memilih untuk menjauh, Levi memilih menyusuri lorong tersebut sebab ia yakin bahwa sosok tersebut berada di dalam ruangan itu.

Tangan kanan Levi mengambil sesuatu di balik jas berwarna hitam miliknya. Sebuah pistol berwarna hitam mengkilap yang masih memiliki tiga peluru.

Dalam keadaan fisik Levi yang tidak memungkinkan seperti ini, ia masih keras kepala. Bahkan hanya untuk berjalan ia perlu menyangga tubuhnya dengan salah satu tangan pada dinding. Menghembuskan napas teratur guna memperbanyak perputaran oksigen di dalam otak. Levi bergerak ke arah daun pintu, menarik pelatuk dengan yakin dan dengan tangan setengah berkeringat, ia mengangkat pistolnya.

Sedetik kemudian Levi menendang daun pintu, menyodorkan pistol ke arah depan dengan. Tatapannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Sial. Kepala Levi semakin sakit melihat isi ruangan tersebut. Kamar setengah usang dengan isi yang begitu kacau. Ceceran darah yang warnanya telah berubah, vas bunga pecah dan lukisan yang nyaris terjatuh. Seprai tempat tidur yang warna awalnya putih bersih, berubah menjadi lautan merah yang berbau anyir.

Manik hitam Levi berhenti pada seseorang yang duduk santai seraya memakan camilan-camilan sama yang dihidangkan pada Levi kemarin, dia memiringkan kepalanya sambil terus mengunyah. Dia bahkan tidak menampakkan ekspresi ketakutan meski Levi sudah menyodorkan sebuah pisau dengan kedua tangannya. Beruntungnya, Levi belum menarik pelatuk.

"Siapa kau?"

***

Malam itu Levi menggunakan saraf otaknya tiga kali lebih keras dari sebelumnya. Apapun yang diucapkan gadis itu tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. Otaknya menolak untuk memahami, semua hal yang gadis itu ucapkan bertolak belakang dengan kenyataan.

Gadis itu mengatakan bahwa ia tidak mengingat apapun. Ia tidak mengingat kenapa bisa datang kemari, tidak mengingat tempat asalnya dan bahkan ia tidak mengingat namanya sendiri. Ia terbangun pada sebuah tempat berliku-liku yang memiliki dinding berwarna hijau. Tanpa perlu banyak berpikir, Levi tahu dengan pasti bahwa tempat itu adalah labirin yang ada di taman belakang. Sebab hanya itu tempat yang memungkinkan.

Berkali-kali Levi membantah ucapannya, tapi dia tetap mengatakan bahwa semua yang ia ucapkan benar adanya. Bahkan terakhir kali Levi membantah, gadis itu nyaris melemparkan sendok yang di tangannya.

Levi hanya—bagaimana semua ini bisa semua ini menjadi mungkin? Bagaimana ramalan penyihir menjadi nyata? Apa dia memang orangnya?

Tetapi Levi lebih terkejut gadis itu mampu melewati semua penjaga tanpa tertangkap dari pada ia berhasil keluar dari labirin secara hidup-hidup. Harus di akui apabila gadis itu lincah, tapi kelincahannya berada di level lain.

Levi memutuskan untuk membawa gadis itu ke dalam kamarnya, sebab Levi tidak memiliki pilihan lain saat ini. Dia butuh meminum obat penenang, pergi dari tempat itu dan di saat bersamaan ia harus menanyai gadis itu lebih lanjut.

Levi yang duduk pada pinggiran kasur menatapnya sinis. "Apa kau bisa berhenti makan?" Menunggu obatnya bereaksi, sebab saat ini rasanya masih nyeri.

Pertanyaan Levi terdengar tidak nyaman pada pendengaran gadis itu, jadi ia abaikan. Gadis itu melahap habis donatnya, membuat daerah sekitar mulutnya penuh dengan krim coklat dan beberapa selai lainnya. "Aku makan untuk hidup dan hidup untuk makan," ucapnya kala sebagian donat yang ada di dalam mulutnya habis.

Sekarang Levi tahu jelas siapa yang selalu memakan makanannya.

Lelaki itu memutar bola matanya, mendengus sebal. Melihat gadis itu duduk nyaman dan mengacak tempat tidurnya, membuat ceceran donat yang ia makan tumpah di atas selimut miliknya sudah sangat menjengkelkan. Gadis itu mengambil seluruh ketenangan malamnya. Kekacauan bukan sesuatu yang Levi suka, namun gadis itu tiba-tiba membawa hal tersebut datang dalam kehidupannya.

"Cepat selesaikan makanmu, turun dari tempat tidurku! Bersihkan semua kekacauan ini juga!" Levi tidak terdengar ramah, semua ucapannya berisi penekanan yang memaksa.

Menganggap perkataan Levi teramat mengancam, lantas ia turun dari tempat tidur dengan kedua tangannya yang membawa kotak donat yang masih berisi. Berjalan sofa kecil dengan sedikit melompat-lompat. Namun sekali lagi ia membuat kekacauan yang membuat Levi geram, bahkan rasanya ingin memindahkan gadis itu ke dalam sel tahanan sekarang juga.

Gadis itu terjatuh dan seluruh donat yang berlapis krim dan selai tersebut mengotori lantai kamar Levi yang di lapisi karpet berwarna merah dengan motif keemasan pada bagian sisinya.

"Kau benar-benar menghancurkan kamarku!"

Malam ini Levi hanya ingin tidur dengan damai, tanpa ada gangguan sama sekali namun yang terjadi justru sebaliknya. Kesabaran Levi sudah sampai di ujung ketika melihat seisi kamarnya berubah kacau.

Perlahan gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk. Ia meringis kesakitan. Memegangi pergelangan tangan dan lututnya secara bergantian. Pandangan gadis itu turun ke bawah, melihat pakaian miliknya yang sebelumnya putih bersih kini telah penuh akan warna-warni selai stroberi dan nanas.

"Aku jatuh di sini dan kau justru memedulikan kamarmu?!" Gadis itu membulatkan mata, menatap Levi dengan sorotan mata tak percaya. "Jangan diam saja, bantu aku!"

"Jangan harap aku membantumu!" Levi mengabaikan, tidak mau tahu apa yang terjadi setelahnya sebab kepalanya sudah berdenyut hebat. Membaringkan tubuhnya pada tempat tidur dan menutupi kepalanya dengan beberapa bantal. Levi tidak mau peduli.

Menatap Levi dengan tatapan yang tidak memberi ampun tapi di saat bersamaan maniknya berubah berkaca-kaca. Hingga sedetik kemudian gadis itu menangis sedemikian kencang dan Levi tidak tahu letak kesalahannya di mana.

Levi jelas mendengarnya namun ia tidak peduli sebab yakin apabila gadis itu akan menghentikan tangisnya ketika kelelahan, tapi tidak. Sudah lebih dari lima menit dan tangis gadis itu semakin kencang. Levi menyerah.

Mau tidak mau lelaki itu berjalan menghampirinya dengan wajah sayu yang memancarkan lelah. "Bisakah kau berhenti menangis?" Dia berjongkok di hadapannya, mengusap kepala gadis itu beberapa kali dan menyeka air matanya.

"Aku mencoba menjadi baik di sini, jadi bisakah kau berhenti menangis sekarang? Nanti aku akan membelikanmu banyak sekali camilan, coklat permen, apa saja." Tangisnya berangsur mereda, bersamaan dengan Levi yang meraih tangannya dan mengusap perlahan. Beberapa menit kemudian tangisnya menghilang. "Begini lebih baik."

Gadis itu memanyunkan bibirnya, menatap Levi dengan tatapan seolah ia sangat rapuh bahkan hanya untuk disentuh. Sepanjang hidupnya Levi tidak pernah sekalipun mengira akan mengalami situasi seperti ini. Ini pertama kalinya dan dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, memperhatikan gadis itu secara keseluruhan.

"Baju? Kau butuh baju?" tanyanya lembut, jauh berbeda dengan sebelumnya.

Gadis itu mengangguk. Berjalan menuju ruang ganti miliknya dan mencari sesuatu yang bisa gadis itu gunakan, menyadari bahwa ia tidak memiliki pakaian untuk perempuan, akhirnya Levi mengambil sebuah kemeja polos berwarna hitam. Namun dalam beberapa saat pandangannya sempat kabur, tubuhnya terasa melayang dan ia tahu bahwa obat itu sedang memunculkan reaksinya.

"Hei, hei apa yang kau lakukan?" Levi harus membulatkan matanya sebab melihat gadis itu membuka pakaiannya. Bahkan telah menggapai pangkal paha. Tapi serius, meskipun keadaan sedang mendukung, Levi sama seklai tidak ingin libidonya meningkat. Dia hanya ingin tidur.

Tyche berdiri, sudah mengangkat setengah pakaiannya. "Melepas pakaianku?"

"Tentu saja tidak di depanku!" ujar Levi mencak-mencak.

Memilih memaklumi keadaan, Levi membalikkan badan. Memastikan bahwa ia tidak melihat gadis itu berganti pakaian. Levi bersumpah bahwa sedang berperang dengan batin dan pikirannya. Mencoba menahan diri mati-matian.

Ketika gadis itu mengatakan bahwa ia telah selesai berganti pakaian, Levi segera membalikkan badan. Entah kenapa presensi gadis itu yang berada beberapa langkah di hadapannya terlihat sangat, cantik?

Levi sukses kehilangan kata-kata. Dia terlihat luar biasa cocok hanya dengan kemeja kebesaran miliknya. Ini tidak benar. Bagaimana bisa kali ini Levi berpikir demikian?

Melangkahkan kaki mendekat, mengusap rambut berwarna kecokelatan. Kemudian turun membelai pipinya. "Cantik. Cantik sekali." Levi sukses kehilangan akalnya kali ini. Ramalan itu benar, gadis yang berada di hadapannya sekarang sangat cantik. Dusta apabila Levi mengatakan jika ia tidak terpesona.

"Nama, ya?" Levi berpikir sejenak seraya menatap paras gadis itu dengan lekat. Mulai dari rambutnya hingga turun ke arah bibir. Levi sendiri tidak tahu pasti apa yang telah merasukinya hingga ia bisa melakukan hal yang kelewat rendahan seperti ini. "Tyche Gizelle. Sekarang nama panggilanmu Tyche, mengerti?"

Kembali menyadarkan dirinya, menarik paksa kembali nyawanya yang entah telah berkelana kemana saja. Bergerak menjauh. Rasanya ingin meluap seketika. Sensasi baru yang luar biasa memberi lonjakan pada dada. Tidak mengerti apa yang gadis itu siapkan hingga membuatnya terpesona hanya dalam sekejap.

Membuang pikiran buruk jauh-jauh dan berjalan menuju tempat tidurnya, membaringkan tubuhnya di atas sana dengan nyaman.. Namun tak lama kemudian Tyche menyusul, bahkan sekarang ia telah berbaring di sebelahnya.

Levi mencoba mengatakan pada gadis itu untuk tidur di ruangan lain, namun pada saat ia baru akan menarik pergelangan tangan Tyche, Levi sudah terlelap. Tenaganya habis total. Tubuh mereka saling berdekatan sementara tangan Levi masih menggenggamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status