Share

Lari!

“Sabar, Fales.” 

Amber yang menunggu di luar, dengan sigap memeluk sahabatnya memberi kekuatan.

Pasti, ayah sahabatnya itu lagi-lagi tak percaya pada Fallesha!

“Kamu pulang duluan aja nggak papa, aku bisa pulang sendiri nanti. Aku masih pengen nemenin Papa,” ujar Faleesha dengan wajah sendu. 

“Kamu yakin?” tanya Amber tampak ragu. Sebenarnya dia sendiri juga sudah ditunggu Mamanya di rumah. Sang Mama minta ditemani ke suatu tempat. 

“Iya, kamu pulang aja gih,” balas Faleesha. 

“Yasudah, kamu jaga diri baik-baik, ya? Kalau ada apa-apa, hubungi aku secepatnya,” pungkas Amber terlihat khawatir. 

Faleesha mengangguk mantap kemudian memeluk Amber sekali lagi sebelum gadis itu pergi. 

Setelahnya, dia terduduk sendiri di lobi menunggui sang papa. 

Hanya saja, tiba-tiba ponselnya berdering keras. 

“Eric?” gumam Faleesha panik.

Mengapa sang kekasih menghubunginya?

Seketika Faleesha teringat bahwa sudah kotor dan terlibat dengan seorang Sanders.

Masih layakkah dia untuk Eric?

“Halo?” jawab Faleesha akhirnya ragu. 

“Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak menghubungiku sejak kemarin? Aku nungguin kabar kamu? Kamu baik-baik aja, kan? Gimana Angela dan ibu tirimu? Mereka melukai kamu lagi?” tanya Eric memberondong pertanyaan. 

Tanpa terasa netra Faleesha menghangat. Eric begitu peduli.

Tapi, apakah dia akan bersikap sama saat tahu tadi malam dirinya bahkan hampir terlena oleh sentuhan pria lain?

“Aku nggak apa-apa,” jawab Faleesha dengan suara tertahan. 

“Beneran kamu baik-baik aja? Jangan bohong sama aku,” lanjut Eric. 

“Aku nggak bohong, Ric. Maaf ya, aku semalam ketiduran, jadi nggak sempet hubungin kamu.” jelas Faleesha terpaksa berbohong. Padahal dalam hati dia menjerit. 

Malam kemarin sungguh sangat menyiksa jiwa dan raganya. 

“Yasudah, kamu sekarang di mana?” tanya Eric langsung. Dia ingin bertemu Faleesha dan mengetahui keadaannya. 

“Aku di rumah sakit. Tapi gak perlu ke sini, Ric.”

“Hah? Kamu serius? Kenap–”

“Keadaan Papa nggak terlalu baik. Jadi, sebisa mungkin aku pengen jaga Papa.”

Terdengar helaan napas dari seberang. Untungnya, Eric setuju. Tanpa banyak tanya. Hal itu membuat Faleesha lega. 

Tak lama, panggilan keduanya terputus.

Tubuh Faleesha seketika gemetar hebat.

Bagaimana bisa dia menghadapi Eric setelah apa yang menimpanya semalam? 

Dia tidak akan bisa bersikap biasa saja dihadapan kekasihnya itu. 

Cukup lama, Faleesha di rumah sakit.

Dia sempatkan diri untuk makan sebentar di kantin sebelum kembali ke rumahnya dan mengambil beberapa pakaian.

Tempat tinggal itu begitu mewah. Sayangnya, tidak ada kehangatan sama sekali di sana.

*** 

“Heh, mau ke mana kamu?” 

Ibu tirinya yang kebetulan baru keluar kamar mandi bertanya sinis kala Faleesha masuk ke rumah.

“Mau ke rumah sakit lagi, Mami,” jawab Faleesha. 

“Tante,” koreksinya kala menyadari tatapan tajam sang ibu tiri. 

“Nggak usah, di rumah aja. Noh kerjaan banyak,” sewot Ervina berkacak pinggang. 

“Bukannya ada Bu Yooshi sama Meri?” 

Benar, mereka adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Faleesha. 

Bu Yooshi bahkan menjadi saksi mata kekejaman Ervina dan Angela sejak usia delapan tahun, serta bagaimana teganya Fahaz mengusir ibu kandung Faleesha dulu.

Dulu, sempat Faleesha berharap Bu Yooshi dapat membantunya. Namun, menyadari Bu Yooshi bahkan tak berdaya karena masih harus membiayai sekolah anaknya, Faleesha pun menyerah.

Di sisi lain, wajah Ervina tampak memerah. Peduli setan ada pembantunya atau tidak!

Yang jelas, dia tidak suka dibantah! 

Jadi, tanpa basa-basi, wanita paruh baya itu menarik rambutnya. 

“Sudah pinter bantah ya sekarang! Walaupun ada pembantu, kamu tetep harus kerjakan tugasmu, jangan manja!” seru Ervina menegaskan. 

Faleesha menarik rambutnya dari genggaman Ervina. “Tapi, aku mau nemenin Papa.”

“Kau pikir bisa berbuat seenakmu, hah?” sela Angela dari arah berlawanan. 

Gadis yang baru saja datang itu tampaknya selesai belanja. Terlihat dia membawa beberapa paper bag berukuran sedang. 

Faleesha jelas menatapnya dengan nanar. 

Daripada menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting, lebih baik digunakan untuk biaya pengobatan sang papa. Tapi, apa yang mereka lakukan?

Mereka malah membuat Faleesha menyerahkan diri pada pria asing dengan cara menjijikkan. 

“Kamu sendiri juga seenaknya pakai uang Papa buat hura-hura. Sadar, itu bukan uang kamu, Angela!” seru Faleesha geram. 

Plak!

Tamparan mendarat di pipi Faleesha.

“Jaga mulutmu!” bentak sang ibu tiri dengan emosi. “Beraninya kau bicara seperti itu pada kakakmu!” 

Feleesha hanya tersenyum hambar. 

Dia sudah biasa menerima perlakuan kasar dari ibu tirinya. Bahkan sewaktu kecil dia pernah mendapat hukuman cambuk yang lebih parah hingga punggungnya membiru. 

Sungguh, Faleesha kini begitu muak! 

“Bukannya ini fakta?” sahut Faleesha balas menatap ibu tirinya, lalu menjauh pergi.

Hal ini jelas membuat ibu dan anak itu murka.

Mereka terus berteriak memaki Faleesha.

"Hei, anak kurang ajar. Berhenti kamu! Mami belum selesai bicara." Ibu tirinya berteriak keras seperti orang kesurupan.

"Udahlah, Mi. Biarin aja, percuma juga ngasi tahu gadis bebal itu, buang-buang tenaga." Saudara tirinya menyahut.

"Iya juga sih, 'kan Mami bisa aduin ke Papa kamu. Pria sakit-sakitan itu mudah sekali percaya sama Mami," pungkasnya percaya diri.

Walaupun Faleesha masih bisa mendengar jelas percakapan mereka, gadis itu menahan diri.

Dia terus saja menjauh dari pintu rumah menuju gerbang dan kembali ke taksi yang sudah menunggunya.

'Bahkan, monil dan sopir yang dibayar papaku sendiri pun tak dapat kunikmati,' lirihnya pedih.

Untungnya, tak lama, mobil itu pun melaju pelan membelah jalanan yang mulai padat.

Hanya saja, kala mobil melintasi toko bunga yang cukup besar, dia tiba-tiba teringat sesuatu.

Ayahnya pernah berkata, jika nama 'Faleesha Falguni' adalah pemberian sang ibu yang berasal dari bahasa sansekerta. Artinya adalah bunga tulip yang sedang mekar. Mungkin, ia harus memberikan bunga tulip pada sang ayah untuk menyemangatinya? Juga, agar Ayahnya selalu teringat padanya. 

Lagipula, Faleesha Kedang kebelet akibat buru-buru pergi dari rumah. Jadi, dia juga bisa menumpang untuk buang air kecil di sana. 

“Berhenti sebentar, Pak,” ucap Faleesha.

“Oh, baik, Non.” Sang supir pun menepikan taksinya.

Faleesha bergegas turun dan menghampiri florist di toko itu. “Permisi.”

“Ya, silakan. Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Apa kamu punya serangkaian bunga tulip? Aku ingin satu buket,” balas Faleesha sambil melihat-lihat.

“Tentu saja kami punya. Anda ingin tulip warna apa? Silahkan ikut saya untuk memilih-milih,” ajak florist tersebut.

“Baiklah,” sahut Faleesha, mengikuti langkah wanita itu, “Tapi, maaf. Apakah saya boleh numpang ke kamar kecil dulu?”

“Silakan, di sebelah sana,” jawab sang florist menunjuk salah satu lorong.

Faleesha mengangguk dan segera melewati lorong menuju kamar kecil. Dia merasa lebih lega setelah menuntaskan hajatnya.

Kala selesai, barulah dia menyadari jika tempat ini bukan hanya sekedar toko bunga.

Halaman belakang terhubung dengan restoran cepat saji yang menyediakan berbagai macam aneka menu makanan. Tempatnya luas dan penuh dengan air mancur.

Sepertinya, tempat ini sangat strategis untuk bisnis.

“Tuan! kami mohon, beri waktu satu Minggu lagi untuk melunasi hutang-hutang kami. Hanya toko ini satu-satunya mata pencaharian kami.”

Langkah kaki Faleesha berhenti.

Tanpa sengaja, dia mendengar percakapan dari ruangan di sampingnya.

Kebetulan, daun pintu tersebut terbuka, hingga dirinya bahkan dapat melihat apa yang sedang terjadi.

“Kalau Anda menyitanya, kami makan apa,” lirih seorang pria berperawakan pendek sedang mengiba.

“Waktumu sudah habis, Pak tua. Tuan tidak suka orang yang tidak bisa menepati janji,” ucap salah seorang dari 4 bodyguard bertampang seram di sana, “Hari ini seharusnya hutang-hutangmu sudah lunas.” 

Faleesha sungguh ngeri melihat pemandangan itu. Dia ingin cepat pergi.

Hanya saja, lututnya melemas kala menyadari sosok bos dari orang-orang itu!

"Tuan Sanders?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status