Dinis Maheswari, seorang anak yang harus bergantian mukena dengan ibunya karena kemiskinan yang membelenggu. Ia menangis meminta mukena baru karena sering diejek, namun ternyata hal itu mengantarkan pada kemalangan yang lain. Ibunya, Resmi, dituduh mencuri di sebuah rumah besar milik seorang juragan, membuat Dinis harus menjaga adiknya seorang diri. Resmi yang juga hidup dalam kemalangan yang besar, tidak mampu berbuat apapun. Sang suami, Harno meninggalkan mereka merantau ke Jakarta dan tak kunjung pulang. Sementara keluarga Resmi, memusuhi karena tidak setuju dengan pernikahannya dengan Harno. Pada suatu ketika, ia mendapati sosok yang diharapkan pulang itu ternyata sudah memiliki wanita lain. Resmi lalu bertekad untuk keluar dari keadaan menyakitkan itu.
View MoreBeberapa pasang mata yang sedang berkerumun menggunjing Resmi, kaget melihat sosok yang datang.“Dinis, Hasbi ....” Mereka kompak menyebut nama kedua anak itu.Dinis tersenyum sambil menggandeng tangan Hasbi.“Lhah, kamu pulang? Katanya dijual?” tanya salah satu dari mereka.“Kata siapa? Siapa yang jual Dinis?” Tidak terima, Normi langsung ambil alih menjawab.“Kata, kata siapa ya? Kata Resmi.”“Bukan. Kata Mbak Darmi.”“Mbak Darmi kata, kata Muni, gosip itu dari ibunya Nazma.”“Tidak ada yang menjual aku. Ibu pulang lebih dulu karena aku sedang ikut tes catur wulan. Sekarang sudah selesai dan aku menyusul diantar Eyang dan Mas Roni,” jelas Dinis.“Dinis, itu siapa? Siapa mereka?” Dasar tetangga Resmi kurang sopan, tanpa basa-basi mereka langsung bertanya.“Aku eyang angkatnya Dinis. Ini sopirku,” jawab Normi cepat sebelum Dinis yang menjawab.“Walah, Dinis, jadi kamu tidak dijual? Katanya kamu dijual? Ibumu tidak jadi pe-lacur di sana, Dinis?”“Mbak, kamu tahu sopan santun tidak? Apa
Part 42Darmi yang tidak terima dengan keputusan Resmi menitipkan tanah pada orang lain, mulai melancarkan aksinya. Ia mengumpulkan seluruh keluarga besar dan memberi informasi tentang Dinis yang menurut warga kampung dijual.“Mustahil Si Resmi gak jadi pe-lacur karena sekarang dia terlihat berbeda. Tidak mungkin kalau dia bekerja hanya sebagai pembantu saja, bisa punya emas dan uang banyak,” ucap Darmi berapi-api.“Harus ditanyakan lagi alasan kenapa dia jual anaknya,” sahut Imin, adik laki-laki satu-satunya yang kebetulan juga sedang berkunjung.“Stress memang Si Resmi. Sudah, kita usir saja dia dari sini untuk selamanya. Nanti, uang yang dia minta sama Haji Abas biar bapaknya Fariha yang menebus.”“Lalu tanahnya?” tanya Imin.“Ya tanahnya buat aku dong. Aku yang menebus,” jawab Darmi. Ia berambisi menguasai harta Resmi.“Ayo kita geruduk saja rumahnya. Bila perlu bawa warga ramai-ramai buat usir. Aku mau panggil warga dan kamu, Imin, kamu panggil Bapak supaya jadi saksi. Aku tidak
Selama tidak ada Resmi, Harun semakin dekat dekat dengan keduanya. Setiap sore mengajak jalan-jalan naik motor, membelikan jajan yang enak dan menemani keduanya sampai tertidur. Tak jarang mereka bertiga terlelap di ruang televisi karena lelah bermain.“Pak, aku pamit pulang dulu, ya?” ucap Dinis sambil mencium tangan Harun.“Pak, aku juga ya ....” Hasbi tidak mau kalah.“Kalian jangan lama-lama ya! Nanti Bapak rindu ....”“Aku ingin bermain dengan Suci sepuasnya. Nanti aku kembali kesini lagi,” jawab Dinis.“Kamu gak pengen lihat nilai kamu?”“Pasti peringkat satu lagi,” jawab Dinis percaya diri.“Pak, gak ingin ikut?” tanya Roni pada Harun.“Aku akan mengurus toko sementara waktu. Ibu sudah ikut.”“Gak kangen sama Mbak Resmi?” bisik Roni.“Jangan ngaco kamu! Dah sana pergi! Hati-hati nyetirnya!”Dinis berlari memeluk Harun lama sekali. “Terima kasih ya, Pak, sudah menyayangi kami. Kami masih ingin tinggal di rumah Bapak. Aku senang di sini,” ucapnya sambil menangis.“Kamu gak usah p
Part 41Setiap episode kehidupan menciptakan warna tersendiri dalam hidup.***POVAUTHOR***“Kau mencintai Resmi, Harun? Apa sudah memastikan perasaanmu sendiri?” tanya Normi pada Harun yang berdiri melipat tangan di dekat jendela--mengamati daun-daun yang terbang diterpa angin.“Apa Ibu perlu tahu semua yang aku rasakan?” Harun balas bertanya.“Harus. Karena perasaan kamu adalah bakal dari keputusan masa depan yang kamu ambil. Aku ibumu, aku orang yang paling berhak tahu karena saat terpuruk, hanya aku yang menemanimu.”“Resmi acuh terhadapku, Bu ....”“Resmi menutup hatinya untuk siapapun yang ingin masuk. Dia juga terlalu berkubang pada perasaan tak pantas dicintai. Meski Ibu sudah berusaha keras untuk mengangkat derajatnya dari seorang pembantu, Resmi tetap saja merasa kalau ia terlalu rendah untuk kamu. Seperti itu kira-kira yang Ibu nilai darinya.”“Menurut Ibu, apa dia pantas untuk bersanding denganku?”Normi diam tak langsung menjawab. Memilih menjatuhkan bobot tubuh pada kursi
Mereka yang tadi berbisik kini diam. Terkadang kita tak perlu membela diri, menerima dan mengakui saja apa yang dituduhkan meski itu tidak benar.Namun begitu, tidak semua orang jahat, tetap saja ada yang baik. Seperti teman masa kecilku yang lain. Ia datang ke rumah dan menangis. Bahagia katanya bisa melihatku.“Tidak benar ‘kan gosip tentang kamu? Aku tidak percaya.”“Mau menjawab ya silakan, mau tidak ya silakan.” Aku menyahut sambil tertawa.“Tapi orang-orang bilang kamu sekarang cantik lho. Pakai baju bagus dan kelihatan beda. Kayaknya mereka iri deh. Tahu sendiri ‘kan, kalau iri pasti membuat gosip yang tidak-tidak?”Aku tertawa lagi.“Tahu tidak, adiknya Harno yang baru nikah?”“Kenapa?”“Dia babak belur dihajar suaminya karena ketahuan selingkuh.”“Kamu kenal Imah?”“Aku kenal dengan tetangga Harno. Kemarin ada yang ke rumah urusan pekerjaan sama suami, terus dia cerita.”Urusan pekerjaan suami yang dimaksud Ranti tentu saja tentang buruh bangunan, bukan bisnis seperti kalang
Part 40Setiap sudut ruangan di rumah ini selalu mengingatkanku pada masa lalu. Sejenak aku duduk di atas kasur dingin yang sedikit keras mengurai perjalanan hidup yang telah terlewati. Suara lantunan anak-anak membaca kitab barzanji di masjid semakin membuat hati ini sedih. Seyogyanya orang pulang dari rantau disambut hangat oleh keluarga, tetapi tidak dengan aku. Sepi, sunyi dan tetap sendiri membuat rasa rindu pada keluarga Bu Normi semakin menjadi.Sayup ku dengar orang memanggil di depan pintu. Dengan cepat beranjak dan membukanya, ternyata Bapak berdiri di sana. Aku segera mengulurkan tangan dan mencium telapak tangan lelaki yang sudah berusia senja itu.“Apa benar Dinis dan Hasbi dijual?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Bapak membuatku menganga.“Siapa yang bilang, Pak?”“Orang-orang. Tetangga bergosip demikian makanya aku kemari untuk memastikan.”“Bapak datang hanya ingin mengklarifikasi kabar itu? Bukan ingin tahu keadaanku?”Bapak masuk berjalan melewati tubuhk
Kaki putih yang terselubung sandal berhak tinggi, mulai menapaki jalan berbatu yang tertata rapi. “Resmi?” “Resmi? “Resmi benarkah ini kamu?” Tetanggaku berteriak girang. Aku tersenyum dan menyalami mereka. “Kamu cantik sekali. Pangling aku.” “Resmi, ya Allah, kamu sudah lama pergi, kemana saja?” “Jadi babu ....” Aku tetap sama. “Aku pulang dulu ya?” Kembali berjalan lagi menyusuri jalan yang penuh kenangan. “Resmi ... itu kamu?” Mbak Darmi kaget saat melihatku datang. “Iya, Mbak. Apa kabar?” sapaku. Bagaimanapun, Mbak Darmi adalah saudaraku. Aku menyalami dia, tetapi langsung gegas pergi. Dengan langkah cepat segera memasuki pekarangan. Rumahku terlihat tidak terawat, dan yang membuat hatiku panas, pintu terbuka lebar dan banyak sekali sampah daun dan bunga bekas mainan anak kecil. Ya Allah, aku masih hidup, tetapi rumah itu sudah bak tempat umum saja yang bebas digunakan siapapun. beberapa jendela ada yang rusak terbuka, sepertinya ulah anak-anak nakal. Geram, aku masuk k
Part 39“Tapi beneran ya, aku diantar pulang setelah selesai tes?” ucap Dinis memasang wajah sedih.“Iya, nanti kamu pulang sama Mas Roni,” jawab Bu Normi. Atas pertimbangan banyak hal, Dinis yang hendak mengikuti tes catur wulan ditahan Bu Normi agar tidak ikut pulang. Ia akan menyusul satu minggu lagi diantar Romi.“Sabar ya, nanti kamu bisa di sana sebulan. Setelah selesai tes, kamu akan langsung menyusul,” ucapku pada Dinis.Aku akan pulang untuk mengurus banyak hal, oleh karenanya, Hasbi juga ditahan oleh Bu Normi untuk sementara waktu.“Gak papa, nanti ada Mbok Jum. Dia juga sudah biasa tidur dengan Harun sekarang,” kata Bu Normi.Akhir-akhir ini, Hasbi lebih dekat dengan Pak Harun dan sering tidur bersama. Aku harus mengambil keputusan ini agar tidak terganggu dengan Hasbi.“Bu, apa tidak merepotkan nanti kalau anak-anak aku tinggal?”“Apa selama ini aku kelihatan tidak ikhlas dengan anak-anak kamu?” Bu Normi balas bertanya.“Baik, Ibu, aku akan pergi sendiri.”***NA***“Hati-
“Panggil bapak. Bapak saja, tanpa ada embel-embel Harun. Kalau kamu gak mau panggil itu, nanti pas menang dan maju tingkat kota, aku tidak mau mengajari,” Pak Harun berbisik di telinga Dinis sehingga posisi kepalanya condong pada pangkuan dimana Dinis berada.“Baik,” kata Dinis cepat.“Wah, ini orang tua kamu ya?” Tiba-tiba seseorang berpakaian guru menghampiri.“Em ....” Dinis hendak menjawab.“Iya, kami orang tuanya.” Pak Harun cepat menjawab sebelum Dinis selesai berbicara.Pria itu mengangguk-angguk dan berpamitan.“Siapa dia?” tanya Pak Harun pada Dinis.“Orang itu jadi pengawas tadi di dalam, sering menghampiri aku dan tanya-tanya. Kenapa Pak Harun bilang orang tuaku?”“Supaya kamu menang,” jawab Pak Harun asal.Kami kembali diam. Tak lama kemudian, Dinis tiba-tiba berbicara lagi.“Ibu, aku ingin pulang ke desa.”“Kamu ingin tinggal di sana lagi?” Pak Harun yang menjawab.“Enggak. Aku cuma pengin pulang dan ketemu sama Suci. Habis itu, kesini lagi.”“Kalau kamu menang lomba, Bap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.