Share

Bab 5 : Keputusan

Sudah seminggu semenjak kejadian di rooftop itu. Dan sudah selama itu juga aku bekerja mencari uang.

Aku memilih menggantikan ibu untuk bekerja. Aku mau ibu hanya di ruang sakit dan menemani ayah. 

Aku masih berharap ada keajaiban hingga ayah bisa bangun. Aku tidak boleh patah semangat demi ayah dan ibu.

"Liat deh, Sayang, mantan kamu murung terus akhir-akhir ini. Palingan gara-gara belum move on dari kamu."

Aku yang lewat di koridor tidak sengaja bertemu dengan Ceysa dan Sean yang terus sama-sama setiap harinya.

Belum move on? Cuih! Aku sudah move on kali!

Rasanya aku ingin mengatakan perkataan itu, tapi aku tidak mau membuang tenaga untuk meladeni ucapan Ceysa yang tidak penting.

Tidak mau lama-lama melihat Ceysa dan Sean yang membuat aku ingin muntah, aku berjalan melewati mereka dengan santai menuju kelas.

Selama di koridor, tidak ada lagi yang menyapaku. Mereka beralih menatapku sinis dan tidak suka. Ya, pada akhirnya mereka membuka topeng mereka juga.

Aku merasa lebih baik dengan keadaan sekarang. Walaupun aku tidak memiliki teman, setidaknya aku tidak perlu bersikap atau meladeni mereka seperti dulu.

Aku tau gosip kalau aku jatuh miskin sudah tersebar, jadi mereka yang mendekatiku karena uang, sudah menjauh. Tapi entah kenapa yang lainnya juga ikut menjauh.

Tapi aku juga tidak peduli. Sekarang yang perlu aku lakukan adalah fokus mengumpulkan uang untuk pengobatan ayah yang semakin hari biayanya semakin besar saja. Bahkan ibu juga sudah menjual beberapa aset yang kami punya.

Hidup kami memang semakin susah. Tapi aku akan berusaha untuk bisa mengatasi semuanya.

Di sekolah, aku hanya mendengarkan penjelasan guru dengan tidak tertarik. Tapi untunglah nilaiku tidak terpengaruh.

Selama seminggu ini, mereka yang berteman denganku awalnya beralih membully aku. Dan yang paling sering Ceysa. 

Aku jelas tidak tinggal diam, aku membalas mereka. Tapi lagi-lagi, aku kalah. Itu karena aku kalah jumlah. Seperti sekarang ini. Mereka membullyku saat sedang istirahat.

Aku yang tadinya makan bekal dengan tenang, kembali dibully Ceysa dan gengnya. 

"Liat deh. Semakin hari semakin miskin aja, Lura. HAHAHA," hina Ceysa.

Aku tidak peduli dan makan dengan tenang.

"Lura, mau gue kasi tau cara supaya lo cepat kaya?" tanya Ceysa.

Aku yang mendengar itu menatap Ceysa langsung. Aku sangat butuh uang sekarang.

"Gimana kalau lo kerja jual diri aja?"

Bangsat! Aku tertipu lagi. Aku pikir dia mau memberikan saran yang tepat. Memang bodoh aku mempercayainya.

"Kalau lo kerja jual diri ..." Ceysa memainkan rambutku dan menatapku dari atas ke bawah, "Gue yakin lo dapat uang banyak. Walaupun muka lo kalah jauh sama gue, tapi muka lo masuk kategori cantik kok. Pasti nanti lo la--"

Tidak tahan dengannya, aku berdiri dan menamparnya. 

"Lo berani sama gue?" tanya Ceysa sambil memegang pipi kirinya yang aku tampar.

"Emang kenapa?"

Ceysa tersenyum sinis. Tiba-tiba saja teman-temannya menarik rambutku.

Sekali lagi, mereka membully aku tanpa ampun. Mereka menjambak, mendorongku hingga jatuh menimpa meja ataupun menginjak kakiku.

Mereka baru berhenti saat Pak Mario datang.

"Kalian lagi kalian lagi. Keruangan saya sekarang!" perintah Pak Mario pada kami.

Kami berjalan ke ruang kedisiplinan.

"Kenapa kalian selalu buat masalah?!"

Aku hanya diam saja. Tidak ada gunanya melapor.

"Lura yang mengganggu aku, Pak."

Aku memutar bola mata bosan. Selalu saja Ceysa yang menyalahkanku. Padahal dia yang datang dan menggangguku makan.

Aku tidak mau capek-capek menjelaskan. Toh, citraku sebagai 'Good Girl' sudah mulai hancur. 

"Allura! Kenapa kamu akhir-akhir ini buat masalah?! Selama ini kamu tidak pernah buat masalah. Tapi kenapa sekarang kamu sering buat masalah? Sudah satu minggu ini kamu masuk ke ruangan saya terus."

Aku hanya menatap Pak Mario datar, tidak menjawab sama sekali.

Pak Mario terus bertanya hingga lelah sendiri. "Oke, kalau begitu, kamu saya skors 3 hari."

Skors? Tidak buruk juga. Aku bisa gunakan untuk bekerja.

"Saya akan menelepon orang tua kamu. Mulai hari ini kamu akan diskors. Silahkan kamu pergi."

Aku berdiri dan membungkuk, "Permisi." Aku langsung keluar dan mengambil tasku di kelas. Aku akan pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi ayah. Dengan begitu, ibu bisa pulang beristirahat.

Aku memilih memberi pesan ke ibu kalau aku akan ke rumah sakit karena diskors. Walaupun Pak Mario akan mengubungi ibu, aku mau ibu tau lebih dulu dari aku. Aku yakin, ibu akan kecewa karena aku diskors. 

Allura bodoh, kamu hanya membuat ibu semakin susah! omelku pada diriku sendiri yang bodoh. Tapi aku juga lelah jika harus terus berhadapan dengan mereka.

Aku menghembuskan napas lelah dan berjalan ke ruang rawat ayah. Aku menyapa suster yang lewat dengan ramah. Mereka memang sudah mengenalku karena satu minggu ini aku menghabiskan banyak waktu di rumah sakit ini.

Aku masuk ke kamar ayah dan melihat tidak ada ibu. Entah kemana ibu pergi. Mungkin dia sedang ke toilet.

Aku mendekat ke ayah dan mencium keningnya lembut, "Selamat pagi, Ayah. Ara datang lagi. Maaf hari ini Ara diskors karena buat masalah."

Air mataku menggenang di pelupuk mataku, hatiku tetap saja teriris melihat ayah terus terbaring. "Ayah yang kuat, ya. Ara yakin ... Ayah bisa lewati semua ini ..."

Pintu ruang rawat terbuka. Aku menoleh dan melihat ibu yang datang dan ada dokter juga.

Aku tersenyum dan menyalim tangan ibu, "Selamat pagi, Bu. Ibu sudah liat pesan Ara?"

Ibu mengangguk lemah. Dia mengusap pelan kepalaku, "Ibu tau, Ara pasti punya alasan kenapa buat masalah." Ibu tersenyum teduh kepadaku.

Inilah yang membuat aku sangat menyayangi ibu, dia wanita yang selalu percaya padaku kalau apapun yang aku lakukan pasti ada alasannya.

"Maafin Ara, Bu."

"Tidak apa, Nak."

Aku beralih menatap dokter yang di serong belakang ibu, "Bu? Kenapa dokter datang? Pemeriksaan rutin?" Aku bingung dengan kedatangan dokter. Biasanya jika mau pemeriksaan rutin, kami akan langsung diminta keluar dulu, ini tidak. Ada yang aneh.

Dokter dan ibu sama-sama diam.

"Bu? Dokter? Ada apa?" Lagi-lagi aku benci pikiranku. Aku benci saat aku merasa ada yang tidak beres. Aku benci saat merasakan perasaan tidak tenang ini.

Ibu tersenyum tipis yang terlihat lain di mataku. Ibu menggenggam kedua tanganku erat, "Ara ..."

"Iya?"

"Kamu mau, ya? Biarkan ayah mendonorkan organnya?"

"Do-donor ... or ... gan?"

Ibu mengangguk. 

Matanya yang terlihat memohon itu terlihat sedih.

"Bu ... Ara ... tidak mau ..."

Aku tidak mau. Kalau ayah mendonorkan organnya, aku ... aku ... tidak akan pernah melihatnya lagi ...

Ibu menggenggam tanganku tambah erat, "Ara, ayah sudah mendaftar sebagai pendonor. Ki-kita tidak bisa terus membayar pengobatan ayah, Nak ..."

Ibu melepas tanganku dan memberikan sebuah benda yang terlihat seperti kartu. Aku mengambil benda itu. Tertulis nama ayah di kartu ini. Dan kartu ini ... adalah kartu donor ...

"Ayah sudah mendaftar sebagai pendonor dari lama, Nak. Ibu sudah tau. Tapi Ibu selama seminggu ini berharap ada keajaiban, tapi tidak ada, Nak. Jadi sekarang kita hanya bisa melakukan ini."

Pandanganku mulai mengabur, menatap kartu tipis di tanganku. Air mataku turun dengan deras.

"Ayah ... Ayah ..." 

"Ara ... kamu setuju, Nak?"

Aku tidak tau harus berkata apa. Rasanya suara yang ingin keluar tertahan begitu saja di tenggorokanku.

Ibu langsung memelukku dengan erat, "Ara kalau tidak mau tidak apa. Ibu tidak akan memaksa."

"Ta-tapi ... a-ayah hanya akan menderita, jika terus terbaring seperti itu, Bu ..."

Benar-benar tidak mudah. Aku tidak mau kehilangan ayah, tapi di sisi lain, ayah hanya akan terus tersiksa. Kemungkinan ayah untuk bangun sangat kecil, bahkan bisa jadi tidak ada.

"Bu ... A-ara ti-tidak mau ... kehilangan ayah ..."

Ayah salah satu penyemangat dalam hidupku. Aku tidak mungkin mau kehilangannya.

Ibu melepas pelukannya dan memegang kedua pipiku penuh kasih sayang, "Ara jangan khawatir ... Ayah ... akan selalu ada di hati Ara dan Ibu ..."

Aku menatap kedua mata ibu yang terlihat mencoba meyakinkanku. Aku tau, ini keputusan yang sangat berat juga untuk ibu, tapi dia berani mengambil keputusan ini, itu artinya aku harus bisa mengambil keputusan yang sama.

"A-ara ... se-setuju ..."

Ibu tersenyum, "Keputusan yang tepat, Nak."

Aku menggigit bibir bawahku. Menatap ayah di ranjang pasien.

Aku melangkah mendekat dan menatap wajah ayah, "Ayah ... maafin Ara yang hanya bisa menyusahkan Ayah. Ara sayang Ayah." Aku mengecup kening ayah cukup lama dan berlari memeluk ibu dengan erat.

Ibu mengusap punggungku pelan, "Kita bisa lewati ini bersama, Nak."

Aku tidak merespon dan mempererat pelukanku pada ibu.

"Kami akan melakukan operasinya besok. Saya akan membawakan surat persetujuan operasi," ucap dokter yang masuk ke pendengaranku.

"Baik, Dok," sahut ibu dengan suara lemah.

"Kalian yang kuat. Saya permisi."

Pintu kamar kembali tertutup. 

Rasanya perasaanku benar-benar hancur saat ini. Bahkan rasa sakit di tubuhku karena perbuatan Ceysa dan gengnya tadi tidak terasa sakit lagi. Hanya hatiku yang terasa sangat sakit.

Aku merasa tidak bisa melakukan apapun lagi.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status