Share

Bab 3 : Dipermainkan

Aku menarik rambut Ceysa dengan keras. Aku sudah tidak tahan lagi dengan tingkahnya.

Ceysa meringis dan tidak tinggal diam. Dia ikut menarik rambutku.

"Lepasin rambut gue!!" seru Ceysa.

"Lepas juga rambut gue!!!"

"Lo yang tarik rambut gue duluan!!"

Tarikan Ceysa semakin keras. Dia bahkan mencakar wajahku.

Aku tidak bisa bohong kalau tenaga Ceysa lebih kuat dibanding aku.

Kepalaku rasanya ingin pecah karena rasa sakit yang menjalar.

"Ceysa lepas!!!!"

"Lepasin dulu rambut gue sialan!!"

Aku jelas tidak mau melepas jambakanku. Aku sudah tidak bisa memaafkan kesalahannya kali ini. Dia sudah keterlaluan.

Dengan bantuan Feli, Ceysa akhirnya bisa lepas dari jambakanku.

"Berani banget lo sama gue!"

"Jelas gue berani! Ngapain gue takut sama lo!" Ceysa berharap aku takut padanya? Cuih! Tidak akan!

"Gue akan buat lo nyesel udah berani sama gue."

Ceysa menarik rambut belakangku dan mencelupkannya dengan kasar ke wastafel yang terisi air.

Aku tidak sadar kalau wastafel full. Pasti kerjaan Feli tadi. Bahkan aku tidak sadar suara air dari tadi karena sibuk menjambak rambut Ceysa.

Ceysa menarik dan mencelupkan kepalaku berkali-kali. Rasanya hidungku sangat perih karena kemasukan air. Bahkan banyak air yang masuk ke tenggorokanku.

Mungkin dia sudah kehilangan waras karena mencelupkan wajahku hingga air di wastafel yang tadinya full semakin menipis.

Setelah menarik mencelupkan kepalaku berkali-kali, Ceysa berhenti. Ia tetap menarik rambut belakangku dan membuatku menatap cermin.

"Lura, coba deh lo liat muka lo di cermin." Ceysa menunjuk wajahku, "Muka lo itu kalah jauh dibandingkan muka gue."

Aku mencoba menarik tangan Ceysa yang masih menjambakku, tapi ditahan Feli.

"Muka lo ini ..." Ceysa melepas jambakannya dan beralih memegang pipiku atau lebih tepatnya menekan dengan keras. Ia menatap wajahku dan tersenyum miring, "Nggak menarik sama sekali. Sean hanya mempermainkan lo."

"Nggak. Sean nggak mungkin mempermainkan gue!"

"Yakin banget lo." Ceysa semakin menekan kedua pipiku yang terasa sakit sekarang. "Lo bisa tanya sendiri sama Sean. Jangan salahkan gue kalau lo sakit hati karena dengar dari Sean langsung. Tapi pastinya lo lebih percaya kalau dengar sendiri dari Sean."

Ceysa membuang mukaku dengan kasar dan Feli melepaskan juga kedua tanganku.

"Jangan lupa putus dengan Sean nanti. Oh iya, di kantin nanti gue mau traktir semua orang sebagai PJ gue sama Sean. Jangan lupa ke kantin ya! Kan lo udah 3 hari ini nggak ke kantin karena mulai hemat. Miskin sih. Ups!"

Aku menatap Ceysa dari pantulan dirinya di cermin. Gadis itu tersenyum mengejekku, lalu pergi bersama Feli dengan pintu toilet yang dia banting.

Aku mengepalkan kedua tanganku geram dan menatap pintu toilet yang sudah tertutup kembali. "Gue yakin, suatu hari nanti lo akan terima balasannya, Ceysa."

Aku menatap pantulan diriku di cermin. "Kenapa aku sebodoh ini untuk tidak tau kalau dia sebusuk itu? Kenapa aku bisa tertipu?"

Air mataku menetes tanpa bisa kutahan, bercampur dengan air keran yang masih ada di wajahku. Tanganku yang bertumpu di pinggir meja wastafel mengepal kuat hingga urat-urat tanganku timbul.

Aku bodoh. Sangat bodoh. Seharusnya aku tidak pernah percaya orang dengan gampangnya hanya dari tampangnya yang terlihat baik.

Aku juga bodoh, bisa jatuh cinta pada laki-laki seperti Sean. Mempercayainya juga sebesar aku mempercayai Ceysa.

Seharusnya aku mulai curiga kalau Sean punya perempuan baru karena laki-laki itu akhir-akhir ini mulai jarang menghubungi aku, atau bahkan saat aku meneleponnya, baru sebentar dan dia akan mematikannya.

Aku seharusnya tidak percaya perkataannya kalau dia sibuk. Itu hanya bualannya untuk menutupi kalau sebenarnya dia sudah punya yang baru dan ingin putus denganku.

Aku menutup mata. Membiarkan air mataku terus luruh karena rasa sakit yang ada di hatiku.

"Harusnya dari awal dia jujur. Harusnya dia tidak usah bilang sayang sama aku kalau itu cuma bohong. Harusnya ... aku tidak pernah menaruh harapan lebih padanya ..."

Hatiku sangat sesak dan sakit. Rasanya seperti ada tangan besar yang mencengkram jantungku dengan keras hingga aku sulit bernapas.

"Hiks ... Uhuk … Uhuk ... Sesak ... Sangat sesak ..." lirihku sambil mencoba memukul dadaku yang semakin sesak.

"Ara, hiks ... ka ... kamu perempuan yang ku ... kuat. Jangan hiks ... ka .... kayak gini ..." Aku menghapus air mataku. Aku tidak boleh menangis, mataku hanya akan semakin bengkak.

"Kamu kuat, Ara ..." ucapku menguatkan diriku sendiri.

Aku melepas dasiku. Menyalakan keran dan membasuh wajahku agar bisa segar.

"Aw!" ringisku saat luka cakaran di pipiku karena Ceysa terkena air. "Ck! Nyusahin!"

Keran kututup kembali setelah merasa segar dan menatap pantulan wajahku di cermin yang meneteskan banyak air.

"Aku harus selesaikan ini semua dengan Sean nanti. Aku harus bisa."

Tidak lama, suara bel jam pertama membuat aku sadar. Aku mengambil dasi di meja wastafel dan tisu. Buru-buru aku mengusap wajahku dan berlari ke kelas.

Jangan sampai aku terlambat ke kelas, apalagi pagi ini kimia di jam pertama. Bisa-bisa aku dihukum Bu Dina.

Sampai di depan kelas, tanpa tunggu lama aku langsung membuka pintu dan termenung saat Bu Dina sudah ada di dalam kelas. Sial.

"Allura! Bisa-bisanya kamu terlambat di jam pelajaran saya?! Kenapa kamu terlambat?!"

Aku dapat melihat semua perhatian kelas tertuju padaku. Bahkan Ceysa di samping tempat dudukku tersenyum miring melihat aku yang terlambat.

"Allura! Saya bertanya sama kamu!"

Aku tersentak ketika mendengar suara Bu Dina. Aku membungkuk sedikit kepada Bu Dina, "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi ke toilet."

"Memangnya kamu buat apa di toilet sampai bel masuk, ha?! Harusnya kamu tau, saat jam masuk sudah dekat, kamu jangan meninggalkan kelas!"

Aku menunduk, menatap sepatu hitamku. "Ma-maaf, Bu." Aku tidak ingin menceritakan kejadian di toilet tadi, tidak ada gunanya.

"Kamu tau kalau saya tidak pernah mentolerir keterlambatan, kan? Jadi sekarang silahkan kamu keluar dari kelas. Kamu tidak akan ikut pembelajaran kali ini."

Mendengar itu, aku langsung menatap Bu Dina, "Ta-tapi, Bu--"

"Tidak ada tapi tapi. Keluar!!"

Sadar Bu Dina tidak akan mendengarkan penjelasanku, aku memilih menuruti hukuman yang ia berikan.

Toh, kalau aku masuk belajar sekarang, aku tidak akan fokus. Apalagi ada Ceysa yang duduk di samping mejaku. Perempuan itu hanya akan membuat aku risih dan ingin mencakar mukanya.

Aku menghela napas pasrah dan memilih berjalan-jalan mengelilingi sekolah daripada menunggu di luar kelas. Bu Dina tidak akan memasukkan aku walaupun aku berdiri terus depan pintu.

Semua murid sudah masuk dan belajar dalam kelas. Aku bahkan tidak melihat ada yang berjalan di koridor. Palingan mereka yang bolos sedang duduk-duduk santai di kantin atau rooftop sekolah.

Oh! Mungkin aku bisa ke rooftop sekolah. Udara di sana bagus. Aku bisa menenangkan pikiran.

Ya, aku memang butuh untuk menenangkan pikiranku dan batinku.

Aku sungguh lelah sejak ayah dipecat. Aku lelah memikirkan keadaan keluarga kami kedepannya bagaimana. Ditambah kemarin ayah kecelakaan dan dinyatakan mati otak.

Rasanya kemarin duniaku runtuh begitu mendengar perkataan ibu. Aku sungguh tidak ikhlas jika ayah dinyatakan mati otak.

Dan lucunya, pikiran jahat terbesit begitu saja di otakku sebelum tidur. Aku harus mencari yang menabrak ayah dan balas dendam. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena ayah itu korban tabrak lari, tidak ada cctv juga di jalan itu. Tidak ada bukti siapa yang menabrak ayah. Jadi aku mengurungkan niatku.

"Ya, semua ini semakin menyiksa ..."

Entah kenapa keluarga kami harus mendapatkan cobaan seperti ini. Apalagi sekarang aku mendapatkan fakta kalau sahabatku sendiri menikungku.

"Lura?"

Langkahku otomatis terhenti mendengar panggilan dari suara di belakangku. Aku jelas mengenali suara ini. Suara orang yang rasanya ingin aku cekek saat ini juga.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status