Share

Good Girl
Good Girl
Author: Moon Rose

Bab 1 : Kecelakaan

"Bu? Ada apa?" tanyaku pada ibu yang duduk di sofa ruang keluarga sambil menangis. Aku berjalan mendekat dan memeluk ibu, mencoba menenangkan wanita yang paling aku sayang.

"Ayah, Ara ..."

"Ayah kenapa, Bu?" Aku mengusap punggungnya pelan.

"Ayah ..."

Ibu terus mengulang mengatakan ayah berkali-kali membuatku bingung.

Aku memegang kedua bahu ibu, "Bu, liat Ara. Cerita sama Ara, ada apa sama ayah?"

Perasaanku menjadi tidak tenangm melihat ibu terus menangis. Ibu jarang menangis. Bahkan saat ayah dipecat 5 hari yang lalu pun, dia tidak menangis, mengatakan semua akan baik-baik saja.

Mata merah ibu menatapku. Aku dapat melihat kesedihan di tatapannya yang selalu penuh kasih sayang.

Ada apa ini? Bukannya tadi sebelum aku pergi semua baik-baik saja?

Aku tadi pergi kerja kelompok. Saat aku kembali, aku sudah melihat ibu di ruang keluarga ini sambil menangis.

"Ara ..."

"Iya, Bu?"

Suara ibu masih sesenggukan. Ia mencoba menghentikan tangisannya.

"Ibu tenang dulu. Tunggu di sini, Ara ambil minum dulu."

Aku meninggalkan ibu dan mengambil minum di dapur. Segelas air hangat ada di tanganku dan kembali ke ruang keluarga.

"Bu, minum dulu." Aku menyerahkan gelas itu ke ibu dan diterimanya dengan tangan bergetar.

Ada apa sebenarnya ini? Kenapa perasaan aku menjadi tidak enak?

Aku melihat ibu meletakkan gelas ke meja dan menatapku. Sepertinya ibu sudah akan bercerita padaku.

"A-ayah kecelakaan, Ara. Tabrak lari ..." lirih ibu dengan nada yang bergetar.

Aku merasa jantungku seperti berhenti berdetak. Mataku memanas. Karena tidak mau menangis di depan ibu, aku menahannnya.

"I-ibu serius? Kenapa bisa?" tanyaku mencoba agar suaraku tidak bergetar.

Ibu mengangguk dengan lemah. "Ta-tadi Ibu dapat telepon dari rumah sakit. Ayah kecelakaan dan seseorang yang melihat ayah tergeletak di aspal membawanya ke rumah sakit."

"Lalu kenapa Ibu tidak ke rumah sakit?" Aku khawatir dengan kondisi ayah. Seharusnya ibu ada di rumah sakit sekarang.

"Ibu nunggu kamu, Nak."

"Kenapa Ibu tidak menelepon Ara? Ara bisa cepat pulang!"

Amarahku mulai memuncak. Aku marah karena ibu menyembunyikan kabar penting ini.

"Waktu kamu memberi kabar ke Ibu kalau sudah dalam perjalanan pulang, Ibu dapat telepon itu. Jadi Ibu pikir untuk menunggu kamu pulang baru Ibu cerita."

Aku menutup mataku. Menahan agar amarahku menjadi tidak terkontrol dan menahan agar air mata yang sedari tadi berusaha kutahan agar tidak turun.

Setelah tenang, aku membuka mata dan memegang telapak tangan Ibu, "Kita ke rumah sakit sekarang. Ara akan pesan taxi online, Ibu siap-siap."

Ibu mengangguk, "Iya, Nak."

Aku mengambil ponsel untuk memesan taxi online sambil menunggu ibu yang bersiap-siap.

Setelah beberapa menit, kami berangkat ke rumah sakit saat taxi online datang.

Di jalan, aku menggenggam tangan ibu dengan erat. Mencoba menguatkannya, walaupun aku juga panik.

Sampai di rumah sakit, setelah bertanya pada suster, untunglah ayah telah dipindahkan ke ruang rawat.

Kami buru-buru ke ruang rawat ayah dan ada suster yang keluar dari ruang rawat ayah.

"Keluarga Pak Mahesa?" tanya suster itu.

"Iya, Sus. Saya istri-nya dan ini anaknya. Bagaimana keadaan suami saya, Sus?" tanya ibu dengan tergesa-gesa.

Aku memegang kedua bahu ibu, mencoba membuatnya tenang, "Ibu, tenang. Ayah pasti baik-baik saja."

"Pak Mahesa kondisinya kritis. Beliau juga tadi menjalani operasi karena luka berat yang ada di kepalanya dan orang yang membawanya yang menyetujui operasi beliau tadi karena kalian belum datang. Silahkan Ibu ke ruang dokter untuk mendengar penjelasan lebih lanjutnya."

Ibu terlihat sangat sedih saat ini.

"Ibu, Ibu sekarang pergi ke ruang dokter saja. Ara yang akan jaga ayah."

"Baik, Nak."

"Mari, Bu, saya antar," tawar suster itu.

Mengingat sesuatu, aku memegang lengan suster itu.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin tanya, Sus, orang yang bawa ayah saya ke sini di mana, ya?"

"Saya juga kurang tau, Mbak. Tadi dia masih ada di sini, tapi sepertinya sudah pulang."

"Kalau saya boleh tau, siapa yang membawa ayah saya?"

Suster itu menggeleng pelan, "Maaf, Mbak, atas permintaan orang tadi, saya tidak akan menyebutkan siapa yang membawa ayah, Mbak. Kalau begitu saya permisi. Mari, Bu." Suster itu berjalan bersama ibu dan menghilang di pembelokan depan koridor.

Aku menghela napas. Aku ingin tau siapa orang baik yang membawa ayah.

Karena tidak ingin memikirkan itu saat ini, aku memutuskan berjalan masuk ke ruang rawat ayah.

Ayah terbaring di ranjang pasien dengan banyak alat yang terpasang di tubuhnya.

Aku menahan air mataku agar tidak keluar. Aku berjalan mendekati ayah dan menggenggam tangannya erat, "Ayah ... Ayah yang kuat, ya? Ara dan ibu akan menunggu Ayah di sini."

Aku menahan isak tangisku sekuat tenaga. Aku tidak boleh lemah.

Semua ini pasti akan berlalu. Ayah akan sadar, melewati masa kritisnya dan berkumpul bersama kami lagi.

Tapi aku menyesal. Seharusnya aku memberitahu ayah agar tidak usah berjuang sampai malam untuk mencari pekerjaan. Padahal kemarin aku sudah mengatakan pada mereka untuk memindahkan aku ke SMA negeri saja agar pengeluaran kami bisa berkurang, tapi mereka menolak.

Dan sekarang, ayah terbaring lemah tidak berdaya di ranjang pasien karena kecelakaan. Itu karena ayah yang dari 2 hari yang lalu berusaha mencari pekerjaan sampai malam dan tidak dapat juga.

Ayah memang seperti itu, selalu bekerja keras agar apa yang diinginkannya bisa tercapai.

"Hiks ... Ayah ... Ayah akan sembuh, kan?"

Melihat kondisi ayah yang terbaring lemah dan dalam keadaan kritis, hatiku rasanya benar-benar sakit. Apalagi ibu, aku tau ibu pasti sangat terluka.

Mendengar suara pintu yang dibuka pelan, aku sudah tau itu ibu. Aku langsung menghapus air mataku yang luruh.

Aku menatap pintu dan seperti dugaanku, ibu berdiri memegang gagang pintu sambil tersenyum getir padaku.

"Bu? Ada apa? Dokter bilang apa?"

Ibu berjalan pelan dan hampir jatuh kalau saja aku lambat menahannya.

Aku membantunya berdiri, "Bu? Ibu kenapa?"

Ibu bukannya menjawab, ia langsung memelukku erat, sangat erat.

"B-bu?"

Entah kenapa, perasaanku semakin tidak enak.

Aku merasa punggung ibu yang bergetar. Ibu menangis, lagi.

Karena tidak ingin memaksanya bercerita dalam keadaan sedih, aku mencoba menenangkannya.

Melihat ibu yang menangis dan ayah yang masih tidak menunjukkan tanda akan bangun, hatiku semakin teriris. Aku tidak sanggup melihat kedua orang yang sangat aku sayang terluka.

"Ara ..." lirih ibu dengan suara yang sangat pelan.

"Iya?"

Ibu melepas pelukanku. Ia memegang kedua pipiku dan mengelusnya lembut. "Ara yang kuat, ya?"

Aku mengerutkan kening, "Kenapa, Bu?"

"Ara pasti bisa melewati ini dengan baik."

Ibu terus mengatakan hal-hal yang tidak ku mengerti. Membuat perasaanku semakin kalut dan gelisah.

"Sebenarnya ada apa, Bu? Dokter bilang apa?" desakku pada ibu yang tidak kunjung menjelaskan apa yang dokter katakan.

"A-ayah ... dinyatakan mati otak ..."

Aku membatu. Sekali lagi dalam hari ini, jantungku terasa berhenti berdetak. Rasanya ada ribuan jarum, tidak, jutaan jarum yang menusuk jantungku secara bersamaan. Sangat sakit.

"Ti-tidak mungkin, kan?"

Ibu kembali terisak. Ia menunduk dan tidak menatap mataku.

Aku mencengkram bahu ibu dan membuatnya menatapku, "Bu! Ayo bilang kalau yang Ibu katakan tadi bohong!"

Ibu menggeleng lemah, "Tidak, Ara ... Dokter bilang seperti itu. Ka-karena benturan yang sangat keras di kepala ayah ... ayah ..." Ibu tidak melanjutkan kalimatnya dan semakin terisak.

Air mataku turun dengan deras. Kakiku yang lemas tidak mampu menahan bobot tubuhku lagi. Aku terjatuh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya. Tidak bisa lagi menahan semua yang aku tahan selama ini.

Kenapa? Kenapa kami harus mengalami ini? Penderitaan apa lagi ini? Kenapa kami?

Aku tidak mengerti apa yang Tuhan rencanakan pada kami. Hidup kami mulai susah sejak ayah dipecat dan kami harus mengalami hal menyakitkan ini.

"Ara ... kamu yang kuat, Nak. Kita bisa melewati ini ..." ucap ibu mencoba menenangkanku. Ia memelukku dengan erat.

Aku hanya bisa terisak dalam pelukannya. Aku tau ibu terluka, tapi aku tidak bisa ikut menenangkannya karena kondisiku juga sama-sama terluka.

-Bersambung-

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status