“Selamat pagi, Pak, anda ingin berbicara dengan saya?”
Di dalam ruangannya yang luas dipenuhi oleh aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Alexander Emanuel duduk di kursi kebesarannya sebagai seorang CEO.
Matanya yang tajam menatap ke arah pintu saat Clara masuk. Gadis yang selalu membuatnya penasaran dengan sorot matanya serta bola mata samar-samar mengingatkannya akan kejadian malam itu.
"Clara," sapanya dengan suara yang dingin namun tegas begitu Clara berada di hadapannya. "Saya mempersiapkan kontrak kerja untuk Anda. Silakan duduk." ucap Alexander dengan suara yang tenang tetapi berwibawa, membuat Clara semakin gugup.
Clara menarik kursi dengan hati-hati, mencoba menahan getaran ketegangan pada dirinya. Tatapan dingin Alexander menatapnya, mengungkapkan bahwa dia tidak akan mentolerir kelemahan atau ketidakpatuhan.
"Saya tidak yakin bisa menerima ini," ujarnya akhirnya dengan suara yang ragu setelah membaca setiap poin yang tertulis di kontrak kerja tersebut.
Sorot mata Clara memancarkan ketidakpastian saat dia menatap kontrak tersebut.
Alexander menyilangkan tangannya di atas meja, ekspresinya tidak berubah mendengar penuturan dari Clara.
"K-karena saya tidak bisa tinggal di tempat yang sama dengan Anda, Tuan Alex." Clara menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat.
"Apakah Anda merasa saya akan mengganggu Anda?" tanyanya, pandangannya mulai mengintimidasi Clara untuk menjelaskan.
"Tidak, bukan itu maksud saya, tapi—" Clara menggeleng cepat.
"Saya hanya merasa … saya perlu menjaga privasi saya." Clara terdiam, tidak yakin bagaimana harus melanjutkan.
Alexander mengangguk, seolah-olah dia sudah memperkirakan responsnya. "Sayang sekali," katanya dingin. "Saya tidak bisa memberikan pengecualian pada kontrak ini."
Clara merasakan keputusan itu menusuk hatinya. "Tapi, Tuan Alex—"
"Kalau begitu, saya rasa kita sudah selesai di sini." potong Alexander lagi, suaranya keras dan tanpa ampun.
"Jika Anda tidak mau menandatangani kontrak ini, Anda tidak punya tempat di perusahaan saya." Tidak ada ekspresi di wajah Alexander, tetapi pandangannya sulit untuk diartikan.
Clara terdiam, pikirannya dipenuhi dengan kecemasan. Dia tahu dia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini, tetapi juga tidak bisa tinggal bersama dengan pria yang ingin dia hindari sebisa mungkin.
"Ini bukanlah negosiasi, Clara,” Alexander membuka kancing jas, lalu mencondongkan duduknya ke arah Clara, “Ini adalah perintah." Telak, artinya apapun yang sudah diputuskan oleh Alexander, Clara tidak bisa menolaknya.
Clara menelan salivanya, ia tidak bisa mundur dari negosiasi ini. Dia bisa merasakan tekanan yang kuat dari kehadiran Alexander, seolah-olah dia sedang dihadapkan pada seorang raja yang menuntut setia dari bawahannya.
Clara menatap Alexander dengan mantap, tanpa sedikitpun menunjukkan keragu-raguan. Dia mungkin berada di bawah bayang-bayang kekuasaannya, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja.
“B-baik, saya menyetujui kontrak ini.” Akhirnya Clara mengalah, ia masih membutuhkan pekerjaannya saat ini.
Alexander mengangguk mendengar jawaban dari Wanita di hadapannya ini. Ia menyenderkan punggungnya di sofa, seraya kakinya menyilang.
"Clara, Kau perlu memahami konsekuensi dari keputusanmu. Jika Kau meninggalkan perusahaan ini sekarang, itu akan sulit bagimu untuk mendapatkan pekerjaan di luar sana. Kau akan kehilangan reputasimu." Alex kembali menjelaskan tentang konsekuensi yang mungkin akan diterima oleh Clara apabila suatu saat ia melanggar kontrak.
Clara tahu dia berada di ambang keputusan yang sulit, tetapi dia tidak bisa mengorbankan prinsipnya untuk mengikuti keinginan Alexander.
"Saya mengerti risikonya, Tuan Alexander." kata Clara dengan mantap, mencoba untuk tetap tegar di hadapan tekanan yang memenuhi ruangan itu.
Sebelum Alexander bisa menjawab, Clara merasa pusing tiba-tiba. Ruangan itu mulai berputar dan dia merasa dadanya terasa berat.
Dia mencoba untuk tetap berdiri, tetapi lalu semuanya menjadi gelap dan dia pingsan.
Alex terkejut melihat Wanita di depannya pingsan, dan segera mengangkat tubuh Clara ke sofa Panjang, ia pun memanggil asistennya.
"Siapkan mobil, kita akan ke rumah sakit!” perintahnya tegas kepada ajudannya yang selalu sigap, suaranya tanpa disertai oleh kepanikan.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sampai di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari Perusahaan Alexander. Setelah memastikan Clara mendapatkan perawatan, Alexander kembali ke kantornya.
Di kamar inap yang sepi, Clara akhirnya tersadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemah dan kepala terasa berat, membuatnya memejamkan mata sejenak untuk mencoba meredakan pusing yang melandanya.
Ketika dia membuka matanya lagi, dia merasa lega melihat seorang perawat yang sedang duduk di samping tempat tidurnya.
"Saya di mana ini?" tanya Clara dengan suara yang lemah, mencoba untuk tersenyum meskipun wajahnya pucat pasi.
Perawat itu mengangguk pelan, memberinya senyuman hangat. "Anda berada di rumah sakit, Nyonya Clara. Anda butuh istirahat yang cukup agar kondisi tubuh Anda bisa pulih sepenuhnya. Jangan terlalu banyak pikiran, karena kasihan janin Anda jika Anda terlalu stres."
"Bayi? Tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi," erang Clara sambil meremas sprei tempat tidur putih bersih tersebut dengan gemas.
Clara merasa kebingungan dan takut akan masa depannya saat ini. Benih kehidupan baru dalam rahimnya benar-benar mengubah segalanya tanpa seizinnya.
Dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi ibu dalam situasi seperti ini. Raut wajah bingung dan sedih menyelimuti ekspresi wanita muda itu ketika ia mengetahui bahwa hidupnya telah berubah secara drastis hanya dalam hitungan hari saja.
Perawat itu kemudian mendekati Clara dengan penuh empati, mencoba menenangkan hati gadis itu yang tengah dilanda kecemasan besar. "Semua pasti ada jalan keluarnya, Nyonya Clara. Yang penting sekarang adalah fokus pada kesehatan anda dan bayi di dalam kandungan."
Clara pun akhirnya mengikhlaskan dirinya dengan situasi yang dialaminya saat ini meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depan yang belum jelas baginya.
Ajudan Alexander yang diberi tugas oleh bos mereka menjaga baik-baik Clara dan melaporkan setiap perkembangan Clara kepadanya. Saat terlihat Clara sadar, mereka berdua segera pergi untuk memberikan kabar terbaru kepada Bosnya.
"Tuan, Nyonya Clara sudah sadar," lapor sang ajudan yang berjaga di kamar Clara.
Alexander ditemani oleh Dariel dengan langkah yang mantap, berjalan tegas menyusuri lorong kantornya dan menuju klinik perusahaan yang dia bangun tepat di samping kantornya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Alexander tanpa bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
"Tuan Emanuel, saya ingin memberitahu Anda bahwa Clara dalam keadaan baik sekarang. Dan, selamat Tuan Alexander, Nyonya Clara sedang hamil." Dokter menjawab dengan tenang.
"Apakah Wanita itu sudah menikah?” Tanya Alex kepada Kepala bagian Clara terdahulu yang berada di sana.
Kabar itu membuat Alexander terdiam. Pikirannya langsung melayang pada tawaran kontrak kerja yang ditolak oleh Clara.
“Di berkasnya tertulis bahwa Nona Clara masih lajang, Tuan, tetapi akan saya coba cek ulang untuk memastikan.” Jawab Dariel dengan hati-hati.
“Jadi, apakah wanita itu …” Alex berpikir sejenak, seperti menemukan sebuah potongan-potongan hilang dalam ingatannya.
Alexander melangkah ke dalam kamar rawat inap Clara dengan langkah pasti yang menggambarkan otoritasnya sebagai seorang CEO yang sukses. Wajahnya diliputi ekspresi serius, tak tergoyahkan oleh emosi apapun. Dia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas di dunia bisnis. "Clara," panggilnya dengan suara tanpa belas kasihan. Clara, terbaring di tempat tidur dengan tatapan cemas yang tak tersembunyi, merasa gemetar di bawah kehadiran Alexander. Dia tahu bahwa saat ini pertanyaan tentang kehamilannya akan diajukan. "Ya, Tuan Alexander?" jawabnya gemetar. Alexander tidak membuang waktu. "Mengapa kau hamil, sementara statusmu masih lajang? Apakah kau mencoba untuk memalsukan identitasmu?" tanyanya tanpa ampun, mencari jawaban yang jelas dari wanita muda di depannya. Clara menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Aku bertanya kepadamu!" seru Alex memecah keheningan ruangan tersebut membuat Clara terkejut. "Tuan... Saya belum menikah Tuan," jawab Clara dengan lirih
"Clara dengarkan aku!" seru Pedro mencoba meraih tangan Clara yang akan memasuki kamar apartemennya saat dia pulang dari rumah sakit. "Kau mau apalagi, Pedro? Bukankah kau akan segera bertunangan dengan dengan Rilla?" tanya Clara berusaha tegar di hadapan lelaki yang amat dia cintai sekaligus dia benci saat ini. "Clara, aku minta maaf. Aku salah, tapi harusnya kau mengerti, aku melakukan semua ini karena kau tidak pernah mau aku sentuh, jadi aku melampiaskan kepada... ." Plak!!! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi Pedro. Pedro tampak kesal dengan sikap kasar Clara kepadanya. "Clara kau... ." "Ya, aku bisa bersikap kasar dan lembut sesuai tempat Pedro. Mulai detik ini, jangan lagi kau temui aku, hubungan kita sudah berakhir!" tegas Clara dengan suara yang lantang sembari mengacungkan jari telunjuknya kepada Pedro. Emosi Pedro tersulut, dia merasa terhina telah ditampar oleh seorang wanita. "Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu, Clara. Namun, harus kau tau, hidup itu keras. M
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s
"Baiklah, ikut saya menemui pemilik pelelangan ini!" seru sang pegawai dengan sorot matanya yang kejam meminta pihak pengamanan menyeret tubuh Clara menuju ruangan pemilik pelelangan.Clara merasa takut dan terkejut dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Dari kejauhan, Rilla tersenyum sinis melihat nasib malang yang menimpa Clara."Kasian sekali nasibmu, Kak."Pedro, mantan pacar Clara, hanya bisa diam sambil merasakan perasaan kasihan yang mendalam. Ia ingin sekali membantu Clara dari situasi sulit ini, namun gadis itu terlalu sombong untuk menerima bantuan apapun darinya. Pedro merasa rendah di hadapan Clara karena sikap tegasnya itu.Di dalam ruangan pemilik pelelangan, dua orang satpam bertubuh kekar mendorong keras tubuh Clara hingga membuatnya terhuyung ke depan. Untunglah Alexander sigap menangkap tubuh Clara sebelum jatuh ke lantai."Apa yang kalian lakukan padanya!!!" teriak Alexander dengan suara lantang sambil menatap tajam kedua satpam tersebut. Emosi memenuhi wajahnya s
"T-tidak," sahut Clara dengan suara rendah yang gugup, matanya menunduk ke bawah. "Hanya saja, Liontin itu terlalu menyilaukan," papar Clara mencoba untuk tetap tenang dan menutupi kekhawatirannya dan sesekali melirik ke arah liontin tersebut.Alexander menaikkan alisnya merasakan kejanggalan dalam sikapnya, tetapi berusaha untuk tetap tenang ketika dia mulai yakin jika wanita pemilik liontin itu adalah Clara. "Baiklah," ucapnya dengan suara dingin, mencoba untuk menjaga ketegasannya."Ayo kita pergi dari sini," ajak Alexander dengan nada yang sama dinginnya, melirik sekilas ke arah pemilik pelelangan tersebut, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya.Clara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Baik." Dia merasa seakan-akan terikat pada langkah-langkah tegas Alexander yang berjalan di depannya, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.Saat mereka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan pemilik pelelangan menuju koridor te
Alexander memandang liontin di tangannya dengan senyum tipis di wajahnya, mengajak Clara pergi dari pelelangan tersebut. Hatinya berdebar-debar saat melihat ekspresi Clara yang terlihat begitu muram. 'Ternyata, firasatku benar! Clara tenang saja, aku akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat kepadamu,' gumam Alexander dalam hati sambil melirik diam-diam ke arah Clara yang sedang termenung menatap luar jendela mobil.Clara sendiri tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungi segala masalah dan rintangan yang selalu menghampirinya. Dia tidak menyadari bahwa Alexander sedang memperhatikannya dengan penuh perasaan bersalah.Di sisi lain, Rilla tampak kesal kepada Pedro karena gagal mendapatkan liontin impiannya dan ibunya dari tangan Clara sejak dulu. "Kenapa tadi kau tidak menawar lebih tinggi daripada pria itu?" protes Rilla sambil mengguncangkan lengan Pedro.Pedro hanya bisa merespon dengan nada kesal, "Diamlah! Harga liontin itu sudah terlalu mahal."Rilla semakin fru
Mata Alexander yang biasanya tajam, merespon dengan cepat. Meski ekspresinya tetap serius, tapi ada kerutan halus di alisnya, Dia bangkit perlahan, melangkah mendekati Clara dengan gerakan yang mantap namun ringan."Tuan, maafkan saya," ucap Clara dengan suara yang sedikit terengah-engah. "Perut saya... .""Tidak perlu dijelaskan," potong Alexander dengan suara tegas, namun lembut. "Saya akan mengurusnya."Tangan Alexander dengan lembut menuntun Clara ke kursi di dekatnya, memberinya dukungan. Meski wajahnya masih serius, namun matanya memancarkan kehangatan yang tidak terduga saat dia menatap Clara dengan perhatian."Duduklah, Clara," ujarnya dengan suara lembut, tetapi tetap memperlihatkan ketegasan. "Saya akan segera memanggil dokter."Clara merasa heran oleh sikap perhatian Alexander, terlihat pada wajahnya bahwa dia masih berusaha untuk menjaga image dinginnya. Meskipun demikian, Clara bisa merasakan ketulusan dan kepedulian yang tersembunyi di balik ekspresi wajah dan gerakan tu