Alexander kini mengalihkan pandangannya pada dokter wanita tersebut. "Bertha, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Alexander mulai membuka laptopnya kembali.Bertha memandang Alexander dengan penuh keraguan, "Alex, kita bukanlah orang yang baru kenal, kau adalah teman masa kecilku. Aku melihat bagaimana kamu memperlakukannya dengan begitu lembut dan perhatian." Bertha tersenyum sambil mengingat masa kecil mereka bersama di kota kecil tempat mereka dibesarkan. Kenangan-kenangan manis dari masa lalu mulai terlintas di benaknya.Alexander menatap Bertha dengan wajah serius, "Ah, itu hanya tugasku sebagai atasan. Aku harus memastikan kesejahteraan semua staf ku." Namun sebenarnya di dalam hatinya, Alexander merasa gugup dengan perkataan Bertha.'Sial, apakah memang benar wajahku semencolok itu?' desis Alexander, seraya merenungkan bayangan dirinya yang terpantul di laptopnya. Ia mencoba dengan susah payah menyembunyikan kekhawatiran yang menggelayuti dirinya.Bertha memandang Alexander de
"Aku ingin kalian membuatnya berpenampilan secantik mungkin," perintah Alexander kepada tim profesional kecantikan yang sudah dia siapkan untuk Clara. Alexander ingin menunjukkan kepada orang tuanya jika dia bisa memilih wanita tanpa harus dijodohkan. Clara, yang terbiasa berpenampilan tanpa make up, merasa tegang dan gugup ketika mendengar bahwa Alexander telah menyediakan tim kecantikan untuknya. Hatinya berdebar-debar karena tidak terbiasa dengan perhatian seperti ini. Dia merasa canggung dan tidak nyaman dengan semua sorot mata yang tertuju padanya. "Tuan, kenapa harus mempersiapkan mereka? Apakah ini tidak berlebihan?" protes Clara lirih kepada Alexander, mencoba menutupi rasa khawatirnya dengan suara lembut. Alexander hanya meresponnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi apapun yang membuat bulu kuduk Clara berdiri dan seketika menunduk. Dia bisa merasakan tekanan dari pandangan itu, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alexander namun dia tidak bisa mengungkapkann
"Jangan banyak bicara! Sekarang kau pakai saja alas kaki yang biasa kau pakai," ujar Alexander mengalihkan perhatian Clara yang terlihat sekali mencurigai dirinya."Baik Tuan," jawab Clara mencoba untuk berjalan tapi kakinya terlalu sakit untuk itu.Alexander terus memperhatikan Clara yang tampak kesulitan berjalan akibat sakit di kakinya. Wajahnya penuh dengan ekspresi kekhawatiran saat melihat Clara meringis menahan rasa sakit. Tanpa ragu, Alexander kemudian mengangkat tubuh Clara dengan lembut dan membawanya menuju sofa yang nyaman.Clara, meskipun merasa cemas dan takut akan tindakan Alexander seperti malam sebelumnya, tidak bisa menolak bantuan dari pria itu. Dia hanya bisa bertanya dengan nada khawatir, "Tu-Tuan Apa yang kau lakukan?"Namun, jawaban dari Alexander hanya membuat Clara semakin gelisah. "Diam! Kau ini cerewet sekali, ya!" hardik Alexander sambil tetap memegang erat kaki Clar
"Sayang, apakah kau mengenal dia?" tanya Nyonya E-Manuel terkejut saat mengetahui gadis itu tau nama wanita yang saat ini di bawa oleh Alexander."Ya, saya mengenalnya Tante. Karena tadi pagi kita bertemu, benarkah Nona Clara?" jawab gadis itu dengan senyum penuh arti.Nyonya Emanuel tampak heran, Alexander terlihat sedikit panik tapi dia berusaha menutupi dengan sikap dinginnya itu. Sementara itu, Clara tampak cemas dengan sorot mata Gadis tersebut yang ditujukan kepadanya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alexander mengalihkan topik pembicaraan Bertha."Tante Selma yang mengundangku ke sini," jawabnya dengan senyumnya yang menggoda."Clara bagaimana kandunganmu, apakah kramnya sudah hilang?" tanya Gadis itu dengan senyum liciknya. Ya, dia adalah Bertha dokter kandungan yang sempat memeriksa kehamilan Clara. Alexander tidak menyangka jika teman masa kecilnya yang selalu bisa menjaga rahasianya ternyata telah mengkhianatinya.Alexander merasa seperti dunia ini runtuh di hadapanny
"Tuan, sebaiknya saya tunggu di luar saja," bisik Clara pada Alexander.Clara saat ini merasa sangat terpukul dengan perlakuan keluarga Alexander terhadap dirinya. Dia merasa seperti wanita rendahan, dipandang sebelah mata karena hamil tanpa suami. Ironisnya, anak yang ada dalam kandungannya adalah dari sang putra Alexander sendiri. Clara bingung harus bertindak bagaimana, apakah mereka akan percaya jika dia mengatakan kebenaran bahwa sebenarnya Alexanderlah yang telah memperkosanya. Rasa benci mulai menyelimuti hati Clara, membuatnya melepaskan genggaman tangan Alexander secara tiba-tiba. Kejutan datang ketika Alexander justru membela dirinya dengan keras."Diam kau Bertha! Kau tidak tahu apa-apa tentang dia! Lebih baik kau pergi dari sini!" hardik Alexander dengan penuh emosi, sambil menyeret tubuh Bertha keluar dari ruangan tersebut.Clara tak bisa menyembunyikan raut heran melihat sikap belas kasihan yang ditunjukkan oleh Alexander padanya. Bahkan Tuan dan Nyonya Emanuel juga terl
Sejak kepulangan Alexander dari kediaman keluarganya, Alexander tak mengucapkan sepatah katapun kepada Clara membuat wanita itu semakin bingung harus bagaimana."Tuan, apakah kau mau makan?" tanya Clara mencoba untuk mengalihkan pikiran Alexander.Alexander tetap diam, langkahnya mantap menuju kamarnya tanpa menoleh sedikit pun. Clara merasa putus asa melihat sikap dingin yang ditunjukkan oleh pria itu. Dia mengangkat kedua bahunya dengan perasaan campur aduk, "Sepertinya percuma saja berbicara pada tembok."Perut Clara mulai terasa keroncongan, dia menyadari bahwa belum sempat makan sejak pulang dari kantor karena proses make over yang memakan banyak waktunya. Janin yang masih berusia 7 minggu dalam kandungannya pasti juga merasakan kekosongan tersebut dan membutuhkan asupan nutrisi yang cukup.Tanpa ragu lagi, Clara bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Dengan cepat dia membuka lemari pendingin
Alexander terbaring di atas tempat tidur, wajahnya meringis kesakitan setiap kali lambungnya menolak makanan pedas yang tadi dia nikmati dengan rakus. Clara memasuki kamarnya dengan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan ketika mendapat kabar dari pengawal pribadi Alexander jika bosnya itu tidak bisa menerima rasa pedas karena Alexander memiliki Maagh angkut."Tuan, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Clara dengan suara lembut saat membuka pintu kamar Alexander.Alexander menoleh ke arahnya, tatapannya penuh dengan rasa kesakitan. "Tidak, saya tidak baik-baik saja. Ini... ini sangat menyakitkan."Clara berjalan dengan langkah ringan menuju tempat tidur Alexander. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat pria yang biasanya tegar itu kini meringkuk kesakitan di atas tempat tidurnya. Dengan lembut, Clara menawarkan bantuan kepada Alexander."Saya akan membantu Anda. Apakah Anda ingin saya memanggil dokter?" tanya Clara pelan, suaranya penuh dengan kepedulian.Alexander menggeleng l
"Ada apa ini? Kenapa wajah kalian tampak serius?" tanya Alexander dengan sorot matanya yang tegas memandang bergantian kepada pengawal pribadinya dan sekretaris pribadinya.Clara membalikkan badannya ke arah bosnya itu. Dia merasa tegang, namun tekadnya untuk menanyakan sesuatu kepada Alexander tidak bisa dibendung lagi."Tuan, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda. Untuk sekarang saya minta jawaban yang jelas dan tidak menggantung seperti kemarin," ujar Clara dengan wajah yang serius. Matanya menatap lurus ke dalam mata sang bos, mencari kejelasan dari pertanyaannya.Melihat akan terjadinya perdebatan sengit antara Clara dan bosnya, Markus memilih untuk meninggalkan ruangan itu dan memilih untuk menunggu bosnya di luar gedung. Dia tahu betul bahwa percakapan antara Clara dan Alexander mungkin akan berlangsung lama, dan dia tidak ingin ikut campur dalam urusan tersebut."Ada apa? Kau selalu saja