Share

Pelukan pertama.

Tepat pukul 1 siang, Amel sudah tiba di kost. Wanita cantik itu ke sana diantar oleh sahabatnya, sebenarnya Riska mengajaknya ke apartemen, tetapi Amel enggan dan menolak karena Alex pasti datang ke sana untuk menemui Riska. 

Kring...kring....kring....

Amel meraih ponsel dari atas tempat tidur, *Iya, ini siapa?* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.

*Kamu di mana? kenapa belum pulang?* Suara bariton dari seberang sana.

Amel sempat terdiam. *I...i...iya om,* Ucapnya setelah mengigat pemilik suara itu adalah Bram. 

*Apa saya......*

Tiba-tiba panggilan terputus, yang membuat Amel tidak melanjutkan kata-katanya. Wanita cantik itu menghela napas kasar dan kembali menaruh ponselnya.

Ia naik ke atas tempat tidur, berbaring sambil memejamkan mata. Amel sama sekali tidak peka dengan pertanyaan Bram, yang mengatakan kenapa belum pulang.

Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Amel bangkit dari ranjang, melangkah untuk membuka pintu.

"Riska," ucapnya setelah melihat siapa yang ada di sana.

Tanpa menjawab, Riska menarik Amel ke luar dan mengarahkan satu jarinya ke arah mobil yang terparkir di bawah sana.

"Tuh, om Bram sudah menunggu kamu," ucap Riska dengan kesal.

Bagaimana ia tidak kesal, ini sudah pukul 1 malam tapi Bram memaksanya untuk menjemput Amel ke kost. 

"Ya ampun, kenapa harus dijemput? kan aku bisa naik ojek." Jelas Amel.

Riska menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar. "Amel, bukankah tadi om Bram sudah menghubungimu? terus kenapa kamu gak langsung ke apartemen?"

"Tadi kan om Bram hanya bertanya, aku di mana dan kenapa belum pulang. Om Bram gak memintaku ke apartemen." Bantah Amel.

Riska menepuk keningnya, "Sudah, sekarang kunci pintunya ayo kita pergi."

Amel segera mengunci pintu, keduanya menuruni anak tangga menuju mobil.

Sepanjang perjalanan, tidak satupun yang membuka mulut. Bram sibuk dengan stir mobilnya, Amel asik memandang ke luar melalui kaca jendela, sedangkan Riska sudah diantar ke apartemennya.

"Ayo turun." Akhirnya Bram membuka mulut terlebih dahulu.

"Oh, kita sudah sampai ya om?" Tanya Amel, ia tidak sadar kalau mereka sudah tiba di parkiran apartemen.

Keduanya melangkah masuk ke dalam lift, menuju lantai 29. 

"Bangunan di kota memang keren ya om, gak perlu naik tangga. Tinggal tekan tombolnya aja udah sampai," ucap Amel 

"Hm..." Sahut singkat Bram.

"Berapa lama ya, untuk membangun gedung sebesar ini?" 

Amel benar-benar mengagumi bangunan di kota. Karena di desanya tidak ada bangunan tinggi seperti itu, Amel tinggal di pedalaman yang jauh dari kota. Di sana hanya ada bangun dua lantai, itu pun pasar pusat perbelanjaan.

"Tanya langsung arsiteknya, jangan tanya padaku." Jawab Bram.

Amel langsung menutup mulut, dari jawaban pria tampan itu! ia sudah tahu kalau Bram sedang tidak mood untuk diajak bicara.

Setelah tiba di apartemen, Bram meminta Amel untuk istirahat di kamar. Tentu Amel menolak, ia berpikir kalau mereka akan tidur bersama malam ini.

Hehehe, Amel terkekeh. "Aku tidur di sofa aja om, soalnya aku gak bisa diam kalau tidur. Takutnya om jadi terganggu." Dalih Amel sambil tersenyum paksa.

"Di kamar itu, kamu tidur sendiri," ucap Bram.

"Terus om?" 

"Ya pulang ke rumah lah, istriku kan ada di sana! enggak mungkin aku tinggalin dia hanya untuk menemani kamu." 

Bram berbicara tanpa memikirkan perasaan Amel, tapi untungnya! Amel tidak tersinggung atau sakit hati. Justru wanita cantik itu langsung tersenyum bahagia, karena Bram tidak tidur di sana.

.......................

Lima hari telah berlalu, selama 5 hari ini Bram tidak menemui Amel ke apartemen. Pria tampan itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali. 

"Mel, aku pulang dulu ya. Terima kasih sudah membantuku mengerjakan tugas," ucap Riska.

"Iya, iya." Jawab Amel sambil membalas lambaian tangan sahabatnya.

Amel menutup pintu setelah Riska masuk ke dalam lift, sebelum tidur ia tidak lupa mematikan  lampu ruang tamu, mencuci muka dan menggosok gigi.

Ting, tak, brak... Suara itu membangunkan Amel dari tidurnya. Telinganya memperjelas dari mana arah datangnya suara.

"Sepertinya dari dapur, apa maling?" Ucap Amel dengan lembut dan nyaris tidak terdengar.

Ia turun dari tempat tidur, telinganya ditempel di daun pintu. Dengan jelas ia mendengar suara derap kaki.

"Ini sudah pasti maling." 

Amel meraih sapu yang ada di kamar, dengan lembut ia membuka pintu dan mengendap-endap ke luar dari sana menuju dapur.

Saat mendekati dapur! tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu. Tangan Amel refleks melayangkan batang sapu.

"Puk,puk,puk." Amel memukuli orang itu tanpa ampun.

"Aw..." Suara jeritan itu memenuhi seluruh ruangan.

Amel seketika menghentikan gerakan tangannya, ia meraba tembok untuk menghidupkan lampu.

"Om Bram," ucapnya.

Amel bergegas menghampiri Bram yang duduk di kursi.

"Jangan sentuh aku." Bram menepis tangan Amel, "Kamu benar-benar sudah gila." Geram Bram.

Wajahnya merah karena marah, mata birunya menatap tajam Amel.

"Maaf om," ucap Amel dengan nada memohon. "Lagian sih, om sembarangan masuk? apa salahnya ketuk pintu atau telpon Amel dulu." Lanjutnya.

"Aku enggak perlu izin masuk ke rumahku sendiri." Jawab Bram dengan angkuh.

Amel tidak menjawab Bram, ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan air hangat. Walupun Bram menolak, Amel tetap memaksa untuk mengompres kening dan punggungnya yang terkena pukulan.

"Ow..." Jerit Bram, "Pelan-pelan dong, sakit tahu!" Lanjutnya.

"Maaf, maaf." Amel menempelkan kain hangat ke kening Bram dengan lembut.

"Ya Tuhan, ternyata om Bram tampan banget. Matanya biru, bibirnya seksi. Mirip opa-opa Korea." Bisik dalam hati Amel.

Ia memandang wajah pria tampan itu tanpa berkedip, ini pertama kalinya ia melihat wajah Bram dengan jelas. 

"Hello, itu yang kamu konpres di mana?"

Suara Bram membuat Amel tersadar dari khayalan. Amel salah tingkah dan malu, karena yang ia kompres bukan kening, melainkan pipi Bram.

"A...aku ganti airnya dulu om," ucap Amel dan langsung beranjak ke dapur.

Padahal airnya masih hangat, tetapi karena malu! Amel membuat alasan untuk pergi dari sana.

Saat dia kembali, Bram sudah tertidur pulas di atas sofa. Amel dengan lembut membuka sepatu pria tampan itu, lalu menyelimutinya.

"Tania, jangan tinggalkan aku," ucap Bram saat Amel akan melangkah.

Ia mencengkram pergelangan Amel, menariknya dengan kasar hingga terjatuh ke atas tubuhnya. Tangan kekarnya memeluk Amel dengan erat, namun kedua mata Bram tetap tertutup rapat.

"Lepaskan aku om." 

Amel berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Bram. Namun bukannya terlepas, pria tampan itu justru memeluknya semakin erat.

==============

Jangan lupa tekan vote dan komen untuk mendukung cerita ini ya kak. Biar author  semangat untuk update bab selanjutnya. Terima kasih.

Komen (29)
goodnovel comment avatar
Hana Haruna
amel Amel ... mungkinkah akan tumbuh perasaan diantara mereka..
goodnovel comment avatar
Jannah Jannah Tanjung
aaaaaakhhh soswiiitt
goodnovel comment avatar
Sunarti
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status