Share

Chapter 9: Tutup

Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.

Pria itu terbangun, sedikit menyesal karena tak bisa memandang wajahnya lebih lama dan lebih dekat lagi. Dia meraih gawainya untuk mematikan alarm tersebut. Dilihatnya jam dinding yang menggantung bersama detik-detik yang melayang di pusara waktu. Dia pun bangkit dari tidurnya, mengambil segelas air putih lalu meminumnya. Untuk menyegarkan nafasnya dia pun menggosok giginya lalu beranjak menuju studio dimana kanvas-kanvas kosong bergeletakan meminta untuk disapu kuas-kuas imajinasinya.

"Saya berharap pameranmu ini mampu menyindir pemerintahan, atau sedikit memasukan kritik sosial. beberapa investor menitipkan itu padaku" sebuah kalimat yang diutarakan promotor pada pertemuan kemarin.

Bagaimana pun juga pameran ini tercipta berkat bantuannya mencari investor untuk pamerannya. Sehingga mau tidak mau dia harus mengikutinya, karena kesempatan inilah satu-satunya cara untuk mengenalkan namanya ke dunia luas. Di masa sekarang ini menghidupi diri sebagai seorang seniman lukis sangatlah berat, belum lagi cerita tentang seniman-seniman senior yang menganggur dikarenakan tidak adanya pameran gratis, kemajuan teknologi yang memaksa mereka untuk memahami itu. Tidak banyak pula yang memilih profesi lain, menjadi supir sebuah hotel atau bahkan pemulung koran-koran bekas.

Pria itu menyiapkan beberapa alat-alat lukisnya, mendudukan kanvasnya pada sandaran yang biasa dia pakai. Studio itu senyap, kengang dan sunyi. Tak ada suara yang berani mengintrupsi kesepiannya. Pria itu mengambil nafas panjang, sembari menutup matanya untuk menangkap imajinasi yang liar berkeliaran di rimba raya renungannya. 

"Siapa gadis itu sebenarnya?" kata pria itu di depan kanvas yang masih putih bersih belum tersentuh satu cat pun.

Rasa penasaran seakan menggerogotinya. Pelan-pelan diraih kuas dan catnya, seperti terhipnotis dia mulai mengembangkan senyum, menarilah kuas-kuas dengan sepasang mata yang tertutup menikmati kehangatan senyuman itu. Ya, senyuman gadis itu datang terus-menrus tanpa lelah membayanginya. Sekarang bayang itu seakan duduk dihadapanya, layaknya model lukisan, dia duduk dengan kaki yang semampai bersandar di bangku kecil dengan ukiran kayu bermotif burung. 

Kali ini tidak ada kata-kata, hanya saja bayangan tersebut seakan-akan sedang bercerita. Pria itu hanya terduduk memperhatikan dan melukiskan keindahan tersebut. Kanvas pun merekahkan warnanya. Terlihat sosok tersebut dengan gaun merah, dengan latar padi-padi yang sedang permai-permainya. Tak lupa ada seekor kerbau yang sedang mengangkut padi-padi untuk digiling. Gadis itu bak dewi sri yang mampu memakmurkan ladang-ladang petani. Yang mampu mendatangkan memakmurkan sawah yang kering diterpa harapan kosong dari pemerintah, mungkin.

Perasaan senang pun terbit dari caranya memandang kanvas tersebut. Setelah melihat lukisannya itu, bayangannya pun sudah menghilang ditelan rindu yang tak tahu kapan dilunasi. 

Lukisan kali ini, baru dia sadari sangat-sangat aneh tetapi membuatnya tertegun cukup lama. Ada keindahan dan senyum yang ia juga lukiskan dari wajah para petani, dia berpikir karya ini akan mampu mengirimkan pesan moral tentang para petani yang menghidupi sawahnya dengan senyum semeriah itu. Lukisan itu tentang kemegahan senyum seorang wanita. Dalam kepercayaan masyarakat lokal Dewi sri adalah seorang dewi yang mendatangkan kemakmuran dan bisa disebut dewi permai untuk padi-padi yang menguning.

Tak terasa, hari ini dia mampu menyelesaikan sebuah lukisannya. Malam sudah mengetuk tiap-tiap genteng rumahnya dengan hawa dingin. Studio yang sebelumnya terasa sepi kini ramai. Seakan-akan ruangan itu dipenuhi oleh para petani yang sedang bersenda gurau, sedangkan si gadis tersebut kini sakan pulang ke pangkuannya.

"Rindu yang menguning siap untuk dipanen, digiling untuk dijadikannya butiran kangen yang meminta ditanak untuk menjadi temu karena rindu yang sudah menjamak"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hestia
Ngeselin banget kesengsem sama stranger... jadi penasaran ama mbaknya :(
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status