Share

Chapter 6: Tepat 

Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis.

Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum pada seorang gadis yang ia lukis di kertas itu. Pria itu diam berpikir, pikirannya kalut dan tak pelak beberapa menit lalu sedikit luput. Lamunannya pecah ketika ada seorang pesepeda yang tanpa sengaja terjatuh tepat di hadapannya karena menabrak tempat sampah yang berada di dekat kursi taman tempatnya duduk. Pria itu lalu bangkit dan bergegas menghampiri pesepeda yang jatuh tersebut, beberapa pejalan kaki juga ada yang bergegas menghampiri. Semua orang kalah cepat untuk menanggapinya. Pria itu terlihat seperti pahlawan bagi pesepeda. Disingkirkannya sepeda itu, lalu dia mulai membopong pesepeda tersebut ke kursi taman.

“Apakah ada yang terluka selain lututmu yang sudah lecet ini?” tanya pria yang membopongnya.

Sebelum pesepeda tersebut menjawab, sesorang memberikan teh hangat kepada pesepeda itu, dan seseorang lagi memberikan gawai yang terjatuh di sekitar lokasi kejadian. Pria itu mengambil sesuatu di tasnya, kotak pertolongan pertama pada kecelakaan.

“Tahan sebentar saja ya, saya yakin ini perih” kata pria tersebut yang meminta izin kepada pesepeda. Pesepeda itu hanya menganggukan kepalanya lalu menutup matanya, mungkin dia tau kalau itu sangat menyakitkan melihat lukanya yang banyak meski hanya lecet saja.

“Aw!” teriak pesepeda.

“Maaf, sedikit lagi, lalu saya memberikan perban ini, tahan sedikit lagi” sambung pria itu sambil memberikan obat cair kepada lukanya.

Beberapa orang yang sedari tadi mengerumuni tempat tersebut, perlahan menyingkir karena dirasa luka yang diderita pesepeda tersebut tidak terlalu parah, dan lagi pula sudah tertolong oleh seorang pria yang sedang mengobati lukanya.

“Baiklah sudah selesai, sekarang kamu bisa beristirahat sejenak di sini, duduk saja, dan minum itu. Biar saya memeriksa sepedamu.” kata pria tersebut seraya bangkit dari kursinya dan menghampiri sepeda yang terjatuh tadi.

“Sepertinya ban sepedamu rusak cukup parah, dan kabel rem kamu juga terputus, saya yakin karena tadi kamu menggunakannya dengan sangat keras. Sehingga terputus dan kamu tidak dapat mengendalikannya dengan baik, saya tahu bengkel sepeda di dekat sini jika kamu mau.” kata si pria itu.

Sebelum pesepeda itu menjawab pria itu mengulurkan tangannya,

“Saya Rudra, supaya kamu tidak mengganggapku sebagai orang asing lagi. Tenang, saya tidak akan mengambil sepedamu, satu sepeda saja sudah cukup” sambil menunjuk ke utara tepat ke sepedanya yang ia sandarkan dekat dengan tiang lampu taman.

“Saya Lintang, terimakasih sudah menolong saya. Mungkin setelah ini saya akan membawa sepeda saya ke rumah saja biar besok diurus oleh karyawan saya saja. Maaf sudah merepotkan.” jawab pesepeda itu sambil melemparkan senyum manis ke pria tersebut. Jika dilihat pesepeda tersebut sangatlah manis. Untung saja kecelakaan tersebut tidak menggores wajahnya, dan kepalanya juga aman-aman saja karena menggunakan helm sepeda.

“Kalau boleh saya tahu, kenapa bisa terjatuh?” tanya si pria tersebut.

“Tadi ketika bersepeda ada seekor kucing yang berlari melintas di depan sepeda saya. Saya langsung membuang arah sepada menjauhi kucing tersebut. Saya rem dengan sangat kuat karena ketika saya membuang arah setir saya, ada seorang anak kecil yang sedang berdiri. Dengan sangat kuat saya rem dan kemudian saya pasrahkan diri saya untuk menabrakan sepeda saya ke tempat sampah, karena saya juga dalam keaadaan tidak bisa berhenti. Untung saja saya menggunakan helm jadi saya sempat berpikir kalau saya aman saja. Ternyata belum rejeki, lutut saya belum saya lengkapi dengan protector” jelas si pesepeda sambil sesekali meringis menahan sakit di lututnya.

“Wow, gambarmu bagus juga. Apakah itu untuk kekasihmu?” tanya pesepeda itu yang sekarang kita tahu dia bernama Lintang.

“Oh, ini? Bukan, dia hanya seorang gadis yang saya ciptakan sendiri. Saya masih belajar membuat sketsa wajah.” tukasnya pria yang langsung merapikan alat-alat lukisnya dan ia masukkan ke dalam tasnya. Tetapi gadis tersebut menahannya dan segera meminta buku sketsa tersebut untuk dilihatnya. Timbul ketertarikan untuk melihat beberapa lembar dari buku tersebut. Mereka memulai obrolan tersebut tepat di gambar sebuah burung kenari yang terbang melintang diantara kedua ranting pohon.

“Masa silam yang sengaja ditemui takdir punya rencana yang matang untuk menggoreskan kembali cinta yang pernah terukir” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status