Share

BAB 6

            “Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar.

            “Males sih tanya Aldo.”

            “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous.

            “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.

            “Ra!” panggil Aqila menghampiri. “Jadi nggak sih nontonnya?”

            “Wow. Makhluk Tuhan yang paling indah.” goda Aldo melihat Aqila datang. “Siapa nih, bocah?” tanyanya berubah salah tingkah.

            “My best friend. Oh iya, nama aku Syara. Bukan bocah, ya.”

            Rendi tertawa kecil. Syara merasa dirinya yang sedang cowok itu tertawakan. Dan ia tak terima.

            “Rendi jangan ketawa! Siapa bilang aku nggak punya temen? Lihat aja kelas dua belas nanti!”

            “Gue beli tiket dulu.” sahut Rendi tak menggubris gadis yang haus perhatiannya itu.

            “Oke,” jawab Aldo. “Hai? Gue Aldo.” sapanya memperkenalkan diri pada Aqila.

“Modus.” cibir Syara tapi membiarkan saja temannya itu berkenalan dengan Aldo. Selama itu bukan orang jahat, Syara tak masalah jika Aqila bergaul dengan siapa pun.

            Tergolong cepat juga Aqila bisa langsung akrab dengan Aldo. Mungkin itu karena sifat Aldo yang supel dan kocak. Situasi macam apa sekarang ini? Syara memasuki fase jenuh menjadi nyamuk di antara mereka berdua. Sial.

            Rendi kembali dengan membawa empat tiket film horor di tangannya. “Udah bisa masuk sekarang.”

            “Sabar, Ren. Nggak pernah tau waktu nih orang. Ngerusak momen pedekate gue aja.” kesal Aldo.

            “Ren, lo udah beli tiketnya?” tanya Lukman.

            “Udah. Nih, punya lo berdua.” jawab Rendi sambil menyodorkan dua tiket di tangannya.

            “Duh, gimana ya...” kata Lukman ragu.

            “Kami udah beli dua tiket film romance, nih. Gue yang ngajak Lukman,” sambung Heni yang langsung mengeluarkan dua tiket dari saku celana panjangnya. Ia menoleh ke Syara. “Sorry, lo udah beli tiket juga, nggak?”

            “Hah?” Syara gelagapan. “Be-belum, sih.” jawabnya terbata-bata. Pikirannya memprediksi sesuatu yang indah akan terjadi. Masih dalam angan saja sudah membuat jantungnya berdegup tak keruan.

            “Oke. Kalau gitu, lo mau ambil dua tiket ini, nggak? Yang satunya lagi buat temen lo. Oh iya, kita belum kenalan, ya? Gue Heni dan ini Lukman.” ujar Heni begitu ramah.

            “Kalau gue, dia udah tau, Hen.” seru Lukman.

            “Iya, aku juga udah tau kok kalau nama kamu Heni. Kalian kan temen dekatnya Rendi, pastilah aku tau. Hehe.” balas Syara tak kalah ramah. “Nama aku Asyara Faizia, panggil aja Syara. Dari kelas sebelas-C.”

            “Oke, salam kenal Syara. Oh iya, ini buat kalian, bagi-bagilah ya. Kalau kurang, beli sendiri, masih sempet kok.” cerocos Heni sambil memberikan camilan yang ia dan Lukman beli barusan.

            “Wuisshh... Gini baru namanya temen pengertian. Tau aja temennya yang jomblo lapukan ini butuh momen like this. Terhura gue. Hiks.” ucap Aldo sembari mengambil bekal camilan itu. Mereka tertawa kecuali Rendi yang tetap dingin.

            “Bisa aja lo ya, tengil! Kalau lo jomblo lapukan, tuh anak predikatnya apa?” sindir Lukman sambil memainkan lidahnya dengan mulut tertutup menunjuk ke arah Rendi. Mengodekan jika cowok itu yang dimaksud.

            Aldo paham. “Rendi jomblo lumutan. Ha ha ha.” ledeknya tak merasa berdosa.

            Dengan cuek Rendi meninggalkan mereka yang sedang mengolok dirinya. Semua tertawa dan tersadar, tiket mereka ada di tangan cowok itu. Bagaimana bisa masuk kalau tiketnya sama Rendi? Dan kalau Rendi sudah di dalam mana mungkin ia mau keluar.

“RENDII!! TIKETNYAA!! JANGAN MASUK DULUU!!!”

***

Rendi langsung memilih nomor bangku paling pinggir berdasarkan empat tiket mereka. Kalau urutan duduk selanjutnya serahkan semua pada Syara.

“Jadi gini, biar kita sama-sama enak, aku yang duduk di kirinya Rendi, terus samping kiriku nanti Qila. Nah, Aldo berarti duduk di paling kiri, ya. Cakep kan formasinya? Siapa dulu dong ahlinya?” bisik Syara memberi komando pada kedua orang itu saat Rendi sudah duduk manis sendirian.

“Cakep. Oke, deal.” serentak Aldo dan Aqila menjawab. Sudah tanda-tanda ada chemistry saja, nih.

Rendi tak peduli akal bulus apa lagi yang akan dilancarkan Syara. Walau ia tahu gadis itu sengaja memilih bangku di sebelahnya tapi ia sudah mendirikan tembok raksasa tak kasat mata di antara mereka. Itu pasti akan berguna kelak.

Film dimulai. Sepanjang film Rendi hanya diam menyaksikan dengan hikmat. Berbeda dengan Syara yang lasak di tempat. Jantungnya berdebar cepat. Ia yakin itu bukan efek film horor yang sedang tayang tersebut tapi efek khayalannya yang membayangkan Rendi akan melakukan hal romantis padanya.

Syara mendengus kesal. “PHP.” decaknya sebal. Film pun berakhir tanpa ada reaksi yang berarti dari Rendi. Sekarang mereka sudah berkumpul kembali dengan Lukman dan Heni.

Aqila mengamati ada yang salah dari Syara sejak keluar cinema room. “Are you okay?”

“Apanya yang oke, La? Rendi dari tadi diem aja.” tandas Syara dengan suara yang cukup menyita perhatian orang di sekelilingnya.

What happen naon-naon nih, guys?” sambung Aldo mencampuri. “Jadi lo ngarep si Rendi harusnya ngapain tadi, hayo? Ngaku lo!” godanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status