Share

BAB 5

“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”

Tok... Tok... Tok

            Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu.

            Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan.

            “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan bukan tanggal ulang tahunnya.

            “Kok, Ayah sama Bunda udah pulang jam segini? Terus itu, apa pula? Kok, pakai topi ulang tahun segala?” heran Syara mengamati ketiganya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

            “Surprise!!” Jihan mendudukkan putrinya yang kebingungan itu di sofa. Ia tersenyum. “Aqila udah cerita semuanya sama Bunda. Terus, Bunda sama Ayah juga setuju kalau Aqila pindah sekolah aja ke tempat Syara. Biar Syara nggak sendirian lagi ya, sayang.”

Syara tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini. Ia hanya memeluk erat bundanya.

“Maafin Ayah sama Bunda ya, Nak. Selama ini sibuk kerja terus sampai jarang punya waktu sama kamu.” tambah Fandi, Ayah Syara, yang ikut merangkul kedua orang tercintanya itu.

            “Gue juga minta ya, Ra. Tadi itu udah buat lo nangis. Hehe.” cengir Aqila.

            “Dasar ya, Qila.” gemas Syara sambil tersenyum. “Sini, biar tau rasanya diusir sama Ayah dan Bunda ke sekolah baru.”

            Semua tertawa bahagia. Kala itu, tiba-tiba hujan turun cukup deras dan membuat Aqila akhirnya disandera keluarga ini agar tak pulang dulu. Walau di luar dingin tapi di dalam rumah Syara terasa hangat sekali. Mereka berempat mengobrol santai. Dan dari obrolan itulah Syara tahu jika semua ini tak terjadi secara tiba-tiba tapi sudah direncanakan jauh hari tanpa sepengetahuannya. Ini baru namanya kejutan. Satu BM Syara terpenuhi.

***

Musim ujian kenaikan kelas telah terlewati. Syara cukup optimis, paling tidak nilai rapornya nanti minimal pas-pas makan, lah. Tak terasa sekarang sudah mau tingkat tiga saja padahal rasanya seperti baru kemarin ia jadi murid SMA. Waktu begitu cepat berlalu. Dan kini Hari Minggu, waktunya refreshing di akhir pekan setelah semua badai yang menghalang telah menghilang.

Syara bersenandung. “Pada Hari Minggu aku turut Qila ke thirty one,”

“Udah deh, Ra. Ini lagi di taksi, jangan kumat dulu penyakitnya ya.” cibir Aqila sambil menekan pelan dahi temannya itu.

“Naik taksi istimewa kami duduk sampingan.” lanjut Syara tak menuruti keinginan Aqila.

Aqila menunjuk halte di seberang jalan dari posisi mereka saat ini. “Pak? Kami turunnya pas di halte itu aja nanti ya, Pak.” pintanya pada sopir taksi yang sedari tadi menahan tawa mendengar Syara bernyanyi lagu kanak-kanak yang liriknya ia ubah itu.

“Oke, Dek.” sahut Pak Sopir.

Mereka telah sampai di tempat tujuan. Cinema XXXI. Ini ide Syara dan sebenarnya Aqila malas ikut karena baginya Hari Minggu adalah Hari Ter-Mager Sedunia. Tapi jangan panggil ia Syara, Paman, kalau tak bisa menggerakkan Aqila sesuai keinginannya. Tentunya dengan iming-iming sekali keluar rumah langsung dapat bebas ongkos, tiket nonton gratis dan traktiran makan. Itulah sejumlah benefit yang sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat Aqila tergerak menemaninya sekarang.

“Qila, aku ke sana dulu ya, mau beli minum sama kunyahan buat nonton nanti.”

“Eh, harusnya tiket nonton dulu yang lo beli. Masa begituan?” komentar Aqila.

“Aku belum tau film apa yang enak ditonton. Jadi... mungkin nanti sambil jalan baru dapat inspirasi mau beli tiket film yang mana.”

“Ya salam,” gemas Aqila melihat kekonyolan manusia satu ini. “Jadi sebenernya lo ke sini mau apa sih, Ra? Gue kira memang ada film yang mau lo tonton. Ternyata cuma mau ngelihat dunia dia.”

“Memang mau nonton kok,” kukuh Syara. Bicaranya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap rupa sosok cowok yang ia kenal. “Eh, itu ada Rendi! Coba Qila lihat, itu yang di sana!” soraknya kehebohan.

“Mana?” bingung Aqila mengedarkan pandangan sesuai arah yang ditunjuk Syara. “Yang empat orang itu?” tanyanya.

“Iyaa. Rendi yang pakai hoodie warna navy itu loh, Qila.”

“Gantengan cowok yang di sampingnya.” ejek Aqila merendahkan selera cowok idaman Syara.

            “Enak aja! Yang itu namanya Aldo, dia masih jomblo. Kalau dua orang yang di belakangnya itu Lukman sama Heni. Mereka pacaran. Tapi dari mereka berempat, nggak ada satu pun yang sekelas sama aku. Huhu.” cerita Syara tanpa ditanya.

            “Panggillah cowok idaman lo itu!” tantang Aqila.

            Syara berdeham. “Oke.” balasnya penuh percaya diri. Sesaat kemudian berjalan mendekati Rendi and The Gang yang sedang berdiri dekat tempat pembelian tiket.

            Aqila ternganga melihat aksi tak terduga Syara. Tadi itu ia hanya bercanda. Bukan serius. Anak itu memang gila, pikirnya.

            “Loh, Rendi di sini? Mau nonton juga, ya? Nonton film apa? tanya Syara bertubi-tubi.

            Rendi hanya membisu. Ia membuang muka dari gadis yang mengharapkan jawabannya itu.

            “Ada kita juga di sini, loh. Mending wawancarai kita aja. Kita pengin juga ditanya-tanya ya kan, guys?” serobot Aldo mengalihkan perhatian Syara dari Rendi yang jelas tak ingin menanggapi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status