Share

Fitnah Ibu Mertua
Fitnah Ibu Mertua
Penulis: Said

01 || Pembelaan dari suami

01 || Pembelaan dari suami

“Mas, aku beneran nggak melakukan itu. Aku berani sumpah,” ucapku dengan parau, kala mas Adam masuk ke dalam kamar.

Mas Adam tidak banyak bicara, ia berjalan pelan ke arahku. Tatapannya yang datar membuat aku merasa takut, perasaan aneh mulai membuat aku berpikir buruk. Nggak mungkin ‘kan mas 'Adam melakukan hal kasar padaku?

Greb

Aku terdiam, tubuhku dipeluk erat sama mas Adam. Tangannya bergerak mengelus kepalaku dengan lembut. “Maafkan Mas yang belum bisa menjaga kamu, Dek,” tutur mas Adam yang membuat aku terbelalak kaget.

“Jangan menyalahkan diri kamu, Mas.” Aku membiarkan pria yang berstatus suamiku ini memeluk dengan erat. Aku merasakan detak jantungnya, berdetak lebih cepat. Bahuku mulai terasa basah, mas Adam menangis ….

“Berhentilah menangis, Mas.” Mas Adam membalas dengan gelengan kapala.

“Mas sudah gagal jadi suami kamu,” ucapnya pelan. “Bukan hanya itu, Mas gagal menjadi ayah yang baik untuk Raka,” lanjut mas Adam.

“Kamu nggak gagal, Mas. Kamu udah berhasil jadi suami dan ayah yang baik.” Aku berusaha menyakinkan mas Adam. Aku tau betapa hancur hati mas Adam kala dicaci maki sama ibu mertua dan kakak ipar. Padahal mas Adam hanya ingin membelaku, tapi ia malah menjadi objek selanjutnya.

°°°

Mas Adam karyawan di salah satu perusahaan ternama di Jakarta, entah kenapa ia malah kena PHK, sampai saat ini aku masih tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Saat aku bertanya, mas Adam malah memilih diam.

Selama menikah dengan mas Adam, aku mendapatkan banyak cacian dan fitnah yang tak kunjung usai dari keluarganya. Sempat suatu hari aku minta untuk untuk diceraikan, tapi dengan lembut pria itu menyakinkan aku untuk tetap bersamanya. Sikap manisnya dan ia mampu menghargai diriku, aku akhirnya luluh juga. Hujan maupun badai terus menerpa rumah tangga kami, dari berbagai hal.

Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, azan subuh juga sudah berkumandang. Aku bangunkan mas Adam dan Raka, kusiapkan baju koko untuk mereka sholat di masjid dekat rumah.

Aku sedang tidak bisa shalat, jadi aku langsung menuju dapur. Saat melewati ruang keluarga, aku harus berdiam diri sebentar.

“Nal, bantulah Ibu untuk menyadarkan Adam. Ibu udah capek rasanya ...,” keluh Ibu mertua kepada mas Ronal -kakak mas Adam.

“Wanita itu benar-benar mencuci otak adikmu, Nal. Asal kamu tau tadi malam Ibu sempat bersitegang sama Adam karena wanita itu, kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja pada istrimu. Dia saksinya.”

Tak lama mbak Sri keluar sambil menggendong anaknya yang kedua. “Iya, Mas. Aku kasihan sama Ibu,” ucap mbak Sri dengan wajah memelas.

“Gara-gara wanita sialan itu! Adik kamu durhaka pada Ibumu, Mas. Padahal aku sudah kasih tau, tapi aku malah kena marah juga ....” Mbak Sri mulai menangis, berusaha menarik simpati sang suami.

Fitnah apa lagi yang mereka berikan, tadi malam aku, sekarang mas Adam. ‘Mas, maafkan aku yang menjadi malapetaka untukmu

...,’ batinku.

“Tenang aja,” jawab mas Ronal sambil membunyikan jari-jemarinya.

“Pokoknya Mas harus kasih pelajaran sama Adam, aku sakit hati sama kata-katanya tadi malam,” ungkap mbak Sri yang tak benar, ia selalu aja menjadi kompor.

“Dek.”

Deg

Aku langsung berbalik badan. “Eh, astagfirullah. Mas ih, kenapa ngagetin sih!” gerutuku. “Untung aja jantung ini enggak copot, kalau copot udah enggak ada lagi Nisa yang cantik ini,” lanjutku.

“Ya lah, istri Mas tetap paling cantik ... oh ya, tadi katanya mau masak, kenapa masih di sini?”

Aku langsung menepuk jidat, aku lupa gara-gara mereka. Setelah menyalami mas Adam, aku langsung berkecimpung di dapur, tanpa ada yang membantu.

Hari ini tidak seperti biasanya, perasaanku diselimuti rasa takut. Ucapan mas Ronal, membuat aku berpikir lebih banyak dari pada biasanya. “Pokoknya aku harus bisa membela mas Adam, aku pasti bisa,” yakinku pada diri sendiri.

Aku enggak mau buang-buang waktu lagi, cepat-cepat aku masak dan menghidangkan di meja makan. Aku juga tak lupa menyisihkan untukku, dan mas Adam. Kalau masalah makanan Raka, semua sudah diatur.

“Heh wanita ular.” Itu suara mbak Sri, ia selalu suka-suka memangil aku dengan nama yang ia buat. Kali ini tidak aku hiraukan, aku masih fokus dengan HP.

“Udahlah pekak, ini malah senyum-senyum sendiri, kayak orang gila,” ucapnya sarkas, tapi tetap tak kuhiraukan. Wajahnya langsung ditekuk masam, dan aku tertawa di dalam hati.

Tak lama mas Ronal datang, lalu duduk di samping sang istri. “Nisa, buatkan aku kopi,” pintanya yang sok hebat.

“Kamu punya istri, dan suruh lah istri kamu itu. Jangan seperti tidak punya istri menyuruh-nyuruh orang,” ujarku dengan senyum lirih. “Kamu juga bukan siapa-siapa aku, jadi kamu nggak berhak menyuruhku, Ronal,” lanjutku tanpa rada takut.

Sudah cukup aku diinjak-injak oleh mereka, aku juga kasihan sama mas Adam kalau berulang kali kena caci maki sama mereka, Karena hanya ingin membelaku, istrinya. Apa lagi sikap mereka membuat emosiku meledak-ledak setiap hari.

“Jangan kurang ajar kamu sama suamiku, Nisa. Lakukan apa saja yang dia suruh!” Aku menatap Mbak Sri, lalu memberikan senyum tipis.

“Aku bukan pembantu kalian. Kecuali kalian membayar aku setiap bulan,” jawabku.

“Oh sudah merasa sok hebat, ya.” Mbak Sri mendekatiku, dan hendak menamparku.

“Jangan sesekali kamu menyentuh istriku kalau kamu ingin terus hidup, Mbak ....”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status