Share

03 || Merasa bersalah

03 || Merasa bersalah

POV Adam

Demi Allah, aku nggak bermaksud meminta uang itu kembali, nggak sama sekali terbesit di hatiku. Aku ikhlas memberikan semuanya, apapun untuk keluargaku, asal Mama sama Mas senang. Tapi entah kenapa, mulut ini dengan mudah mengeluarkan kata-kata itu.

Maafkan aku, Ma .... Sepanjang hari aku berpikiran itu terus, hatiku gelisah dan di mana aku melangkah, aku merasa was-was. Ucapan Nisa juga mengiang di kepalaku.

‘Mas, apapun yang dikatakan Ibu patuhi lah. Dia Ibu kamu, surga ada di telapak kakinya, dia sumber ridho Allah untukmu. Kalau Ibumu tidak ridho padamu Mas, yakinlah kalau Allah enggak ridho juga sama kamu. Jangan pernah menyela ucapannya, Mas.’

‘Berbaktilah pada Ibumu Mas, Kalau sudah nggak ada, baru menyesal. Walaupun aku hidup dalam keadaan yatim piatu, aku paham semuanya. Andai Ibu sama Ayahku masih ada Mas, aku akan berbakti pada mereka.’

Aku semakin kalut, rasa bersalah semakin mengukung jiwaku. Hingga kini, malam telah menyambut, bulan semakin condong. Kala penghuni rumah mulai terlelap dalam tidur mereka, hanya aku seorang yang masih terjaga. Duduk seorang diri di teras, dengan segala kericuhan pada kepalaku. Mama sama Mas menatapku tak suka kala aku pulang tadi, tatapan penuh kebencian. Walaupun aku belum mendapatkan uang itu kembali, aku merasa amat menyesal.

“Mas.” Suara itu tidak asing. Ya, itu Nisa. Istriku yang sangat aku cintai, aku jatuh cinta padanya karena akhlak dan imannya kepada sang pencipta. Aku juga mau punya seorang anak dari wanita yang baik, dan berbudi luhur. Saat dia marah, dia malah memilih diam, kala ia kecewa, ia hanya menangis. Sikapnya yang seperti itulah membuat aku semakin cinta padanya.

“Minumlah, Mas,” lanjutnya. Tak lupa ia berikan aku senyum manis itu. “Mas, cerita lah. Memiliki pasangan itu bukan hanya untuk bermesra saja, tapi saling bertukar isi kepala. Apa lagi kita sama-sama sudah tau asam dan garam kehidupan. Kita juga bukan anak yang baru puber, kala bertemu dengan cintanya. Kita sudah benar-benar dewasa. Mas ada untukku, aku ada untuk, Mas.”

Aku terbuai dengan kalimat indah itu. Suara Nisa bagaikan gemericik air hujan, amat menenangkan. Kuambil gelas berisi kopi itu, kusesap secara perlahan, ku nikmati cinta yang tertuang di dalamnya.

“Mas sangat bersalah sama Mama, Dek. Ucapan Mas tadi pagi benar-benar keterlaluan,” ungkap ku dengan rasa sesak. Tapi entah kenapa, bahuku kini terasa lebih ringan. Beban itu sirna seketika.

“Mas, kalau memang Mas merasa bersalah datanglah pada Ibu, minta maaflah padanya. Jangan gara-gara itu, membuat Mas nyesel seumur hidup. Selagi ada, bahagiakan mereka. Ikhlaskan semuanya, Mas. Insyaallah Allah akan ganti dengan lebih baik, yakinlah.”

Aku memang ingin meminta maaf sama mama, tapi rasa maluku lebih besar. “Tapi Mas malu, Dek.” Nisa yang mendengarnya malah tertawa. “Jangan tawakan Mas mu ini, ntar kualat loh,” godaku sambil menoel hidungnya.

“Mas sih lucu, ngapain malu minta maaf?”

“Takut Mama nggak maafin Mas, Dek.” Inilah ketakutan sebenarnya, tidak dimaafkan. Hal itu juga bakalan membuat aku semakin kalut, karena tidak dimaafkan salah satu hal yang paling membuat aku tersiksa batin. Walaupun aku sudah mengakuinya dan meminta maaf, tapi orang itu tidak memaafkannya.

“Mas, aku yakin pasti Ibu maafin Mas. Allah saja maha pemaaf, masa manusia tidak bisa memaafkan. Kalau memang Mas tidak yakin, berdoalah malam ini kepada Allah, minta agar hati Ibu luluh, dan mau memaafkan Mas. Seorang Ibu juga bakalan memaafkan anaknya sebelum anak itu meminta maaf.”

Sekarang aku benar-benar tenang, mama pasti memaafkan aku. Apalagi hanya aku yang memanggilnya ‘Mama’, di antara semua orang yang di rumah ini.

Aku juga sudah mengenal jelas, bagaimana sifat Mama ke anak-anaknya, walaupun aku masih ingat, dulu aku tidak pernah mendapatkan hal yang sama seperti mas Ronal, aku yakin, pasti Mama melahirkan aku dengan semangat yang luar biasa.

Malam ini menjadi malam yang amat tenang, apalagi ditemani sama si penenang -istriku tercinta. Malam ini aku kembali seperti dulu, sebelum masalah itu datang, masalah yang membuat kami hidup terlunta-lunta, dan mengharapkan makanan dari mama. Walaupun pertama kali Mama kesal karena kami datang dengan koper berisi baju, tapi ia menerima kami dengan ikhlas.

Aku juga merasa bersalah pada Nisa, gara-gara aku dia mau hidup susah. Mungkin kalau wanita lain, aku sudah ditinggalkan seorang diri, tapi ini Nisa bukan orang lain. Ia benar-benar berbakti kepadaku, membantuku dalam sulit, dan selalu ada saat aku dalam masalah. Ia datang sebagai penyembuh, dan menemaniku di titik terendah, seperti saat ini.

'Nisa, mas berjanji bakalan membuat kamu sama Mama bahagia. Raka juga bakalan mendapatkan kebahagian itu, aku nggak bakalan pilih kasih dalam memberikan kebahagian, aku cinta kalian.' Aku membatin, mataku tertuju pada jalanan kosong.

Jam juga sudah menunjukkan pukul dua malam. “Dek, ayo kita istirahat. Ini juga udah jam dua malam, gak baik kalau kita diluar.”

Malam ini, aku tertidur dalam berbalut hangatnya cinta dan ketenangan. Terimakasih ya Allah sudah memberikan hamba istri yang sholehah.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status