Share

Chapter 2: Menerobos Masuk

"DIMANA SANG DOKTER, HUH???!!!" lelaki itu menaikkan nada suaranya dan dia berteriak kepanikan. Natalie yang sudah terlanjur bangun pun keluar dan menghampiri sekelompok pria yang berdiri tepat di hadapan Sarni. 

"Siapa kalian? Apa mau kalian kemari?" Natalie menutup pintu ruangan pribadinya, "Siapa dokternya?" pria yang berada di barisan depan pun spontan bertanya, "Saya dokter, kenapa masuk tanpa izin? Apa kalian tidak lihat tempat ini sudah tutup?" protes Natalie yang tidak menyukai jika ada yang memasuki tempatnya tanpa izin. 

"Kamu harus mengobati dia sekarang!! Dr Natalie Sanford!!" bentak pria itu yang membuat Natalie sedikit terkejut karena pria itu semakin mendekat ke arah wajahnya. Nafasnya saja terasa hangat di hidung pria itu. Natalie sempat menatap pria itu, kosong. Namun, dia harus segera mengobati seseorang yang terluka dan dibawa oleh segerombol pria yang di pimpin si pria barisan depan. 

Natalie segera menyuruh para pria itu untuk membawa yang terluka ke dalam ruang gawat darurat. Natalie melihat luka pria yang sedang dirawatnya, sepertinya habis ditikam. Kondisi pria itu juga sudah kehilangan banyak darah yang membuat sang ketua kelompok rela mendonorkan darahnya tanpa banyak darah karena di klinik Natalie memang tidak menyediakan banyak darah. 

Dengan pelan Natalie menyuntik tangan pria itu untuk mengambil darahnya, "Siapa nama kamu? Kamu sudah menerobos masuk tanpa izin." ucap Natalie terdengar masih kesal. Pria itu menatapnya tajam, dia bahkan tidak suka ketika Natalie mengucapkan hal tersebut, "Aku tidak butuh izin untuk masuk kesini, apalagi ke dalam dirimu, dokter. Jangan banyak bertanya." Awalnya pria itu mengucapkan dengan tegas kemudian dia merintih seperti sedang kesakitan dan hal itu cukup membuat Natalie terkekeh geli. 

"Hahaha, sakit ya? Kalau aku gak tau siapa nama kamu ya bagaimana aku bisa merawat kamu dengan baik?" Natalie menyeringai menatap pria yang masih terbaring memproses darahnya keluar, "Tidak perlu nama untuk merawat seseorang, dokter." jawab pria itu dengan santainya. "Tidak adil jika kamu tau namaku dan aku tidak tau namamu." ucap Natalie sembari melepaskan peralatan di tubuh sang pria. 

"It's Mysterious. Panggil saja mistik." jawabnya dengan santai. Setelah transfusi darah, pria itu pun segera pergi tanpa meninggalkan jejak apapun. Setau yang Natalie ketahui dari percakapan para pria yang dibawa si Mistik ini bahwa orang yang sedang dia rawat saat ini adalah adik si Mistik.

Baru kali ini Natalie dibuat penasaran dengan nama seseorang yang sebenarnya. Dia selalu tau siapa pasiennya dan darimana mereka berasal. Meskipun itu bukan suatu hal yang wajib untuk dikatakan akan tetapi, mereka bisa saja masih punya hubungan kekeluargaan jauh atau tempat mereka yang berdekatan hanya untuk sekadar tau saja tidak lebih. Dia ingin membangun perkenalan dengan para pasiennya atau keluarga pasien akan tetapi, mistik masih ingin jadi misteri yang mungkin Natalie temukan jawabannya atau bahkan tidak sama sekali. 

Namun, terlepas dari perkenalan yang membagongkan seumur-umur yang pernah dia alami. Dia tetap merawat adik si mistik dengan baik. Pria itu hampir saja kelihangan wajahnya karena wajahnya babak belur penuh darah, perut bagian kiri ditusuk dan Natalie telah menyimpan pisau yang tadi dia lepas dari perut adik mistik.

Mereka benar-benar misterius, tidak ada suara bahkan sebelum Natalie sempat keluar dari ruangan pasien. Dia takut jika terjadi sesuatu padanya terutama karena tidak ada siapa pun disini selain dirinya dan Sarni. Dia mencoba untuk tetap tenang dan keluar ruangan untuk menemui mistik, pria berbadan kekar, tinggi, berotot, memiliki mata coklat yang cukup mencolok dan brewok agak tipis. Natalie tidak bisa mengalihkan matanya ketika surga dunia saja ada dihapannya. 

"Keadaannya sudah membaik, jika ingin pindah ke rumah sakit pribadi juga boleh. Saya harus pergi dulu." pamit Natalie karena dia tidak bisa berlama-lama di ruangan itu. Natalie yang sudah membalikkan badannya pun terkejut ketika Mistik meraih tangannya dan menahan pergelangan tangannya. Dia memalingkan mukanya sinis, "Apa lagi?" tanyanya. "Terima kasih kamu sudah membantu, cuma disini lah tempat yang tepat." pria itu tersenyum menyeringai.

"Tidak masalah," jawab Natalie ketus. "Darren, it's Darren." Natalie yang hendak memalingkan wajahnya pun kembali menatap Darren memberitau namanya yang sebenarnya. "Nah gitu dong, biar impas. Nice to meet you, semoga cepat sembuh. Siapa dia?" Natalie masih penasaran dengan latar belakang Darren. "Dia adikku, Elvin namanya. Kapan bisa selesaikan administrasinya?" Darren tentu harus membayar keributan tengah malam yang telah dia perbuat di klinik Natalie dan meminta maaf. 

"Tunggu saja besok susternya datang. Nanti kamu akan membayar padanya. Aku harus pergi." ucap Natalie pamit akan tetapi, Darren seolah tak mau melepaskan pergelangan tangannya, "Sudah kamu pastikan dia baik-baik saja, kah?" Tatapannya benar-benar membuat Natalie mematung, bahkan Cavero tidak pernah menatapnya dengan tatapan tajam yang erotis seperti Darren. Hal itu cukup membuat Natalie merasa gugup, "I-ya iya tentu saja. Apa mau kamu lagi?" Tak ingin terus tertahan, Natalie pun sekalian bertanya agar nanti dia bisa pergi dengan tenang. 

"Tidak ada." Darren menyeringai melepaskan pergelangan tangan Natalie. Jantungnya terus berdegup kencang seolah dia telah menemukan seseorang untuk jatuh cinta. Namun, Darren tidak yakin apabila dia bisa mendapatkan wanita itu. 

"Apakah dia punya kekasih?" salah satu orang terdekat Darren bernama Dio menatap Darren dengan heran, "Tentu saja, boss. Apa boss tidak tau kekasih siapa dia?" Darren menatap Dio dengan kesal karena jawabannya yang bertele-tele, "Siapa, Dio?" Darren mengangkat alisnya penasaran, "Tadi ituloh, boss." tanpa menyebutkan nama, tanpa menyebutkan sebuah clue, Darren mengerti yang dimaksud oleh si Dio.

Keesokan harinya, Darren membayar kepada suster yang berjaga di bagian administrasi. Darren melihat Natalie yang terburu-buru keluar dari ruangannya dan keluar. Dia juga melihat ada pria tua lain yang keluar dari ruangan Natalie padahal semalam Darren tidak melihat pria itu masuk. Darren sebenarnya ingin menyapa Natalie apalagi setelah bantuannya semalam, akan tetapi, Natalie begitu buru-buru pergi. 

Darren ingin memindahkan adiknya ke rumah sakit pribadi namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat Elvin kembali memakai kaosnya dan terlihat seolah sedang baik-baik saja. Elvin sepertinya memaksa perawat untuk membantunya bersiap karena Darren melihat ada seorang perawat yang berdiri di samping Elvin dan terlihat lugu. 

"Elvin, apa yang kamu lakukan??" Darren berteriak memarahi adiknya, "Tidak ada." Elvin menatap kakak kandungnya dengan tatapan yang ngeri, sedikit senyum dan sepertinya tak menyesal dengan apa yang sudah terjadi semalam. 

***

"Selamat datang, sayang. Papa sama Mama sempat nunggu kamu semalam, kenapa kamu tidak bilang?" Natalie sama sekali tidak mengerti dengan ucapan ayahnya, dia tidak mengatakan tentang apa? 

"Apa maksud, Papa?" Natalie lantas bertanya, "Kalau kamu akan menikah minggu depan?" Natalie melotot terkejut, dia tak habis pikir Cavero akan mempercepat pernikahannya, "Siapa yang bilang sama, Papa?" Natalie masuk dan duduk di sofa ruang tamu, "Cavero, dia sudah meminta izin Mama dan Papa. Pernikahan kalian akan diadakan di gedung Jeruk minggu depan. Dia akan menyiapkan segalanya mulai dari venue, WO, dress, make up dan lain-lain."

Natalie benar-benar terkejut. Bahkan semalam Cavero belum sempat membahas semua itu dengan dirinya. Bagaimana bisa ayahnya lebih dulu tau tentang hal ini???

To be continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status