Share

BAB 2 LENYAP

"GILA, dapet banyak lo, To?" pekik Udin dengan takjub. Pria bermulut agak monyong ini pemilik warung kopi dua puluh empat jam di Kampung Melayu. Ia memegang secarik kertas putih yang berisi kombinasi angka acak. Dan untuk kesekian kalinya Udin mencocokan nomor di kertas tersebut denganp catatan di bukunya.

"Ssttt, gak usah kenceng-kenceng napa, Din. Buruan sini duitnya ah. Mau berapakali lo cek juga tetep cocok nomernya." desak seorang pria bertubuh pendek yang berdiri di ambang pintu warung.

Suara tawa terbahak-bahak menembus bilik kayu sampai masuk ke dalam warung. Di luar, empat orang pria sedang asik bermain kartu Poker. Salah seorang di antara mereka mengumpat dengan kesal, berbagai macam kata makian keluar dari moncongnya. Ketidak-ahliannya memainkan kombinasi kartu, membuat ia hanya jadi bahan olok-olok teman-temannya.

"Nih. Uang lo." Udin menelan ludah memberikan setumpuk uang ke pria pendek di hadapannya. 

Apes bagi bandar togel ilegal sepertinya, uang yang harusnya masuk ke rekening bank malah justru dikeruk habis-habisan dalam satu tarikan kertas. Beginilah nasib jadi 'bandar togel independen' yang tidak punya back-up dana dari distributor. Namun, bagaimana pun ini sudah menjadi resiko yang pasti akan ditemuinya. Dan ia memang sengaja tidak mau kerja sama dengan distributor togel, karena menurut pandangannya jauh lebih untung jualan nomer begini… gak perlu bagi-bagi keuntungan setiap penjualan nomornya. Walaupun resiko kerugiannya pun besar ketika ada nomor yang tembus seperti sekarang. Ia harus membayar hadiah yang berlipat-lipat besarnya dengan uang pribadi, tidak seperti bardar yang setoran ke distributor, mereka saling berbagi resiko.

Udin sempat kegirangan ketika melirik jam sudah menujuk pukul dua dini hari dan gak ada yang nuker kertas. Biasanya itu berarti lumbung uangnya aman, para pelanggan setianya gak ada yang tembus. Namun, Si Karto yang sejak tadi asik main poker, diam-diam minta di gantikan sama si tongos lalu ia masuk ke warung, menyerahkan kombinasi tiga angka Hongkong yang dia tebak dengan benar. Udin sempat tidak percaya namun ketika ia cek memang tidak ada coretan, tidak ada salah tulis nomor, tidak pula kertas palsu, rupanya Karto memang lagi mujur! 

Karto menjilat jari telunjuk tangan kanan, lantas mulai menghitung uangnya. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang bentor tersebut menyunggingkan senyuman ketika mulutnya selesai bergumal.

"Dapet nomer dari mana lo? Abis gelontang lagi di kuburan ya… ati-ati To, jangan keseringan diem di kuburan. lagi banyak penculikan, kagak takut apa lo?" tanya Udin dengan ketus.

"Ah, kagak penting itu mah. Udah, gua cabut dulu yak." Karto memasukan uangnya ke dalam saku celana. Ia tersenyum bangga bak seorang pemain sepak bola yang mendapat penghargaan tertinggi dari federasi.

Ia merasa malam ini punggungnya sedang disenderi dewi keberuntungan. Sudah lama sekali rasanya ia menantikan hari kemenangan ini.

Besok, tidak akan ada lagi orang yang menggedor-gedor daun pintunya. Semua hutangnya di warung makan, tunggakan bayar kontrakan, Listrik, air PDAM, dan hutangnya di orang-orang, semuanya bakal dibayar kontan. Tijah sang istri gak bakal bentak-bentak dia lagi. Semua masalah ekonomi sudah aman terkendali dalam satu saku celana ini. 

Sementara Karto diam-diam melenggang pergi dari warung, teman-teman tongkrongannya masih tertawa terbahak melihat permainan poker si Tongos. 

Salah seorang di antara mereka melihatnya.

"Woi, pulang lo?" teriak seorang pria berkumis tebal, namun Karto sudah menghilang berbelok di tikungan gang sempit.

"Eh, nitip warung sebentar ya… Gua mau nyusul si Karto." buru-buru Udin mengunci pintu warungnya, ia baru ingat Karto juga punya utang padanya dan harusnya tadi langsung dipotong buat lunasin, karena kalau nunggu besok belum tentu juga Karto masih pegang uang.

Pukul dua dini hari, decitan tikus-tikus saling kejar menemani langkah Karto. Rumahnya cukup jauh dibandingkan dengan teman-temannya yang masih satu komplek dari Warkop Udin. Dia lain kampung tapi sangat suka kumpul disitu. Bukan karena ia suka sifat mereka, namun lebih karena mereka yang ada di situ punya masalah kehidupan yang hampir sama seperti dirinya. Sama-sama tukang nganggur.

Kaki Karto terus melangkah, menyusuri jalan-jalan sempit yang gelap, menyeberangi jalan raya yang lengang, hingga masuk lagi ke kampung padat penduduk, lalu mengikuti jalan setapak yang membelah kuburan, rumahnya ada di ujung sana.

Cahaya bulan cukup terang saat ini, dia bisa melihat apa pun dengan jelas tanpa penerangan lampu.

Sudah enam bulan Karto dan sang istri-Tijah tinggal di kontrakan ujung kuburan ini, mungkin cuma mereka yang bersedia ngontrak disitu. Namun, jika dibandingkan dengan rumah kontrakan lainnya harga sewa yang ditawarkan si pemilik bangunan terbilang sangat murah. Tapi bukan hanya faktor harga saja Karto mau tinggal ditempat seperti itu, lebih jauh lagi dan lebih penting lagi adalah Karto justru merasa senang mengasingkan diri di tempat seperti ini. Dia merasa lebih aman jika jauh dari perkampungan dan keramaian penduduk, karena semakin ia sering berinteraksi dengan para warga maka semakin besar pula kemungkinan identitasnya bocor. Jika hal tersebut terjadi, warga bakal memandangnya semakin sinis karena Karto sebenarnya mantan narapidana alias seorang residivis yang tobat akhir-akhir ini. Ia sering terjerat dalam kasus penjambretan dan pencurian. Sewaktu-waktu dia pernah menjambret tas seorang wanita separuh baya, uang wanita itu sangat banyak membuat Karto begitu senang malam itu, namun tak berselang lama malapetaka menghampirinya. Wanita yang ia jambret ternyata istri dari seorang pemimpin organisasi penculikan. Malam itu juga ia dijebloskan ke bui dan mendekam di Nusa Kambangan. Hari demi hari ia lalui dengan lambat, dan satu per satu kawan satu selnya pergi meninggalkan Karto. Suatu saat ia diajak oleh orang-orang anak buah dari bos organisasi itu menuju ke suatu tempat dan tempat tersebut adalah ruang bedah. Ia melihat banyak teman-temannya berbaring kaku di atas ranjang dengan perut terbelah. Karto yang diserang perasaan panik, langsung kabur malam itu juga bertahan hidup dengan sembunyi di satu tempat ke tempat lainnya, hingga akhirnya ia pergi ke Jakarta.

Oleh karena itu, Ia menjaga ketat tentang informasi kehidupannya bahkan teman-temannya di warung kopi tidak ada satu pun yang mengetahui perihal tersebut. Hanya dia dan sang istri yang tahu. Namun, akhir-akhir ini dirinya menjadi waspada begitu mengetahui kasus penculikan sedang marak bermunculan di Jakarta. Akhirnya ia menjadi sangat waspada dan hati-hati.

Karto mengusap keringat dingin di dahinya.

Angin malam berdesir, meruntuhkan bunga-bunga kamboja di sisi kanan-kirinya. 

Karto menoleh ke belakang, sepi. Tidak ada apa pun di sana. Namun, entah mengapa perasaannya jadi gelisah, bulu tengkuknya berdiri tegang. Bayangan-bayangan di ruang bedah terlintas dalam benaknya, orang-orang yang menjerit kesakitan, anak anak kecil yang menangis tertahan, bunyi pisau yang menggores kulit secara perlahan dan erangan rasa sakit itu.

Karto mencoba mengenyahkan pikirannya, namun semakin dia coba mengusirnya semakin kuat bayangan itu terbayang. Gelap tanpa lampu menyelimuti segala sudut kuburan, tubuhnya jadi bergidik. Ia merasa malam ini cukup dingin, semoga saja saat masuk ke rumah, Tijah masih bangun dan mau membuatkannya teh anget. Ia hampir sampai di rumah.

Tiba-tiba suara deris dedaunan yang terinjak, membuat Karto terdiam, waspada. Itu bukan suara kakinya. Dia menunduk bersembunyi di balik sebuah pepohonan. Matanya menerawang ke penjuru arah. Bukan, bukan dari arah belakang. Ia mencoba menstabilkan napasnya. Menyimak dengan seksama.

SREEK, SREEK… SREEK…

Tidak salah lagi, Karto memang mendengarnya. Dari arah depan, dekat kontrakan. "Mungkinkah itu Tijah? Tidak! itu tidak mungkin." batin Karto.

Jantungnya semakin berderap kacau tidak beraturan. Namun, dengan segala umpatan yang sudah ia ucapkan di dalam hati, Ia memberanikan diri menimbulkan kepalanya sedikit, melongok sedikit saja, tidak ada 10 cm, hanya sebatas ekor matanya yang melihat kesana. Didapatinya dua orang pria berpakaian hitam dengan sarung tangan sedang menggotong sebuah karung putih di samping kontrakannya dan yang membuatnya terkejut, karung itu dipenuhi bercak darah. Karto menelan ludah, ia gumoh hampir muntah membayangkan apa isi karung itu.

DORRR….

Sebuah peluru super cepat menghancurkan hampir setengah sisi pohon tempat Karto bersembunyi.

Salah seorang pria itu sudah melihatnya! Dia besar dan memegang senjata. Di kokangnya senapan besar itu lagi.

Tidak aman! Pohon ini bisa tumbang dengan satu puluru lagi. Tanpa pikir panjang Karto langsung berlari ke sembarang arah. Menerjang makam-makam di kuburan. Dia mengkhawatirkan Tijah, tempat orang itu berdiri tidak jauh dari kontrakannya. Dan terlebih lagi apa isi karung itu? 

Apakah Tijah tidak mendengar suara keras tembakan itu? 

"Tijah… Bangun Tijah… Lari… Tijah… Lari… " jeritnya dalam hati.

Atau jangan-jangan ….

Tidak mau berpikir panjang lagi Karto terus saja berlari, Ia tidak ingin mati secepat ini. Masih banyak hal-hal yang masih diinginkannya, walaupun orang-orang selalu bilang kalau ia pemalas, pengangguran, gak jelas hidupnya, penyakitan, namun yang jelas dia masih punya harapan hidup. Sebuah harapan seperti saat ia menunggu lotre Hongkong diputar. Harapan yang akan membuat hidupnya berbeda menjadi lebih baik.

Derap kencang kaki berlari masih ada dibelakangnya.

Secara tidak sadar, kakinya mulai bergetar kelelahan. Napasnya megap-megap tidak karuan. Dia berlari terhuyung-huyung sekuat tenaga, suara kokang senjata berada tepat di belakangnya. Dan peluru kedua menyalak, menghantam tembok kuburan sampai remuk. Karto sudah melompati tembok tersebut dan menuju kembali ke jalan raya. 

Dia berlari di antara ruko tua yang saling berjejeran di sepanjang jalan ini. Rasanya ingin sekali berteriak minta tolong, namun apa dengan suara tembakan menggelegar itu orang-orang tidak ada yang bangun? Pasti ada, hanya saja mereka masa bodo! Cuma mau mengintip dari balik kisi-kisi dan jendela kotor itu. Mereka memang sudah gila! Apakah dirinya memang begitu hina hingga tidak ada yang sudi menolong?

Karto berlari dengan menutup mata mencoba menghentikan air mata yang menggenang. Barangkali sejak kecil dirinya memang tidak diinginkan terlahir oleh kedua orang tuanya, ia adalah anak terakhir dari 8 bersaudara. Karena masalah ekonomi, sejak kecil Karto diasuh oleh adik ibunya dan sejak saat itu pula ia tidak pernah bertemu dengan orangtua dan para saudaranya. dengan kata lain Karto merasa bahwa dirinya sengaja dibuang secara halus. Sementara kondisi keuangan pamannya juga tidak jauh berbeda, Karto hanya diberi makan 2 kali sehari. Jangankan untuk sekolah, uang jajan seumur-umur tidak pernah dikasih bibi dan pamannya. Kondisi itu memaksa Karto kabur dari rumah, barangkali memang hidupnya diperuntukan untuk kabur maka dia akan terus kabur. 

Rasa sedih yang menyesakkan itu muncul tiba-tiba, seakan tercurahkan begitu saja malam ini, seakan ia mengalami De Javu saat sakaratul maut datang, seakan dunia terus membuatnya semakin terjerembab ke lubang kegelapan.

 Ia memang pandai kabur, karena itu menurutnya nyopet adalah keahlian alami yang dia miliki, barangkali Tuhan memang menginginkannya seperti itu. Kabur dari kejaran warga, kabur dari amukan masa, kabur saat ada razia gelandangan, kabur saat mendekam di penjara, dan sekarang ia harus kabur demi kelangsungan hidupnya. Ia tahu, begitu ia tertangkap oleh komplotan itu, maka riwayatnya pasti akan habis.

Karto membelok di sebuah simpangan, ia mengenal kawasan ini. Jalan aspal ini menuju perumahan tempat orang-orang kaya tinggal. Mungkin saja, kalau ia berteriak di sana mereka mau menolongnya. Karto melongok ke belakang, tidak ada siapa-siapa tapi tidak menjamin pula dirinya sudah lolos dari mereka, terlebih lagi kakinya tertusuk sebuah ranting saat melompat dari tembok kuburan, tetesan darah mengikuti langkahnya. 

Ketika ia mau menoleh ke depan,

DEBUGG...

Tubuhnya terpental hingga tersungkur ke aspal menabrak seseorang yang nampak sama kaget dengan dirinya. Karto menatap pria berlengan besar itu, ia terperanjat begitu menyadari pria dihadapannya mengenakan pakaian serba hitam dan sarung tangan. Dengan menghiraukan rasa sakit di telapak kaki, ia melompat pergi darinya. Bersiap-siap sebuah peluru menembus jantungnya. Tapi setelah cukup jauh, tidak terjadi apa-apa, ia bahkan masih mendengarkan suara jantungnya memompa darah dengan kesakitan. 

Begitu melihat pria berlengan besar itu, Karto mengurungkan niatnya untuk berteriak, lagi pula napasnya benar-benar sudah habis. Untuk sekadar mengucapkan satu kata pun rasanya sudah tidak sanggup lagi. Ia berhenti berlari ketika sudah keluar lagi dari perumahan elit itu. Paru-parunya benar-benar tidak sanggup lagi, kakinya berhenti berlari, ia menyenderkan bokongnya pada sebuah mobil yang terparkir liar di pinggir jalan. Kedua tangannya mencengkeram lutut, tenggorokannya kering keronta bahkan ludahnya pun habis tak bersisa, ia menelan sisa-sisa angin dalam mulutnya, alhasil tenggorokannya makin terasa sakit. 

Pandangan mata Karto berkunang-kunang melihat ke bawah dan pada saat itu juga, sebuah besi panjang yang dingin menghantam kepalanya dari belakang. Seketika tubuh Karto tersungkur ke tanah, sedetik sebelum pandangan matanya lenyap ia melihat pria yang mengejarnya tersenyum puas, sebuah senapan laras panjang dipegangnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status