Share

BAB 3 HANUM YANG HILANG

Suara sirine Ambulans, gemeretak baut-baut kendur, celoteh mulut-mulut bergosip dari depan, desis roda yang berputar semakin kencang, nyanyian angin yang berlalu. Galang setengah sadar mendengarkan itu semua. Dia terkapar di atas ranjang pasien yang telah reyot. Napasnya dibantu oleh tabung oksigen. Perempuan yang menyelamatkannya tidak terlihat ikut di ambulan ini. 

Galang menutup matanya lagi.

Koak burung camar dari atas sana menyeruak sampai ke telinga Galang yang merintih kesakitan. Dia sadar dengan susah payah, sekujur tubuhnya gemetar berlumur darah. Gemeletuk roda kereta sudah semakin menjauh dari pendengarannya. 

Beberapa menit lalu -sebelum kejadian- gendang telinganya dipenuhi klakson kereta yang semakin keras mendekat, merobek telinga. Mobil yang dikemudikan ayahnya entah kenapa tidak mau bergerak dari jalur kereta. Galang baru akan meneriaki orang tuanya agar lari keluar dari mobil, namun kepala kereta lebih dahulu menghantam mobil mereka.

Liburan akhir pekan di pantai dipagi minggu itu, benar-benar menjadi tragedi. Galang sungguh menyesalinya, andai saja ia tidak memaksa keluarganya pergi ke pantai hari ini, andai saja hanya dia yang tergeletak lemas penuh luka bersimpuh darah ditabrak kereta, dan andai saja dia bisa mengulang waktu, semua ini harusnya tidak pernah terjadi.

Galang menatap kearah sang ibu yang duduk lemas di sampingnya.

"Ibu ... kepalamu penuh darah ... " Galang seketika melepas seat belt, mengusap darah yang mengucur dari kepala ibunya. Di telapak tangan ia merasakannya, bukan sebuah goresan yang menjadi sumber darah itu mengucur, namun yang ia rasakan seperti mengusap sebuah cangkang telur yang telah pecah. 

Sesaat kemudian ibunya membuka mata, mencoba mengingat apa yang terjadi barusan. Ia menyadari sesuatu yang buruk baru saja menimpanya, dengan sisa tenaga dan separuh kesadaran, ia bergumam dengan suara parau.

"Ha-hanum … Dimana Ha-hanum, Galang?" Ibunya menatap Galang lekat-lekat.

Galang hanya bergeming, menundukan kepala penuh penyesalan.

Bentangan jalur kereta yang tak berujung itu hampir merenggut nyawa mereka, kalau boleh dikatakan mereka masih beruntung karena nasib ayah dan adiknya yang duduk di kursi depan tidak mereka ketahui. Bagian depan mobil terpisah dari bagian belakangnya. Mereka tidak tahu nasib Hanum dan sang ayah, entah masih terseret kereta atau terpental jauh di belakang. Mereka tidak tahu mana yang lebih baik atau yang lebih buruk.

Ibunya meringkuk semakin lemas, darah di kepalanya sama sekali tidak mau berhenti keluar.

Mulutnya terus saja berkomat-kamit lirih.

"Hanum… Hanum… Hanum… " 

Galang tidak tahan ia berteriak sekuat tenaga, "Tolong! Tolong! Tolong!" 

"To …" Tiba-tiba matanya membelalak, Dia bangun terduduk dari ranjang tidur rumah sakit. Se-untai selang terpasang rapi di hidungnya. Gelembung di mulut tabung oksigen bercelepukan seperti air mendidih. Nyamuk yang sedari tadi menghisap darahnya memekik kabur. Penyejuk udara bertekanan rendah mendesing tepat di atas ranjang tidur satu-satunya di ruangan itu.

"- Kau, baik-baik saja?" Perempuan berusia dua puluhan yang tadi malam dilihat Galang duduk tenang di sampingnya. Tangan kirinya mengelus lembut punggung Galang. "Semalaman ini aku terjaga mendengarkanmu yang terus saja mengigau: 'Tolong , Hanum, tolong, Hanum, tolong!' Aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya itu, apakah memang ada artinya untukmu atau tidak. Tapi mungkin sekarang kau ingat sesuatu? Apakah... Hanum itu orang yang menabrakmu?"

Galang bergeming. Keringat yang menari-nari di ujung dagu akhirnya menetes. Matanya menatap lamat kedua lengan yang dibalut perban, penuh luka dan perih. Dia masih mencoba mencerna apa yang terjadi semalaman ini. Ia mengernyit kesakitan memegangi kepalanya.

"Tak usah memaksakan diri. Dokter bilang kepalamu memang tidak mengalami kerusakan serius. Namun, sedikit ketegangan saja pada saraf-saraf kepalamu akan terasa sangat sakit. kau masih harus istirahat dengan cukup." Tangan perempuan itu mengusap peluh yang menempel di dahi Galang dengan tisu.

"Aku rasa, kau adalah sebuah keajaiban baru di dunia ini," ujar perempuan itu. "Keadaanmu sangat parah tadi malam. Menurut dokter 60 tulangmu patah, kau kehilangan 1 liter darah, kepalamu sobek, dan hampir retak. Seharusnya kau berada di ruang ICU saat ini. Namun, betapa terkejutnya semua orang ketika mulutmu mulai mengigau. Dan pagi ini, aku sungguh tidak percaya… kau duduk seperti tidak terjadi apa-apa." Selesai membersihkan dahi, perempuan itu duduk di kursinya lagi, memandang pria berlengan kekar itu.

Ingatan Galang perlahan kembali secara berurutan ia kini ingat apa yang dilakukannya semalam, apa yang terjadi pada dirinya, dan siapa perempuan di sampingnya ini. Dia ingat, perempuan ini berbicara pada telepon genggam saat dirinya setengah sadar tergeletak di kerikil jalanan, dan dia juga ingat namanya, Lila Darmawan, gadis sulung dari Ranto Darmawan.

"Pukul berapa sekarang?" ucap Galang pada akhirnya.

Lila sedikit terperangah mendengar pria di hadapannya itu berkata.

"Eeh … Pukul tujuh kurang lima menit, kenapa?"

Gilang diam tiga detik.

"Kau tidak pergi bekerja? Maksudku apa kau tidak memiliki kegiatan lain selain menunggu siuman seseorang yang bahkan tidak kau kenal namanya. Dan kenapa kau menyelamatkanku…" Galang ragu sejenak, tapi dia tetap berucap. "Suatu hari mungkin kau akan menyesalinya." ketus Galang, ia memalingkan muka menatap ke jendela luar.

Lila terperanjat mendengar kata itu muncul dengan mulus dari pria berambut cepak di hadapannya. Ia menyandarkan tubuh pada kursi lipat.

"Entahlah, pekerjaanku sangat aneh menurut kebanyakan orang. Mereka bilang aku dan teman-temanku hanyalah bidak politik, mencari muka umum, mencari panggung, tukang demo dan lain sebagainya. Ya... walaupun biasanya orang yang sering menghardik itu tidak mengetahui apa-apa," Lila mengambil kalung tanda pengenal dari dalam tas jinjing. "Aku seorang aktivis kemanusiaan. Jadi, aku bekerja dimana saja dan kapan saja. Tanpa terikat waktu, mungkin tidak bisa dibilang ini adalah sebuah pekerjaan namun inilah kegiatanku, aku sangat senang melihat orang lain bahagia dari hal-hal kecil yang bisa di bagikan." Dia menunjukan tanda pengenalnya itu, senyum simpul kecil merekah di bibirnya.

Galang tidak puas akan jawaban itu, dia mengurungkan niat untuk bertanya lebih dalam. Lagi pula dia juga tidak peduli dengan urusan orang lain.

"Maaf, sebetulnya dokter melarangku banyak bertanya padamu. Tapi, mungkin pertanyaan ringan ini tidak akan membuat kepalamu sakit … Kau ingat siapa namamu?" tanya Lila.

"Namaku Galang, seorang atlet pegulat gaya bebas."

"Syukurlah kalau kau masih ingat. Aku Lila Darmawan, panggil saja Lila."  Perempuan berambut ekor kuda itu menyalami tangan Galang. Matanya yang coklat sempurna berbalut indah memantulkan langit biru cerah. Galang merasakan genggaman kehangatan di tangan yang lembut itu.

Kring… kring… (Suara nada berdering dari dalam tas Lila)

Lila melihat ke layar telepon genggamnya yang tipis, ia mengernyitkan dahi begitu melihat nama kontak yang menghubunginya.

"Kepolisian? tumben sekali mereka menghubungiku …. " jari Lila mengusap layar telepon genganmnya, menempelkan pada telinga kanan. Ia sontak berdiri lalu berjalan pelan menuju pintu keluar kamar pasien. "Hallo… Iya betul Pak, dengan saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

Ketika hampir memutar knop pintu kamar, langkahnya terhenti, ia belum terlalu mencerna apa yang dikatakan polisi tersebut, suara gaduh dari belakang mengganggu polisi itu berbicara.

"Apa pak? Tolong lebih jelas lagi, suara bapak kalah keras dengan suara orang orang disitu…"

Hening sejenak. Lila menggigit bibir tipisnya. Jantungnya seakan berhenti secara tiba-tiba.

" … Kebakaran?! Rumah sa-saya kebakaran?"

Pintu ruangan itu dibanting rapat ketika Lila melenggang pergi meninggalkan Galang yang sedari tadi memperhatikannya.

"Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana mungkin rumahnya terbakar," gumam Galang.

Potongan-potongan siluet seketika menyergap pikirannya, ia mulai gusar mengingat gambaran rumah Darmawan, darah yang menggenang di atas kasur, mata Darmawan yang membelalak, wajah gadis kecil yang mengusap mata. Galang mengernyit menahan sakit kepala yang seperti ditusuk jarum-jarum kecil.

 Tangan kirinya memegang bekas jahitan di kepala. Gambaran itu muncul lagi, sebuah mobil yang menyeruduknya dari belakang, "Ya… itu bukan kebetulan, mereka pasti telah merencanakannya." Dan Seseorang yang keluar dari balik mobil itu.

Gelembung oksigen semakin cepat bercelepukan. Keringat mulai keluar dari pori-porinya.

Dalam ingatan Galang, Gerakan seseorang yang mangacungkan Revolver kepadanya melambat, bahkan Galang mampu melihat dengan jelas sebuah noda merah kecil menempel pada dasi orang itu. Sebelum teman orang itu membentaknya, ia melihat seluruhnya. 

Revolver itu berwarna hitam metalik, seri 'Ruger Super RedHawk' jenis .454 Casull-double action keluaran Amerika tahun 1987 peluru berkecepatan 1.900 kaki per sekon dengan daya rusak mematikan, mampu melubangi dinding beton sekali picu. Dan yang lebih penting lagi dia mengingat nomor plat dan jenis mobil tersebut.

Galang menggeser daun jendela di sampingnya, angin dari luar langsung menyerbu masuk. Langit biru yang cerah serta siraman mentari pagi yang hangat menyambutnya. Dari balik jendela itu, ia melemparkan pandangan ke segala arah. Hamparan rumput hijau tumbuh subur di bawah, nampaknya dia dirawat di lantai dua dan bangunan ini terletak paling ujung dari pintu masuk mengingat pagar-pagar pembatas menjulang tinggi di balik jendela ini. Satu-satunya jalan untuk kabur adalah pintu depan.

Tak lama seorang perawat lelaki berperawakan kurus dan tinggi lewat dikoridor depan, ia mendorong gerobak makanan. Tiga kali dia mengetuk kaca yang menempel pada pintu, lalu tersenyum begitu Galang menoleh kepadanya. 

Perawat  itu masuk membawa baki dan membaca daftar nama di kertas, ia sedikit mengangkat alisnya lalu tersenyum kikuk ke arah Galang.

"Tuan Lila Darmawan?"

Galang terperangah, namun cepat sadar ketika suara lembut Lila yang sedang menelpon dimalam itu menggema di telinganya.

Galang hanya mengangguk, lalu menatap kosong layar televisi yang menggantung di depannya.

"Ini sarapannya, Tuan."

Perawat itu menaruh baki di atas lemari nakas. Ia sempat melihat ke jarum tabung oksigen dan menyadari isinya hampir kosong.

"Bung, apakah aku boleh menyalakan televisi?" tanya Galang.

"Tentu saja." Perawat itu mengambil remote di dalam laci nakas, kemudian ia memencet salah satu tombolnya.

"Di saluran berita, terimakasih."

"Apakah ada lagi yang bisa saya bantu?"

Galang berpikir sejenak, "Dimana bajuku?" ia menjinjing baju hijau muda yang melekat di tubuhnya.

"Oh maaf, Pakaian Anda sedang kami cuci, mungkin besok pagi sudah bisa dipakai. Barang-barang yang di dalam jaket semuanya ada di bawah laci nakas itu." 

Perawat tersebut meminta undur diri. Tangannya menyilang sebuah list perlengkapan kesehatan sebelum menarik gerobak makanan.

"Hei tunggu, ada satu lagi." Perawat tersebut kembali lagi ke samping ranjang, Galang meminta supaya selang oksigen yang melilit kepalanya dilepas karena ia justru merasa kekurangan pasokan oksigen sebab isi tabung sudah sangat sedikit. Perawat itu mengiyakan permintaan Galang. Saat ia hendak menutup keran yang ada pada tabung, tanpa disadarinya Galang dengan cepat bangkit dari ranjang lalu memiting batang lehernya dari belakang.  Kakinya sontak menendang-nedang ke sembarang arah, matanya membelalak, mulutnya mengerang, mukanya merah padam berusaha bernapas, namun dalam hitungan detik berubah menjadi pucat pasi dan sekujur tubuhnya yang tegang seketika melunak seperti tak bertulang. Galang memasangkan selang oksigen pada hidung perawat tersebut. Saraf vagus yang terletak di sisi kanan dan kiri leher bertanggung jawab atas suplai udara ke jantung. Ketika urat leher ini ditekan hasilnya mempengaruhi pendistribusian darah ke otak yang akan terhambat, efeknya menurunkan atau menghilangkan kesadaran orang tersebut. Ini adalah teknik dasar bagi seorang pegulat seperti Galang. Pelan-pelan ia melepas baju perawat tersebut.

Layar televisi tipis berukuran 21 inci yang menempel pada dinding sedang menampilkan seorang reporter pria berperawakan tegap dengan latar di belakangnya sebuah rumah hangus yang tak berbentuk.

"... Kini saya tepat berada di belakang kediaman dari keluarga Darmawan. Beliau dikenal sebagai seorang dokter yang mengabdikan diri pada kesehatan masyarakat kurang mampu tanpa meminta upah sepeserpun, menurut data yang saya dapatkan sebelum beliau terjun mengabdikan diri pada masyarakat, dulunya beliau adalah dokter spesialis bedah di rumah sakit internasional, Jakarta Pusat. Keahliannya ini .... "

Setelah hampir selesai bertukar pakaian dengan perawat, Galang mengambil telepon genggam di dalam laci nakas lalu mengambil alih gerobak dorong di luar pintu, ia berjalan menunduk melewati koridor panjang lantai dua, seorang suster di bagian peracikan obat sempat menegurnya, namun betapa beruntungnya dia ketika datang seorang suster lainnya yang mengajaknya bergurau. Galang sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi ketika dia melewati ruang lobi dan kemungkinan terburuk yang terjadi, seorang satpam menghentikan laju gerobaknya karena melihat Galang berjalan dengan aneh.

"Kau mau kemana, Bung? Aku sepertinya baru melihatmu?"

Galang melirik kearah nama yang terbordir di seragam satpam itu, 'Sapto' nama yang cukup kampung, mungkin sedikit trik akan membuatnya mengangguk.

"Betapa sialnya hari ini aku Pak. Ini hari pertamaku masuk kerja dan baru sekali ini mengantar makanan di lantai dua, aku tidak sengaja menjatuhkan senampan makanan dan hasilnya kakiku terkilir cukup parah, jujur saja aku lupa sarapan pagi ini, mungkin itu yang jadi penyebabnya. Oya, suster-suster di atas bilang aku disarankan memeriksa otot kakiku yang malang ini dengan segera dan katanya surat izin ada pada pak Sapto?"

Satpam itu terkesiap dengan gagap, tanpa pikir panjang ia kembali ke mejanya dan mengorek-ngorek surat yang paling sulit ditemukan kalau sedang dibutuhkan itu. Galang tanpa menunggunya sudah melenggang pergi keluar dari pintu rumah sakit, ia meninggalkan gerobak tepat di depan pintu dan berjalan terhuyung menuju parkiran.

Aungan sirine ambulan tiba-tiba terdengar masuk dan suaranya menjalar ke setiap sudut parkiran bawah tanah tersebut, setelah mobil ambulan berhenti, dua orang keluar dari kabin depan lalu mereka menarik serta mendorong ranjang berisi seseorang yang setengah sadar masuk ke ruang gawat darurat. 

Sirine yang mengaung itu berhenti dibunyikan ketika Galang mulai memasuki jalan protokol. Dia tidak ingin terlihat mencolok dengan mobil curian ini.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
catatan madina
good....my love
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status