Share

Dont Touch Her!

Pulang sekolah, Bill terus berusaha mengajak Elenora untuk pergi. Entah apa yang ada didalam pikiran pemuda itu. 

Beruntung Elenora mampu membuat kedua pengawal yang selalu mengikutinya mau menurut, menunggunya di gerbang depan selagi Ia bicara dengan Bill.

"Tolong jangan seperti ini, Bill."

"Sejak menikah Kau semakin menghindariku. Kau banyak berubah, El!" Pemuda itu mencibir.

Sebenarnya tak benar-benar melakukannya, hanya saja Bill tahu bahwa gadis itu akan merasa tak enak hati jika terus menolak ajakannya ini.

Ia tidak berpikir lebih jauh jika gadis yang diajak pergi bukanlah milik sembarang orang.

"Mau ya, please?"

"Tidak bisa, Bill. Herr Hoffman menjemputku. Sudah ya."

Elenora berusaha menolak selembut mungkin, namun Bill tidak mau mendengar. Ia justru menghalangi jalan Elenora dengan kedua tangannya merentang― "Kali ini saja. Aku janji setelah itu tidak akan pernah mengganggumu lagi, El." Wajahnya memohon dan itu membuat Elenora tak sampai hati menolak ajakannya.

"Memang Kita akan kemana? Kau tidak lihat selusin pengawal yang selalu bersamaku?"

Bill menyeringai, Ia seperti sudah mempersiapkan semuanya.

"Itu mudah. Kita hanya perlu menyelinap melalui gerbang belakang. Mereka tidak akan tahu."

"Tapi Aku takut, Bill. Aku takut-"

"Tidak usah takut, Aku bersamamu, El."

Sebelah tangannya terulur untuk menggenggam lembut jemari lentik gadis itu. Elenora menggigit bibir bawahnya, bohong jika Ia tidak berdebar. Ia takut jika Jackson tahu, pasti Ia akan mendapat masalah nanti.

"Kau siap? Ayo pergi."

Mereka berjalan mengendap, melalui jalan setapak yang berada disamping sekolah.

Elenora bahkan tidak tahu jika halaman samping memiliki rumput ilalang sebatas pinggangnya― "Bill, Kita kembali saja. Aku takut."

Lagi.

Elenora merasa bahwa seseorang mengikutinya dibelakang sana namun saat Ia mencoba memeriksa, tidak ada siapapun.

******

Bill hanya mengajaknya ke museum yang berada di pusat kota. Pemuda itu sangat menyukai seni. Sementara Elenora hanya mengikutinya dari belakang.

"Jangan pikirkan apapun. Kau tahu, Aku sangat menantikan momen ini."

Entah apa maksud ucapannya namun Elenora benar-benar tak nyaman. Ia risih ketika Bill berusaha menggandeng tangannya. Berkali-kali gadis itu berusaha menghindar.

"Kau sudah puas? Bisa Kita pulang sekarang?"

Bill menggeleng, "Sebenarnya ada hal lain yang ingin Kukatakan padamu."

"Tentang apa?"

"Perasaanku padamu."

"Bill, please-"

"Aku sungguhan mengatakannya. Aku menyukaimu, El. Sejak satu tahun yang lalu."

"Jika Kau memiliki ponsel dan televisi, membaca dan menonton beritanya maka Kau tidak akan berani menyentuh tangan istriku."

Jackson.

Keduanya terkejut mendapati Jackson disana. Kilatan amarah pada obsidian ambernya membuat siapapun akan bergidik ngeri ketika perlahan, pria itu berjalan mendekat.

"Sentuh Dia lebih dari itu maka Kupastikan Kau tidak bisa memegang bolpoin lagi― Bill Matteo."

"Anda salah paham, Herr. Maaf."

"Tutup mulutmu, brengsek! Penilaianku berdasarkan apa yang Kulihat! Tahu apa bocah kecil sepertimu ini."

Elenora mencoba menengahi agar Jackson tidak semakin murka― "Herr, maafkan Saya."

"Kita pulang sekarang!"

Ya. Tidak ada pilihan untuk membantah ketika tangan itu sudah menarik erat pinggangnya. Tidak ada kalimat apapun sebagai protesnya.

Kesalahan ini pasti membuat Presiden Direktur JH Corporation itu murka. Entah apa yang akan Ia lakukan.

Namun apapun itu, Elenora berharap jika Bill tetap baik-baik saja.

"Urus Dia!"

Satu kalimat perintah sebelum mobil Mereka melaju, membelah jalanan kota Napoli yang lengang.

Sejak tiga puluh menit yang lalu, Jackson tidak mengatakan apapun. Ambernya fokus menatap ke arah jalanan luar dengan sebelah tangan menopang dagu.

Sejujurnya, rasa kecewa itu mendominasi. Ia butuh sesuatu sebagai pelampiasan.

Maka dalam sekali dial― Nama Max sudah tertera dalam sambungan telepon.

"Seperti biasa."

Dan panggilan itu ditutup secara sepihak. Jackson tidak mau repot-repot menjabarkan maksud dari ucapannya itu. Lagipula, Max cukup mengerti sebab menjadi sekretaris pribadi sekaligus sahabat dekat Jackson selama lima tahun tidak membuatnya 'bodoh' untuk mengerti segala ucapan ambigu pria itu.

"Herr-"

Tatapan ambernya yang tajam menusuk itu seketika membuat bibir Elenora kembali terlipat ke dalam. Gadis itu menunduk, tak berani bertatap langsung dengan Jackson.

Pria itu begitu dominan, dalam segala hal dan situasi― Jackson mampu membuatnya mengerdil hanya dengan tatapannya yang setajam katana itu.

Setelah sampai, Mereka tak langsung turun. Dan Elenora begitu bodohnya menunggu sang suami membukakan pintu untuknya.

"Herr, maafkan Saya."

Setelah itu pintu mobil terbuka, bukan Jackson yang melakukannya. Melainkan salah seorang dari pengawal sebab Tuannya sedang dalam situasi yang tidak baik-baik saja sekarang.

Mobil porsche itu menghilang dalam hitungan detik, menyisakan Elenora dan tatapan sendunya sebab kali ini, tidak ada bualan atau sikap manis Jackson untuknya.

Ia berjalan menunduk, mengabaikan para Maid yang sudah berjejer rapi menyambut kedatangannya.

Mengabaikan Mereka dengan perasaan tak menentu.

"Anda ingin sesuatu, Frau?"

Salah seorang Maid menginterupsi namun pikiran Elenora sedang tidak berada ditempatnya. Tanpa menjawab, Elenora langsung pergi menuju kamarnya. Dan mengabaikan ucapan para Maid yang bertanya padanya.

'Bodoh! Kau tidak seharusnya membiarkan Jackson pergi, El!'

"Sevanya-"

'Tidak usah terkejut. Apa perlu Aku yang bertindak sekarang?'

Helaan napas terdengar, Elenora tidak minat untuk bertengkar dengan sang Alter Ego.

'Kau mendengarku? Apa perlu Aku yang-'

"That's enough! Jangan melebihi batasanmu, Sevanya! Aku bisa menyelesaikan semuanya. Hanya pergilah! Aku tidak membutuhkanmu sekarang."

'Baiklah, Aku pergi! Tapi Kau tidak bisa melarangku jika Jackson kembali berulah!'

******

Pria itu sudah berada di club dan menunggu wanita selanjutnya yang akan menjadi 'mainannya'.

Kali ini seorang gadis muda. Mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan sang istri.

"Tell Me, who is Your name, Bitch?"

"Rosalie Lau, Herr."

Gadis itu tersenyum menggoda ketika Jackson memulai aksinya― "Buka semua pakaianmu dan sebelum itu, tutup matamu! Jangan berteriak selagi Aku belum selesai."

Entah mengapa, bayangan wajah cantik istri mungilnya dan pemuda tadi tiba-tiba terlintas. Dan itu membuatnya semakin dirundung amarah.

"Arrgh!" Gadis itu menjerit kesakitan ketika Jackson menarik satu garis panjang dibagian tulang selangkanya. Darah segar mengucur dan yeah, Jackson tidak ingin berlama-lama untuk 'bermain' dengan bonekanya kali ini.

DORR!― Adalah suara yang selanjutnya terdengar dari balik kamar tersebut. Jackson keluar setelah sempat mengatakan kalimat; "Urus Dia! Berikan kompensasi untuk keluarga Nona Lau. Aku yakin Dia sudah tenang di Surga."

Namun langkahnya harus terhenti ketika Max membuka suara― "Kau payah, Jack! Kau berusaha menjaga gadismu tetap baik-baik saja dan melampiaskan semua kemarahanmu pada gadis lain! Demi Tuhan! Kau sangat payah!"

"Bukan urusanmu! Lakukan saja perintahku!"

Lalu Jackson pergi, meninggalkan Max dibelakang sana yang menatap iba padanya.

Ia tahu bahwa Jackson mulai jatuh cinta pada gadis Allarice itu. Terbukti dengan Jackson tidak mau menyakitinya meski pria itu tahu bahwa istri mungilnya mencoba untuk mengkhianati Jackson dengan pergi secara diam-diam dengan teman satu sekolahnya.

******

Sementara di Mansion Hoffman, Elenora menunggu kedatangan Jackson dengan perasaan cemas.

Pukul tujuh malam dan Jackson belum juga pulang.

"Kau menungguku?"

"Herr, Anda sudah pulang?"

Jackson tampak baik-baik saja. Ia tersenyum ketika melihat Elenora menyambut kedatangannya.

"Saya sudah memasak makan malam untuk Anda."

"Benarkah?"

Gadis itu mengangguk, "Mari Herr."

Jemari lentik itu begitu cekatan menyiapkan sepiring nasi untuk Jackson.

"Suapi Aku."

"But Herr-"

"Kau tidak mau menyuapi suamimu, huh?"

Hening.

Elenora ragu ketika Ia memegang sendok ditangannya. Bahkan tubuhnya bergetar ketika suapan pertama itu Ia berikan― "Ini enak."

"Danke Herr."

"Aku memiliki hadiah untukmu."

"Hadiah?"

Jackson mengangguk dan menyudahi acara makan malamnya lalu mengajak Elenora pergi ke ruang bawah tanah― "Hadiahmu ada disana." Elenora mengikuti arah telunjuk sang suami dan betapa terkejutnya Ia ketika melihat seseorang yang terkapar didalam sana dengan empat anjing herder yang mengelilinginya.

"A-apa yang Anda l-lakukan, Herr!"

Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan. Seketika bibir semerah cherry itu menjadi pucat pasi ketika melihat keadaan teman sekolahnya― Bill, sudah tidak sadarkan diri disana dengan banyak luka ditubuhnya.

'Brengsek! Kau membuat Elenora ketakutan, sialan!'

Sevanya.

Tidak terkejut ketika sang Alter Ego muncul disaat Elenora merasa tak nyaman akan situasinya saat ini― "Kau!"

'Tidak perlu terkejut, brengsek! Beraninya Kau membuat Elenora hampir pingsan, sialan!'

******

Touch vote and like, please!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status