Share

Early Marriage
Early Marriage
Penulis: Cahaya Asa

Tertangkap Basah

"Nadia!"

Tiba-tiba lampu ruangan menyala terang. Gue yang mengendap-endap sambil menenteng heels, terpaksa berhenti mendadak. Untung rem gue pakem. Celingak-celinguk, mencari pelaku, siapa gerangan yang ngidupin lampu tiba-tiba.

Seperti maling yang ketangkep hansip, gue hanya bisa pasrah dengan tatapan mengiba. Mami sudah berdiri dengan berkacak pinggang di sudut ruangan. Tepatnya di bawah tangga dekat saklar. Kedua matanya melotot dan rahang mengeras. Bibirnya ditekan ke dalam dengan gigi gemelutuk.

"Nadia!" Sekali lagi Mami teriak. Membuat jantung ini seperti petasan meledak. Dag dig dug der menghentak dada. Jangan ditanya pula bagaimana rasanya kuping ini. Berdenging saking kerasnya teriakan Mami. Untung halaman rumah ini cukup luas dan dikelilingi pagar tinggi, sehingga tetangga tidak terganggu dengan suara toa mami, ups. Heran gue, sudah malam gini batrenya masih full aja. Habis makan apa, sih dia. Andai tak takut dikutuk jadi cantik, eh, jadi jelek maksudnya, sudah pasti gue ngibrit ke kamar. Meninggalkan Mami marah-marah sendirian. Sayangnya, tatapan garang Mami membuat nyali gue ciut. Mengkerut kayak cacing ditetesi jeruk purut.  

"Jam berapa ini, baru pulang? Cewek bukanya tidur manis di rumah, malah keluyuran kek hansip lagi ronda!"

Buset, Mami gue kalau ngomong suka bener. Nyengir tanpa dosa, gue. Perlahan gue melangkah mendekati mami. Memasang wajah melas supaya dikasihani.

"Maaf, Mami ... Nadia khilaf," ucap gue sambil mengacungkan dua jari. Tak lupa gue pasang wajah seimut mungkin dengan mengedip-ngedipkan mata biar Mami nggak muntah, eh, nggak marah maksudnya. Meski sebenarnya gue sendiri rada jijik memasang ekspresi seperti ini. namun demi keberlangsungan hidup gue, agar fasilitas tetap berjalan, terpaksa sok imut di depam mami.

"Mulai besok, kamu nggak boleh keluar rumah. Semua fasilitas mami cabut!" ucapnya tanpa belas kasihan. Kadang gue berpikir, apa benar gue anak kandung mami. Secara kalau ngomong, mami suka ngegas ke gue. Beda banget sama abang. Yah, mungkin karena abang selalu nurut kata-kata mami juga, sih.

Gue melongo tanpa sadar. Namun segera menarik tangan Mami sebelum pergi. Gue cium tangan Mami yang bau minyak angin berkali-kali, menatapnya dengan tatapan memohon.

"Jangan dong, Mi ... nanti kalau fasilitas Nadia dicabut, gimana kuliahnya? Kan Nadia masih pen pinter, Mi. Ya ... ya ... ya?"

Mami menghembuskan napas lelah. Mungkin sudah menyerah lihat kelakuan gue yang sedikit absurd ini. entah dulu waktu hamil geu, mami ngidam apa sampai anak perempuann satu-satunya bisa bersikap aneh kek gini.

“Emang Mami mau, anak Mami yang cantiknya kek bidadari ini jadi bodoh gegara putus kuliah? Nggak mau, kan? Ya, kan?” Gue memainkan alis naik turun agar mami tak murka lagi.

"Mami dah ngasih banyak kesempatan, tapi kamu selalu bikin Mami kecewa. Bisa cepat tua kalau Mami selalu ngadepin tingkahmu yang pecicilan itu, Nadia. Pokoknya, mulai besok, kamu nggak boleh keluar. Titik!"

Mami berlalu meninggalkan gue yang cengo macam kesambet nenek gayung di sumur tetangga. Kok, gue jadi bergidik sendiri yak? Tanpa sadar gue celingak-celinguk sambil nahan pipis. Jangan-jangan tuh nenek gayung ada di belakang gue lagi. Hiii, ngeri.

Dengan kecepatan cahaya, gue lari terbirit-birit menuju kamar. Tanpa berganti pakaian, langsung nyungsep di bawah selimut dan berlayar ke lautan mimpi. Melupakan rasa kebelet pipis yang tadi sudah sampai ujung.

***

"Nadia, bangun!" 

Selimut yang menutupi tubuh gue disingkap hingga kaki. Duh ... ulah siapa sih, masih ngantuk juga.

"Nadia, bangun! Jam berapa sekarang?"

"Bentar lagi, Mi. Ngantuk,"  ucap gue masih sambil merem. Kutarik lagi selimut gue, tapi kok alot? Seperti ada yang menarik balik? Terpaksa gue buka mata meski masih iyip-iyip. Ternyata mami belum menyerah. Wajah garangnya langsung terlihat saat pertama gue membuka mata. Untung nggak belekan, ups. Astaghfirullah, nggak boleh ngatain orang tua sendiri, kan?  

"Cepet mandi, dan ganti baju yang sopan. Mami tunggu lima belas menit harus selesai!"

"Ogah!"

Gue merasakan cubitan kecil di lengan ini. Duh, mami mainnya pakai kekerasan, nih. Nggak asik, ah. Dengan malas, akhirnya gue bangun juga. Dari pada kanjeng Mami makin merepet, mending bangun dan ikuti kemauannya. Siapa tahu fasilitas gue bisa balik lagi. Iya, kan?

"Na--"

"Iya--iya, Mi, Nadia bangun, nih."

Akhirnya gue menyerah saudara. Dengan berat hati menuruti titah kanjeng ratu. Daripada nggak dikasih makan, lebih baik sendiko dawuh saja. Siapa tahu nanti dapat jodoh ganteng. Gue terkikik geli mendapati pikiran konyol barusan. 

Gue kan baru 19 tahun lebih, dah mikirin jodoh aja. Amit-amit dah nikah muda. Hilang dong kebebasan gue kalau nikah? Belum lagi harus ngurus bocah, hiii. Gue bergidik ngeri membayangkan hal itu. Seketika dalam otak gue berkelebat bayangan gue dengan keluarga kecil gue sedang jalan-jaan di taman bermain anak-anak.

Seketika gue ketok-ketok kepala ini supaya nggak mikir yang iya-iya. Kayaknya nih otak mulai korslet eh konslet, deh. Gegara mami nih, yang maksa gue bangun pagi-pagi.

Dengan santai gue berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Mami, Papi, Bang Angga dan ... siapa sih, pagi-pagi sudah bertamu? Bodo amat ah, nggak kenal ini. 

Dengan cuek gue duduk disamping Abang gue satu-satunya. Semua mata seperti tertuju ke gue. Tapi gue nggak peduli. Yang penting makan. Urusan perut jauh lebih penting dari apapun saat ini. Setelah beberapa saat focus pada makanan masing-masing, mami membuka suara. 

"Nadia, kenalin ini tante Sindi dan ini anaknya, Alfin." 

Gue tatap sekilas lalu menunduk sambil tersenyum paksa tanda hormat. Setelahnya fokus lagi pada sarapan. Melahap hidangan dengan cepat seperti tak pernah makan seminggu.

"Minggu depan kalian akan menikah."

Makanan yang baru saja gue kunyah menyembur tanpa perintah. Spontan gue tersedak, sehingga membuat gue batuk-batuk. Abang menepuk-nepuk punggung ini, tapi bukannya reda malah makin keselek. Pemuda yang kata Mami akan dijodohkan dengan Nadia yang cantik ini menyodorkan segelas air putih yang langsung gue samber tanpa malu. Baru setelah menyadari siapa yang memberi minum, kedua bola mat ague melotot sempurna.

"Mami bercanda? Nadia masih muda, Mi ... nggak mau nikah dulu pokoknya!"

Sekilas ekor mata ini melirik ekspresi pemuda yang katanya akan dijodohkan sama gue. Datar. Seperti tak memiliki ekspresi sama sekali. Kenapa dia tidak menolak? Karena geram, gue bangkit dan meninggalkan mereka tanpa permisi. Kepala gue tetiba berdenyut memikirkan uacapan Mami. Seorang Nadia menikah di usia belia? Oh, no. Big no!

“Nadia! Dengerin mami dulu! ini semua demi kebaikanmu, Nak,” ucapnya sambil mencekal lengan gue. Terpaksa berhenti dan menatap orang yang gue saying itu meski terkadang menjengkelkan.

“Demi kebaikan Nadia, Mi? Emang Mami tahu kalau dengan menikah secepat ini Nadia bakalan semakin baik?”

“Tentu, dengan menikah, kamu akan belajar bertanggungjawab dan tidak keluyuran lagi.”

“Itu namanya mengekang kebebasan Nadia, Mi. Pokoknya nggak mau, titik!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status