Share

Ijabsah

"Mi, Nadia nggak mau ... tolonglah, Mi, batalin aja ya?” rayu gue sambil memasang wajah seimut mungkin. Akhir-akhir ini gue semakin akrab dengan ekpresi ini. mau gimana lagi? Hanya ini satu-satunya senjata gue untuk meluluhkan hati mami. Tapi sayangnya, gagal lagi.

Hari ini gue terpaksa menuruti keinginan mami  menikah dengan pemuda ganteng itu. Padahal gue masih ingin kuliah dan hidup bebas seperti teman-teman. Tapi semalam mami serangan jantung gegara penolakan keras gue. Entah itu serangan jantung beneran atau acting. Yang jelas melihat  wajah memohon mami, jiwa malaikat gue meronta. Meski sisi iblis dihati gue meminta untuk kabur saja, tapi gue nggak sampai hati menurutinya. Walau  sebadung apa pun gue, tetap takut jadi anak durhaka. 

Sekali lagi gue mencoba peruntungan. Kali aja mami luluh dan membatalkan pernikahan dadakan ini. Apa kata dunia, seorang Nadia Antania yang cantik bak model ini harus nikah muda? Bisa-bisa gelar high cuality jomblo yang gue sandang hancur gegara pernikahan ini. Ah,  kenapa gue harus pulang malam sih waktu itu. 

Andai waktu bisa diputar ulang, gue akan jadi putri tidur yang cantik saat itu. Gegara taruhan konyol gue dengan Jeni Cs, gue harus terjebak dengan drama mami. Huh.

"Mi, kenapa nggak bang Rizal aja sih yang nikah duluan. Dia kan sudah tua, Mi. Ya ... Mi, ya?" Gue bergelayut manja di lengan mami. Berharap wanita yang telah melahirkan gue 19 tahun lalu ini berubah ppikiran. Lagian, mami kenapa sih, memberi hukukannya harus dengan nikah?

"Nadia! Mami nggak mau denger rengekan kamu lagi. Semalam kamu sudah berjanji sama mami akan melakukannya. Ingat?" Mami melepas tangan gue dan berusaha menyeret tangan ini ke tempat acara.

"Ya--ya, tapi kan--?"

"Nggak ada tapi-tapian. Itu penghulu sudah datang, ayo kita keluar." 

Mami menggandeng gue menuju ruang tamu yang sudah disulap menjadi tempat pesta. Melihat sekeliling, sedikit takjub dengan dekorasi ruangan ini. sesaat melupakn niatan untuk kabur. Namun baru selangkah gue menginjak ruang itu, mendadak muncul ide brilian untuk beralasan lagi. Setidaknya jika nggak bisa membatalkan, bisa menunda, kan? Dengan mengulur waktu, gue bisa cari cara untuk kabur dari pernikahan ini. Semoga.

"Eh, Mi. Perut Nadia tiba-tiba mules, nih. Bentar ya, Nadia ke belakang dulu," ucap gue sambil memegang perut. Gue pasang ekspresi kesakitan supaya lebih meyakinkan mami. Segera gue balik badan dan mengangkat kain yang membalut tubuh bawah ini. 

"Eit, kamu pikir mami akan tertipu lagi?" ucapnya dengan seriangai yang menakutkan.

Lengan kiri gue ditarik mami dari belakang membuatku mau tak mau  berbalik arah lagi. Duh, bisa gagal gue kalau begini. Kenapa saat seperti ini tidak ada satu pun yang menolong gue? Ya Tuhan, apa salah hamba di masa lalu?

"Mi, ini beneran loh. Nanti kalau Nadia boker di celana, gimana?" 

"Nggak usah acting. Mami tahu kamu mau kabur, kan? Jangan bikin mami malu Nadia!"

Duh Gusti, ... kenapa susah banget mau kabur dari acara ini? Terpaksa gue ikuti langkah mami. Semakin dekat kaki ini semakin berat. Seperti ada rantai yang membelenggu kakiku. Jantung. Kenapa tiba-tiba berdetak begitu kencang? Gue lagi nggak jatuh cinta, kan? Dengan perasaan campur aduk, gue duduk di dekat pria dewasa yang usianya mungkin sepantaran abang gue. Kutundukkan kepala dalam-dalam supaya tidak dikenali banyak orang. Eh, tapi kan mereka tahu kalau yang nikah gue. Duh, oneng banget sih gue.

Gue terus saja menunduk. Tak mau menatap siapa pun yang ada di sini karena malu. Jelas lah gue malu, tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba nikah di usia belia. Kan bisa buruk citra gue. Gimana coba kalau mereka mengira gue hamil di luar nikah? Membayangkan hal itu membuat gue bergidik ngeri. Kugelengkan kepala berkali-kali.

"Nadia, jangan bikin malu mami," bisik seseorang yang sudah pasti orang yang telah memaksa gue ada di sini saat ini. 

Gue remas-remas tangan ini untuk menghilangkan gugup yang mendominasi. Pikiran gue melalang buana ke masa dimana gue hidup dengan pria di dekatku ini. 

"Sah!"

Gemuruh suara itu membuyarkan lamunan gue. Rasanya ingin menangis tapi malu. Seorang Nadia pantang menangis di depan umum. Tapi hati ini rasanya seperti teriris mengingat status gue yang berubah dalam hitungan detik. 

Sebuah tangan disodorkan ke depan muka gue. Kutatap pemiliknya yang luar biasa gantengnya. Sempat gue melongo melihat wajah tampan itu. Hingga tepukan di pundak menyadarkan gue yang hampir tersesat karena terpesona oleh kegantengannya. Apa? Gue terpesona sama lelaki tua ini? Astaga ... sepertinya mata gue kelilipan maskara, deh. 

Tangan itu masih setia menunggu. Dengan berat hati gue raih dan menempelkannya ke dahi. Hanya beberapa detik. Tapi rasanya seperti kesetrum aliran listrik puluhan mega watt. 

***

"Nadia, ganti bajumu dan kita salat berjamaah."

Etdah, baru beberapa jam jadi suami sudah main perintah aja. Gue lirik sekilas, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Sengaja gue lama-lamain di dalam. Pengen tahu gue seberapa sabar dia ngadepin istrinya yang cantik tapi rada badung ini. Rada loh ya, nggak badung beneran. Masih takut dosa gue. 

Ketukan pintu kamar mandi membuyarkan angan gue yang sedang menyusun banyak rencana. Ya ampun, ... gue nggak bawa baju! Terus gimana keluarnya? Apa gue minta tolong aja ya sama tu laki? Tapi ... ih, ogah. Ntar dikira gue macem-macem pulak. 

Perlahan, gue buka pintu sedikit. Lalu melongokkan kepala ke luar dan mencari keberadaan pria asing yang sayangnya ganteng pakai banget itu. Aha, dia nggak ada. Dengan penuh percaya diri, gue berjalan santai menuju lemari pakaian.

Sambil bersenandung ringan gue berjalan dengan memegang handuk yang melilit. Takut tiba-tiba melorot ‘kan berabe. Gimanapun, gue tetap harus menjaga kesucian dari mata-mata lapar yang sengaja cari kesempatan. Gue cari-cari baju di lemari dekat meja rias. Mata ini menyusuri tumpukan pakaian yang tertata rapi. Dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas untuk mencari yang sesuai. Tangan ini tarik sebuah kimono warna hitam untuk gue pakai malam ini. sengaja memilih yang berlengan panjang supaya tidak menarik perhatian. 

"Sengaja mau menggoda ku, ya?" ucap seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang gue. Bulu kuduk di leher belakng gue meremang. Bukan karena ada hantu yang lewat, melainkan karena mendengar suara pria asing yang sudah sah menjadi imam gue sejak beberapa jam lalu itu.

Tubuh ini pun ikut  membeku. Baju yang sudah di tangan jatuh teronggok mengenaskan di lantai. Detik kemudian detak jantung gue berdegup sepuluh kali lipat. Bagaimana ini? Bukannya tadi dia nggak ada di sini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status