Share

Gara-gara Cicak

           Tubuh gue menggigil tiba-tiba. Dari luar terdengar gedoran pintu. Semakin lama semakin keras. Tapi kaki ini sudah seperti jelly. Jangankan untuk melangkah, berdiri saja rasanya tak mampu. Makhluk kecil menjijikkan itu seolah hendak menerkam gue. Meski sudah sering menyugesti diri bahwa makhluk itu tidak menggigit, tapi tetap saja rasa takut tak bisa hilang saat melihatnya. 

            “Tolong, om … tolongin gue!” teriak gue sekali lagi. Tangan ini mencoba untuk menggapai pintu tapi tak mampu karena gemetar.

            “Nadia, buka pintunya. Nadia!” teriak suami gue dari luar. Kedua mata ini sudah merebak, mengaburkan pandangan yang belum satu jam terbuka karena ketiduran. Makhluk itu seperti menatap tajam ke gue yang ketakutan. Perlahan gue mundur sambil ngesot karena kaki sudah tak mampu lagi berdiri.

            “Nadia, minggir dari depan pintu. Dalam hitungan ketiga, pintu akan saya dobrak! Nadia, kamu dengar saya?”

            “I—iya, Om,” lirih gue. Rasanya sudah tak ada lagi tenaga untuk sekadar berbicara. Makhluk menggelikan itu benar-benar menyedot energi gue hingga ke titik nadir.

            “Satu … dua … tiga!” Pintu terbuka. Om Alfin langsung memeluk tubuh gue yang sudah menggigil hebat. Penampilan gue sudah amburadul, mata sembab, ingus meleleh, dan jangan lupakan kerudung yang sudah tak berbentuk ini.

            “Tenang, Nadia, ada saya di sini. Tenanglah,” ucapnya sambil mendekap erat tubuh gue. Rasa takut yang mendominasi mengalahkan rasa gugup akibat berpelukan dengan pria ini.

            “Om, Nadia takut, tolong buang makhluk menjijikkan itu dari sini,” ucap gue lirih di sela-sela isakan tangis.

            “Makhluk apa yang kamu maksud, Nadia, di sini nggak ada apa-apa kecuali cicak itu.”

            “Ya itu, Om. Tolong buang jauh-jauh dari sini, Nadia nggak mau melihatnya. Nadia takut sama Cicak,” ucap gue sambil membenamkan kepala di dalam dekapannya. Kaos polos lelaki ini sudah basah terkena air mata dan ingus ini. Tiba-tiba tubuh gue melayang di udara. Om Alfin mengangkat tubuh ini ala bridal. Lalu didudukkan di sebuah sofa yang ada di kamar ini. Setelahnya ia melangkah menuju meja dan mengambil air putih untuk gue.

            “Sudah nggak ada cicaknya. Sudah saya bunuh. Jadi mandi?” ucapnya mengagetkan.

            “Beneran nggak ada lagi? Ntar kalau datang lagi gimana?” lirih gue. Sumpah ini bukan gaya gue banget.  Gue yang urakan, pecicilan, dan tak takut apa pun, jatuh harga diri ini hanya gara-gara seekor cicak. Ya ampun, malu banget. Pasti setelah ini pria itu menertawai gue, deh.

            “Iya, sudah nggak ada. Jadi mandi nggak?”

            “Jadi, tapi gue takut, Om. Kalau tiba-tiba temennya datang dan gigit gue gimana? Serem om,” tanpa sadar, tubuh ini sudah bergidik ngeri. Baru membayangkan saja, bulu kuduk gue sudah meremang.

            “Mau saya temenin?”

            “Ya, temenin ya?” namun seketika tangan ini reflek menutuup mulut. Pria bertubuh atletis itu tersenyum penuh makna. Tatapannya seperti menyiratkan sesuatu yang entah, gue tak bisa memaknainya. Perlahan dia mendekat, tangannya terulur hendak menarik tangan ini. Namun alarm bahaya di otak gue langsung bekerja. Seketika mundur dan mendekapkan tangan ke dada.

            “Mau apa, Om? Jangan macam-macam, ya!”

            “Loh, katanya minta ditemenin mandi, ayok,” ucapnya enteng seolah itu bukan hal yang memalukan. Gila, dia mau ambil kesempatan dalam kesempitan gitu? Gue masih normal, woy. Nggak mau kehilangan mahkota berharga yang gue jaga dari orok hingga seusia ini. Meski gue suka nongkrong bareng teman-teman dan terkadang melakukan hal-hal absurd, tetap saja gue berusaha perjuangin hal paling berharga dalam diri gue hingga titik darah penghabisan.

            Spontan gue melompat dari sofa, memasang kuda-kuda seperti hendak berduel. Namun tampaknya pria itu tak gentar, dengan tampang innocent, tetap melangkah membunuh jarak di antara kami. Perlahan gue mundur, hingga punggung ini membentur tembok.

            “Stop! Jangan mendekat! Om mau apa, sih?”

            “Mau nemenin, istri mandi,” ucapnya dengan ekspresi pura-pura bingung.

            “Nggak mau. Stop, gue bilang. Jangan mendekat, kita bukan muhrim, Om … dosa tahu!” teriak gue kelabakan. Namun pria itu justru tertawa melihat tingkah konyol gue. Apanya yang salah coba?

            “Kamu lupa, Nadia? Kita sudah jadi muhrim. Sudah halal melakukan apa pun yang tadinya haram.”   

            “Hah,” iya juga ya? Kok gue nggak kepikiran sampai sana? Efek menikah karena terpaksa jadi lupa kalau status gue sekarang adalah istri. Tapi kan, gue masih mau bebas dulu. Ah, … gara- gara mami, nih. Hidup gue jadi tak bebas lagi.

            Akhirnya gue mandi di kamar mandi yang lain karena kamar mandi di kamar ini pintunya rusak habis di dobrak si empunya. Dua puluh menit kemudian, kami makan bersama di ruang makan yang bersebelahan dengan dapur. Kami makan dalam diam. Om Alfin sudah kembali ke mode awal. Datar kek papan cucian. Tapi tetap ganteng, eh.

             Heran gue, kenapa orang ini berubah-ubah macam bunglon. Seperti saat ini, setelah makan ia melenggang tanpa mengatakan sesuatu. Gue yang tak tahu seluk beluk rumah ini memilih untuk menyusuri seluruh ruangan. Hingga ke belakang rumah, gue menemukan sebuah gazebo yang berada di tengah taman. Di sekitarnya terdapat kolam ikan dan air mancur. Bunga-bunga yang terawatt indah menjadikan suasana gazebo terasa menenangkan. Ini akan menjadi tempat favorit gue nanti.

            Tapi, kalau dipikir-pikir, rumah ini terlalu besar untuk ditinggali berdua saja. Apa om Alfin nggak punya pembantu atau tukang kebon? Lalu yang merawat taman ini siapa? Masa iya om Alfin sendiri. Ah, bodo amat. Dari pada mikirin yang nggak-nggak, mending gue rebahan aja. Rasanya sangat lelah melewati dua hari ini. pernikahan tiba-tiba, perjodohan yang gue nggak tahu apa-apa, sampai fakta bahwa gue sudah menyandang status istri sekarang.

            Pikiran ini melayang, membayangkan hari-hari ke depan yang tak sama lagi. Haruskah gue terima saja kenyataan ini? 

***

            Hari pertama di rumah ini, bingung mau ngelakuin apa. Om Alfin sudah rapi seperti hendak beepergian. Sikapnya berbeda dengan kemari. Terasa begitu dingin. Tak ada obrolan di antara kami, membuat gue segan mengawali pembicaraan. Di sini kami sarapan dalam diam. Ya, tadi pagi dia yang menyiapkan sarapan ini. roti bakar isi selai. Makanan kesukaan gue. 

            “Saya mau kerja, nanti jam istirahat pulang untuk makan siang. Tolong masak untuk makan siang. Ini uang belanja satu bulan. Untuk masak dua hari ke depan masih ada bahannya di kulkas. Lusakita belanja kebutuhan bulanan. Sementara olah saja yang ada,” ucapnya sambil menyodorkan beberapa lembang uang merah. Bukan ATM seperti di novel-novel. Gue hanya bisa membisu menatap uang itu.

            Pria itu melanggang meninggalkan gue yang termenung sendiri. Namun baru beberapa langkah, ia kembali dan menyodorkan tangannya. Gue tahu maksudnya, dengan enggan gue cium tangan itu. Namun tanpa permisi, pria itu mencium kening gue. Mata ini membelalak tak percaya. Dada gue berdetak lebih cepat dari biasanya. Menimbulkan rasa tak nyaman dan gelisah. Apa itu tadi? Dia nyium gue? Ciuman pertama gue dicuri tanpa permisi. Ya … meski Cuma di kening, tapi ini pelecehan. Awas saja nanti om, kalau pulang.

            Setelah menetralkan jantung yang kembali berulah, gue berjalan menuju dapur. Membuka kulkas yang isinya membuat mata melongo. Apa-apan ini? jadi gue disuruh masak beginian?  

Cahaya Asa

Hai, Kak. Bantu love dan kasih support tulisan ini ya. ditunggu bintang limanya juga....

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status