Setelah semua orang mendengar Amber dan Ian berencana pergi ke Danau Willoughby untuk berbulan madu. Billy mulai membujuk Silvia. "Sayang, bisakah kita pergi juga?"Namun, sayangnya Silvia menamparnya dengan keras melalui tanggapannya. "Mereka pergi ke sana untuk berbulan madu! Apa gunanya kita pergi?!""Latihan bulan madu sebelum bulan madu yang sebenarnya?""Ke puncak gunung?" kata Silvia dengan terkejut. Kemudian dengan serius memperingatkan Billy, "Dengar baik-baik ya karena aku hanya akan memberitahumu sekali ini saja. Aku hanya ingin bersantai dan dimanjakan. Jika kamu berani membawaku ke tempat seperti itu untuk bulan madu kita, maka aku akan menghajarmu tanpa alasan!"Sebenarnya Billy ingin terus berdebat dengan Silvia, tetapi ketika dia memeriksa seberapa jauh Danau Willoughby, dia merasa kalau tinggal di rumah bukanlah ide yang buruk."Ada beberapa hal menyenangkan yang bisa dilakukan di sekitar sini juga. Kita bisa tinggal di sini selama sebulan penuh!"Seketika Trysta memi
"Istrimu benar-benar jatuh cinta kepadamu."Ian berbalik dan melihat bahwa meskipun pria itu berpakaian sangat bagus, dia dikelilingi oleh suasana yang suram. Ada beberapa botol kaca yang bertumpuk di tangannya.Ian dengan dingin bertanya, "Kenapa kamu berkata seperti itu?""Karena dia sangat mengkhawatirkanmu," kata pria asing itu sembari tersenyum kecut, lalu dia menunjuk ke arah Amber. "Dia sudah memanggang makanan selama beberapa menit terakhir, tapi dia pasti sudah melihat ke arahmu setidaknya lima puluh kali sekarang."Setelah pria asing itu mengatakan hal itu, dia berdiri dengan gemetar. "Tidak ada rahasia di mata seorang kekasih, tapi sayang sekali aku terlambat memahaminya. Sejujurnya, kemana pun aku pergi, aku melihat pasangan bahagia ada dimana-mana."Kemudian pria asing itu berjalan pergi dan terus bergumam kepada dirinya sendiri. ***Ian memandang ke arah Amber dan pada saat yang sama, Amber pun mengangkat kepalanya dan menatapnya juga, matanya yang cerah dipenuhi dengan
“Di mana aku?” gumam Amber.Ketika dia terbangun, Amber mendapati dirinya terbaring di tempat yang asing dengan seorang pria asing tidur di sisinya.Pria itu tidur dengan posisi membelakangi Amber. Dari sudut pandangnya yang bisa dia lihat hanyalah rambut pendeknya yang dipotong halus dan punggungnya yang ramping."Pria ini telanjang?!" sentak Amber dalam hati ketika dia telah sadar sepenuhnya.Ya, setidaknya itu yang dilihat Amber begitu membuka matanya. Dia melihat punggung polos pria itu. Sedangkan untuk tubuh bagian bawahnya, Amber tidak ingin membayangkan.Amber menatap dirinya sendiri. Sangat bagus, dia juga hampir telanjang. Tank top tipis di bagian atas tubuhnya dan panties menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia bisa melihat sisa pakaiannya terlempar sembarangan di kamar. Jeans yang dia kenakan kemarin tergeletak sembarangan di atas karpet di dekat jendela, seolah-olah menggambarkan kekasaran atau lebih tepatnya lepasnya keinginan yang telah lama terpendam dari orang yang menah
Setelah meninggalkan ruangan, Amber menghela napas dalam-dalam yang telah ditahannya beberapa saat tadi.Dia berjalan dengan tenang keluar dari hotel dan setelah keluar, dia menemukan sudut terpencil di mana dia bisa membenturkan kepalanya ke dinding secara pribadi."Mengapa toleransi alkoholnya sangat buruk?!" Amber merutuki kebodohannya."Dan apa yang coba dilakukan pria itu? Berpura-pura bahwa mereka melakukan one night stand setelah dia mabuk?"Amber jelas tidak bisa menerima alur cerita klise yang terdengar seperti keluar langsung dari novel vulgar!Setelah menghabiskan beberapa saat untuk menenangkan kondisi mentalnya, Amber akhirnya cukup tenang untuk mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Dia melihat mendapat beberapa panggilan tidak terjawab. Beberapa dari orangtuanya, beberapa dari kakak laki-lakinya, dan beberapa dari gurunya—nyonya Nancy.Amber menelepon mereka masing-masing secara bergiliran untuk meyakinkan anggota keluarganya bahwa dia baik-baik saja sebelum akhirnya
_SEHARI SEBELUMNYA_“Setiap pasien yang menderita trauma mental adalah seseorang yang layak untuk didengarkan. Tujuan utama dari perawatan psikiatri bukanlah untuk memberikan pasien keadaan kebahagiaan yang tidak dapat dicapai, melainkan untuk membantu mereka membangun kesabaran dan tekad mereka sendiri untuk menghadapi perjuangan mereka sendiri.”“Profesor, apakah itu berarti anda percaya bahwa penyakit mental tidak dapat diobati?”“Tidak, justru sebaliknya. Penyakit mental dapat diobati selama kita memberi pasien tersebut kesabaran dan tekad yang cukup.”“Lalu, profesor, bagaimana jika pasienmu akhirnya jatuh cinta kepadamu karena itu?” Amber mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada mahasiswi yang mengajukan pertanyaan itu. Seorang gadis muda cantik yang dengan segera bersembunyi di belakang temannya setelah memperhatikan tatapan Amber. Amber Camille adalah seorang psikiater. Selain itu dia juga seorang dosen di fakultas kedokteran sebuah universitas. Karena usia, kecerdasan dan
Tiga puluh menit kemudian ketiganya telah sampai di sebuah restoran. Dari awal pemesanan makanan hingga makanan pertama datang dan disajikan, kakek dan nenek Ian tidak pernah muncul jadi hanya mereka bertiga di meja makan. Amber dan Nancy terus berbincang di sela-sela makan sedangkan Ian hanya diam sambil menikmati makanannya. Namun, saat pelayan menyajikan piring buah terakhir, dia mengatakan sesuatu yang membuat semua orang terkejut. "Singkirkan!" Pelayan itu tercengang. Amber dan Nancy langsung menghentikan perbincangan mereka dan mengalihkan pandangannya. Ian menunjuk ke piring dengan sedikit tidak sabar. "Apa yang kamu pikirkan? Bagaimana bisa memberikan sajian buah yang sungguh jelek?" Sang pelayan, Amber dan Nancy, ketiganya secara bersamaan langsung melihat ke piring. Sejujurnya, piring buah dihias sangat indah dengan hati-hati dan presisi. Piring itu terdiri dari setengah buah melon yang diukir dalam bentuk bunga yang kemudian diisi dengan berbagai buah-buahan yang bera
"Lalu ... maukah kamu tidur dengan salah satu pasienmu?" "Apa?" Amber tidak mengerti. Nada bicara Ian sama hangatnya seperti sedang mendiskusikan cuaca. "Bagaimana jika kamu secara tidak sengaja tidur dengan pasienmu?" Amber tertawa. "Itu tidak mungkin." "Tapi bagaimana jika itu terjadi?" Ian bersikeras terhadap hal itu dan menatapnya dengan seksama. "Apakah kamu akan terus merawatnya?" Amber tidak dapat mengikuti logikanya dan masih bingung bagaimana topik pembicaraan tiba-tiba berubah dari seorang pasien yang menderita sindrom Cotard menjadi seorang pasien yang tidur dengan dokter mereka, tapi dia bisa melihat jawaban seperti apa yang diinginkan oleh Ian jadi dia menjawab, "Tidak." Ian akhirnya tertawa ringan. Ini adalah pertama kalinya Amber melihatnya tertawa. Bibirnya sedikit melengkung ke atas dan matanya tanpa rasa hangat, tetapi penampilannya memiliki kesejukan yang tak terduga. Setelah itu, Amber melanjutkan makan malam yang sempat tertunda dengan sabar. Perilaku Ian
Keluarga Axton tidak memiliki riwayat penyakit mental dan alasan kapan Ian terserang penyakit masih tidak jelas. Menurut keluarganya, Ian telah tertutup sejak muda, tetapi tidak menunjukkan gejala yang tidak biasa selain sedikit acuh tak acuh terhadap orang lain.Bahkan ketika Nancy bertemu dengannya untuk pertama kali, dia tidak berpikir bahwa Ian menderita keterpisahan emosional (detasemen emosional), hanya mengira wataknya yang luar biasa tenang.Amber bisa merasakan pikiran 'salah diagnosis' gurunya. Banyak orang di dunia modern menderita detasemen emosional, hanya dalam kapasitas yang berbeda-beda. Dari perilaku Ian saja sebenarnya Amber bisa menduga kalau gurunya itu sebenarnya sudah tahu kalau Ian menderita penyakit seperti itu dan itu juga alasan sebenarnya mengapa Nancy memperkenalkan kepadanya. "Apakah dia berpura-pura memperlakukan perkenalan mereka sebagai kencan buta dan kemudian membawanya ke La Marquesina untuk mempermalukannya dan memaksanya mundur secara sukarela?"