Share

Bab 3. AMBER - ORANG JELEK

_SEHARI SEBELUMNYA_

“Setiap pasien yang menderita trauma mental adalah seseorang yang layak untuk didengarkan. Tujuan utama dari perawatan psikiatri bukanlah untuk memberikan pasien keadaan kebahagiaan yang tidak dapat dicapai, melainkan untuk membantu mereka membangun kesabaran dan tekad mereka sendiri untuk menghadapi perjuangan mereka sendiri.”

“Profesor, apakah itu berarti anda percaya bahwa penyakit mental tidak dapat diobati?”

“Tidak, justru sebaliknya. Penyakit mental dapat diobati selama kita memberi pasien tersebut kesabaran dan tekad yang cukup.”

“Lalu, profesor, bagaimana jika pasienmu akhirnya jatuh cinta kepadamu karena itu?”

Amber mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada mahasiswi yang mengajukan pertanyaan itu. Seorang gadis muda cantik yang dengan segera bersembunyi di belakang temannya setelah memperhatikan tatapan Amber.

Amber Camille adalah seorang psikiater. Selain itu dia juga seorang dosen di fakultas kedokteran sebuah universitas. Karena usia, kecerdasan dan penampilannya, dia sangat populer di antara semua siswa dan kuliahnya yang berjadwal setiap hari kamis hampir selalu terisi penuh. Tentu saja, ini berarti dia juga menerima segala macam pertanyaan aneh di akhir setiap kuliah.

Ini bukan pertama kalinya Amber diberi pertanyaan seperti itu jadi dia bisa menjawabnya dengan mudah. Sambil tersenyum dia membalas, “Saya pikir saya akan sangat bahagia karena itu berarti bahwa pikiran pasien berada di bawah kesalahpahaman yang luar biasa.”

Mahasiswa lain menindaklanjuti dengan mengajukan pertanyaan lain. “Profesor, apakah menurut anda cinta adalah kesalahpahaman?”

“Daripada itu, saya akan menyebutnya lebih dari ilusi sementara.”

“Apakah anda memiliki ilusi seperti itu, Profesor?”

“Tidak karena aku sudah tua.”

“Huu ....” Seketika suasana kelas menjadi riuh. Seluruh siswa dalam kelasnya dengan bercanda mencemooh komentarnya.

“Berpura-pura tua itu memalukan!” Seorang mahasiswa dengan berani mengatainya bahkan tidak segan bercanda dan bertanya, “Profesor, saya tidak keberatan anda sudah tua jadi bisakah saya berkencan dengan anda?”

Amber tersenyum saat dia dengan gesit membalas, “Kencan di lab sebagai subjek ujianku?”

Mahasiswa yang baru saja bertanya padanya tentang kencan dengan cepat menarik kembali ucapannya dengan ekspresi serius di wajahnya. “Cinta antara mahasiswa dan dosen tidak diperbolehkan, jadi Profesor ... saya akan melakukan yang terbaik untuk menahan diri.”

Balasan mahasiswa itu sontak membuat semua orang di kelas tertawa, termasuk Amber.

“Betapa menyesalnya dia,” celetuk salah satu siswa dalam kelas.

Kelas sekali lagi dipenuhi dengan tawa.

Bel berbunyi tidak lama kemudian, menandakan bahwa kelas telah berakhir. Para siswa pun terlihat mulai keluar ruangan. Sambil berpamitan kepada murid-muridnya, Amber mengemasi buku dan bahan ajarnya.

Namun, saat dia hendak pergi, dia melihat seorang mahasiswa yang sedang menyandarkan kepalanya di meja. Dia ... tertidur lelap.

Amber berjalan mendekat ke arahnya. Dia menggoyang-goyangkan tubuh mahasiswa tersebut hingga sang mahasiswa itu perlahan membuka matanya, lalu menguceknya kemudian menatapnya.

“Apakah kamu ingin permen?” tanya Amber sambil mengulurkan tangannya ketika sang mahasiswa itu sudah bangun. Sebuah permen yang berwarna-warni diletakkan di telapak tangannya.

Namun, mahasiswa tersebut belum juga menerimanya. “Aku minta maaf karena kelasku membuatmu merasa sangat bosan.”

Mahasiswa itu memandangnya dengan linglung, ternyata dia masih dalam kondisi setengah sadar. Amber tersenyum, meninggalkan permen itu di mejanya, lalu melangkah keluar kelas.

Saat berjalan terdengar ponselnya berdering, dia mengeluarkan ponselnya kemudian menerima panggilan telepon. “Amber, di mana kamu?”

Telepon itu dari profesor Amber sendiri, Nyonya Nancy. Dia adalah penasihat doktoral Amber dan otoritas nasional di bidang psikiatri. Setelah pensiun, dia merasa gelisah karena tidak melakukan apa-apa sehingga memutuskan untuk membuka kantor dan labnya sendiri.

“Aku baru saja selesai mengajar,” jawab Amber.

“Bagus. Datanglah ke kantorku sekarang,” pinta Nancy.

“Baiklah, aku segera datang,” balas Amber.

Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya itu, dia mengakhiri sambungan teleponnya kemudian melanjutkan langkahnya yang tadi hendak menuju ruangannya.

Begitu sampai di ruangannya, Amber meninggalkan barang-barangnya di tempat dan segera menuju kantor Nancy yang lokasinya berada di sebelah rumahnya di mana lingkungan sekitarnya bisa dikatakan sebagai definisi keindahan alam.

Di dekat kantor Nancy ada sebuah danau dan di tepi danau ada sekawanan merpati. Lingkungan sekitar dipenuhi dengan semak dan bunga yang semarak dan yang lebih luar biasa lagi, airnya sangat jernih. Itu benar-benar tempat yang santai.

Satu-satunya yang jadi masalah adalah lokasi rumah dan kantor Nancy itu agak jauh dari kota dan jam sibuk sore hari hanya memperburuk perjalanan panjang.

Pada saat Amber tiba, hari sudah cukup larut sehingga senja awal musim dingin hanya terhalang oleh lampu-lampu di sekitarnya.

Dia mendorong pintu terbuka dan masuk, membawa gumpalan dingin musim dingin bersamanya. Rambut Nancy diwarnai warna abu-abu dan kacamata berbingkai emasnya memberinya kesan ilmiah klasik. Dia sedang duduk di sofa di depan mejanya, dia sedang terlihat berbicara dengan seorang pria muda yang duduk di sampingnya.

Setelah mendengar Amber masuk, kedua orang itu melihat ke arah Amber. Nancy tersenyum kepadanya. “Kamu sudah di sini? Di luar dingin, bukan?”

Amber menjawab dengan riang, “Tidak apa-apa ... hanya sedikit berangin.”

Keduanya berbasa-basi sebentar hingga Nancy memberi isyarat agar Amber duduk di sisinya.

Nancy menunjuk pria muda itu dan memperkenalkan keduanya, berkata, “Ini adalah CEO Axton Group, Ian Axton.”

Kemudian beralih kepada Ian Axton dan dia berkata, “Ini adalah Dr. Amber yang muda, cantik, dan kreatif yang sebelumnya telah banyak saya ceritakan kepada anda.”

Amber tahu tentang Axton Group, perusahaan produsen obat terbesar yang banyak mendukung proyek Nyonya Nancy.

Namun, dia hanya tidak menyangka CEO mereka begitu muda. Dia pria yang relatif tampan dan mungkin belum genap tiga puluh tahun.

Kesan pertama Amber tentang Ian bukan hanya karena dia muda dan tampan, tetapi juga terlihat dingin dan misterius. Ketika tatapan mereka bertemu, seolah-olah dia hanyalah setitik debu di matanya.

Setelah melihat semua jenis pasien, Amber sangat pengertian terhadap orang-orang dengan perilaku yang sedikit tidak biasa dan tidak terlalu mempermasalahkan sikapnya.

Karena gurunya telah memperkenalkannya mau tidak mau Amber harus tersenyum dan menyapa dengan ramah. “Senang bertemu denganmu.”

Namun, Ian tidak langsung membalas. Dia terus menatapnya dengan intens kemudian dahinya perlahan berkerut. “Kamu hanya punya satu lesung pipi?”

Amber pun sedikit mengerutkan alisnya, sedikit bingung dan secara otomatis menjawab, “Ya.”

“Betapa jeleknya!”

Penilaian Ian yang tak terduga itu membuat Amber jadi terdiam sedangkan Nancy menatap kosong sejenak sebelum tertawa terbahak-bahak.

“Para siswa kamu mungkin akan menangis jika mereka mendengar seseorang telah menilai profesor mereka yang terkenal karena kecantikannya sebagai orang yang jelek, haha.”

Nancy tertawa sangat bahagia sehingga Amber merasa sedikit jengkel dan dia berkata kepada Ian, “Maaf karena membuatmu jijik dengan keburukanku. Apakah anda ingin saya menutupi salah satu sisi wajah saya?”

Perkataan Amber itu sontak memicu tawa lain dari Nancy.

Namun, Ian sepertinya tidak bisa merasakan humor dalam nada suara Amber. Dia dengan tanpa ekspresi menatap jam tangannya, lalu berkata, “Ayo pergi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status