"Hah?" Keinara memekik tak percaya. Sungguh seperti bertemu musibah di hari bahagia, sekujur tubuhnya membeku dan ia seakan terpatri bersimpuh. Apa yang ia firasatkan itu benar-benar nyata, Kiyo pasti akan memgincar keluarga Vanya. "Beneran, Van?" Gadis kecil ini mengangguk mantap, ada sebuah ketakutan dari wajahnya yang lugu. Lirikan mata mungil itu seakan menunjuk ke arah tangga seperti memberi tahu bahwa di rumah ini bukan hanya mereka bertiga saja. Tepat saat itu juga angin dingin terasa di kedua bahunya. Dari ujung matanya nampak sosok berwajah hancur berdiri di sampingnya. Keinara tahu bahwa Kiyo ada di dekatnya, tapi kali ini wujud tubuhnya sungguh berbeda. Bersamaan dengan itu, bayi yang digendongnya menangis sangat kencang.Vanya bangkit lalu menarik tangan Keinara menjauh dari sosok itu, mengajaknya ke tempat yang lebih terang. Jendela di dapur itu tampak terbuka, membawa cahaya mentari yang masuk menembus kaca-kaca bening. Di sini, Keinara mulai mengatur napasnya."Van,
Pintu itu dibukanya perlahan, decitannya membuat bulu roma berdiri. Tampak lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan sedikit gelap, menyisakan lampu yang menerangi koridor. Keinara merasa ragu, matanya menatapi suasana yang senada dengan rumah Lian. Langkahnya perlahan keluar sembari menimang-nimang bayinya. "Anakku, tenang ya, Sayang. Ibu ada di sini," bisiknya. Kakinya terus melangkah menembus remang cahaya, tapi sejauh apapun itu bayinya tetap menangis dan semakin kencang tangisannya. Keinara hanya mampu menenangkan putrinya, tapi tak bisa menenangkan hatinya yang dilanda ketakutan. Sampai ia melangkah melewati kamar mayat, terdengar suara troli ranjang yang berisi seperti ditabrak ke dinding ruangan. Lampu yang menyorot koridor berkedip, tapi tangis bayinya perlahan mereda. Lirikan matanya yang kecil melirik ke arah pintu kamar mayat, seakan penasaran ada apa di sana. Mata Keinara mulai menatap ke pintu itu, suara bising troli ranjang itu masih terdengar. Namun ia yakin pintu i
***Terminal begitu ramai, tapi tak membuat Yura dan Keinara kehabisan tiket. Mereka segera menaiki bus lalu duduk tepat di kursi sesuai dengan tiket. Sambil menggendong bayinya, gadis pengasuh itu memandang ke jendela bus seraya memikirkan bisikan Kiyo yang tampak lembut di telinganya. Keinara sudah ingat tentang semuanya dan ia juga ingat akan rasa cintanya pada Kiyo semasa pemuda itu hidup dahulu. Traumanya perlahan menghilang, tapi ia tidak bisa menerima jika Kiyo akan melakukan hal sejauh ini pada orang lain. "Keinara, maafkan saya." Yura dengan sesal mengatakan permohonan maaf terhadap semua yang terjadi. "Tidak, Bu. Anda tidak sama sekali salah."Wanita muda itu memandang ke arah Vanya yang terlelap dalam tidurnya. "Sayang ya dia harus berpisah dengan sahabatnya dan kamu pasti sudah mencintai makhluk itu, bukan?"Perempuan berwajah manis ini hanya terdiam saat Yura mengetahui bahwa Kiyo dan dia pernah saling mencintai. Ditatapnya bayi mungil yang terlelap dalam dekapannya,
***Kepulan asap kemenyan membawa aroma menyengat di ruang tamu, beberapa lilin dipasang melingkari kemenyan itu. Dua orang pria tengah melakukan ritual pemanggilan arwah demi urusan yang tak jelas. Zein memulai ritual itu, sedang Lian duduk terdiam sembari mengikuti instruksi darinya. Mereka melakukannya untuk mencari jawaban. Saat ritual ini berlangsung, peristiwa yang janggal terjadi. Angin kencang berhembus, jendela terbuka dan menutup dengan sendirinya. Semua benda yang ada di sana bergetar dan berjatuhan. Lian amat ketakutan, berpikir bahwa makhluk ini begitu kuat. "A-apa-apaan ini?" "Dendam telah membuat energi negatif di sekitar begitu kuat." "Apakah dia itu Kiyo?" Tepat saat ayah dari Vanya itu menanyakan tentang Kiyo, sebuah getaran begitu kuat datang membuat barang di sekitarnya porak-poranda. Cahaya merah menyala terpancar dari ruangan kosong dan dengan seketika pintu terbuka, menunjukkan sosok yang amat menyeramkan. Zein dan Lian memandang serentak ke arah makhluk
***Mata Lian mengerjap saat matahari pagi menyinari wajahnya. Perlahan netranya membuka, sesekali menyipit hingga ia tersadar bahwa raganya tak lagi berada di dalam rumahnya. Ia seperti terlempar jauh ke perkebunan pisang milik warga. Kepalanya amat pusing, ia tak dapat berpikir lagi tentang semua hal semalam sehingga dirinya berada di tempat tak terduga. "ZEEEEIIIN!" serunya memanggil sang rekan. "LIAN!" Terdengar suara dari arah lain memanggil namanya. Bergegas Lian menghampiri sumber suara itu. Dari kejauhan, seseorang melambai padanya dan itu adalah Zein. Ia berlari menghampiri sahabatnya dengan penuh perasaan panik. "Zein! Kau tak apa?" tanyanya menghampiri tubuh yang lunglai. "Makhluk itu sangat kuat, kita harus menghentikannya.""Jangan hentikan dia!" Seorang kakek berbaju serba hitam kini muncul di hadapan mereka. Mata sang kakek tampak memutih menatap ke arah dua pria itu, lalu mengajak untuk ikut bersamanya. Zein memandang aneh kepada sang kakek, ia lalu bangkit. "S
"M-maksud Kakek apa?" tanya Lian yang tampak kebingungan.Ki Jatmika terdiam sejenak sembari menyalakan kemenyan dan asapnya mengepul mengenai wajahnya. Lian dan Zein hanya bisa menunggu apapun itu yang dikatakan olehnya. "Manusia memang mudah terhasut, bahkan tak pernah menggali apa yang sebenarnya terjadi.""Kami butuh jawaban yang sebenarnya terjadi pada kami," sahut Zein. Kakek itu hanya tertawa mendengar jawaban dari Zein, tangannya menabur pasir di atas kemenyan yang masih terbakar. Sesekali meniupnya dengan keras sampai asap-asap itu mengepul dengan cepat melayang terbang ke angkasa. "Dia akan terkena teror ini.""Dia?" pekik Lian dan Zein bersamaan. ***Freddy terduduk bersantai di tepi kolam renangnya sambil meneguk sebotol alkohol. Sesekali tertawa memikirkan bagaimana kebodohan Lian yang sudah menerima rumah itu. "Hampir saja dia curiga tentang rumah itu. Aku berharap dia tak mencariku lagi untuk menanyakan tentang rumah itu. Lagipula rumah itu adalah hasil curian, 'ka
"Kei, sepertinya kita harus kembali ke rumah itu untuk sementara." Keputusan sang majikan tentu membuat Keinara ingin berkata untuk menolaknya, ada alasan lain yang membuat gadis pengasuh itu merasakan sebuah ketakutan di sana, terutama kepada Kiyo yang mengusiknya dengan masa lalu. Namun saat Yura berkata bahwa Lian sedang membutuhkan mereka kini, tak ada pilihan lain selain menuruti kemauan sang ibu muda. Keinara perlu waktu untuk mengemasi sedikit barang yang harus ia bawa. Perasaan gelisahnya akan kembali ke rumah itu hampir mempengaruhi dirinya. Kepalanya kini kembali memikirkan sosok Kiyo, entah apa yang akan dilakukan makhluk itu. Meski ia sudah cukup tenang, tapi sosok Kiyo terus datang dalam mimpinya. Ia terduduk dengan lamunan malam ini bersama kegelisahan yang membuat hatinya gundah. Sedikit ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar sampai matanya perlahan memejam. Tersadar dari tidur singkatnya, membuka lebar mata yang tertidur dan sekejap su
Keinara terbangun dari mimpi anehnya, tampak Vanya dan Yura mengelilingi tubuhnya. Terlihat dari jendela, hari sudah mulai gelap dan teringat bahwa mereka akan kembali ke rumah itu sekarang. "Kamu baik-baik aja kan, Kei?" Pertanyaan Yura menggambarkan betapa ragunya ia kembali ke rumah itu."Saya baik-baik aja, Bu." Gadis itu turun dari ranjang, berdiri dengan sempoyongan dan hampir jatuh. Serasa ruangan kamar bergoyang padahal hanya terdiam. Vanya menggandeng tanganya dan kembali menanyakan hal yang sama seperti ibunya. "Kak Kei yakin mau ke rumah itu?" Mendengar pertanyaan itu, seketika Keinara terdiam, teringat akan perkataan Kiyo di alam bawah sadarnya. "Bu, antarkan saya ke rumah Tuan Freddy.""Ha?" pekik Yura saat mendengar permintaan Keinara yang tiba-tiba. Ia justru bingung bagaimana gadis itu mengenal nama Freddy, tapi Yura dapat melihat sorot mata serius Keinara. ***Seorang pria kaya itu hanya terduduk di ranjang dengan selimutnya, tampak barang-barang di kamar berce