Share

D6

“Putik masih menolak?” tanya Irwan yang diangguki Leo “Kamu kemarin kemana?”

“Maksudnya?” tanya Leo menatap Irwan bingung.

“Aku lihat kamu sama dua cewek.” Irwan menjawab dengan memberikan tatapan penuh selidik.

“Aku ketemu salah satu dari mereka dua hari lalu, dijual sama agencynya untuk melayani pria.” Leo menjawab dengan menatap lurus seakan mencoba mengingat apa yang terjadi, termasuk didalamnya perkataan Fransiska.

“Kamu bertemu mereka lagi? Itu artinya mereka yang mau bukan karena paksaan.” Leo menatap Irwan yang seketika langsung mengangguk. “Bukannya agency Azka sempat ngalamin hal itu?”

Leo terdiam mencoba mengingat permasalahan agency yang Azka bangun, bukan Azka bangun tapi didapat dari papinya, Wijaya. Banyak masalah yang timbul, mulai dari bisa dibayar saat masuk dalam agency sampai menjual artis mereka pada pria-pria berduit. Itu semua untuk mengembalikan uang yang mereka berikan, tapi sekarang agency itu sudah bersih karena langsung diambil alih pusat.

“Rencana kamu sama Putik?” tanya Irwan membuyarkan lamunannya “Lagian mana ada wanita yang langsung mengajak menikah di pertemuan kedua.” 

Leo memutar bola matanya malas “Nggak ngaca dengan rencana mau melamar langsung wanita yang kamu cintai, lagian aku melakukan ini terinspirasi sama kamu.”

“GILA! Aku mau lanjut kerja daripada disini dengerin orang nggak waras.”

Leo menatap Irwan dengan menggelengkan kepalanya, hubungannya dengan Dona memang rumit. Rasa cinta Irwan pada wanita itu memang patut diacungi jempol, Leo terkadang iri melihat Irwan yang bisa mempertahankan cintanya. Hembusan nafas panjang terdengar, lantas perlakuannya pada Putik apakah mencintainya atau hanya penasaran.

Tindakan Leo memang terlalu cepat, tidak salah jika Putik langsung menolaknya. Perbedaan mereka sangat besar, meskipun kedua orang tuanya setuju tetap embuat mereka mendengarkan perkataan negatif. Status janda memang masih tabu di kalangan masyarakat dan selalu dipandang sebelah mata, dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain, padahal tidak semua seperti itu dan tergantung orangnya. Leo sangat yakin jika Putik tidak seperti apa yang ada dalam pikirannya, sekali lagi menghembuskan nafas panjang.

Menatap berkas yang ada dihadapannya, membuat Leo tidak memiliki keinginan menyelesaikan pekerjaannya. Hembusan nafas panjang terdengar, artinya Leo benar-benar lelah dengan mencari alasan Putik menolak dirinya.

“Kalau ada yang mencari aku, arahkan pada Irwan kalau kamu tidak bisa mengatasinya.” Leo berkata datar pada Agus yang hanya bisa menganggukkan kepala.

“Memang Pak Leo mau kemana?” Agus memberanikan diri bertanya, meskipun ekspresi wajah Leo tampak berantakan.

“Aku ada perlu.” Memberikan jawaban singkat dan langsung meninggalkan Agus.

Tujuan Leo saat ini adalah tempat sekolah Risa, dirinya tahu letaknya dari berkas yang diberikan oleh HRD. Leo juga meminta pengawal untuk memeriksa mereka, tindakan yang sangat tidak masuk akal. Mengendarai kendaraannya dengan kecepatan rendah, bersyukur jarak sekolah dengan kantor tidak terlalu jauh.

Leo turun dan memandang sekitar, banyak sekali ibu-ibu atau pengasuh yang menunggu kepulangan anak-anak. Leo tidak mendapati Putik, menurut jadwal yang dibacanya Putik masuk shift siang. Masuk siang yang artinya akan pulang malam, itu artinya Risa berada di hotel sepanjang malam. Leo sekali lagi menatap sekitar, tanda-tanda keberadaan Putik tidak ada sama sekali. Menatap jam tangannya dan memang benar tidak lama lagi Risa akan keluar dari sekolahnya, memilih menunggu sedikit jauh dan menghubungi pengawalnya untuk memberi kabar jika Risa telah terlihat.

Detik demi detik menjadi menit demi menit, belum ada tanda-tanda sekolah akan selesai. Leo menatap jamnya berkali-kali dan menghembuskan nafasnya panjang, sampai sebuah suara mengejutkannya.

“Anda bukannya mas yang kemarin menolakku?” membalikkan badannya dan menatap tidak percaya dengan keberadaan Fransiska dihadapannya. “Menunggu siapa?”

“Keponakan.” Leo menjawab langsung seakan tidak ingin Fransiska curiga.

“Pulangnya sepertinya telat, sudah biasa terjadi.” Fransiska membuka suara seakan menjawab apa yang membuat Leo lelah.

“Kamu sendiri sedang apa disini?” tanya Leo balik.

Fransiska tersenyum yang langsung membuat Leo terdiam “Sama keponakan, tapi boleh tahu keponakannya cewek atau cowok?”

“Cewek, kamu?”

“Cowok, dia anak sepupuku dan kebetulan orang tuanya sibuk. Aku sendiri nggak ada kegiatan sama sekali, jadinya aku memberikan usul agar menjemputnya.” Fransiska menjelaskan rinci dan detail.

Leo hanya diam, memandang cara Fransiska berbicara. Usianya lebih muda dibandingkan Putik dan dirinya, tapi cara dia berbicara seperti sudah ditata agar tidak menyakiti perasaan lawan bicaranya. Penjelasan yang sangat detail terlihat dan seakan memastikan lawan bicaranya paham dengan apa yang dia katakan, Leo berpikir apakah selama menjadi artis mendapatkan pelatihan berhadapan dengan orang lain.

“Apa kamu mendapatkan pendidikan untuk menghadapi lawan bicara?” tanya Leo yang membuat Fransiska menatap bingung “Kamu nggak cocok jadi artis, mending kamu jadi juru bicara.”

“Aku memang bukan artis tapi penyanyi.” Fransiska mengoreksi perkataan Leo “Kami semua diajarkan bagaimana jika depan banyak orang atau berada dengan orang asing, penilaian diri menjadi lebih penting jadinya jika nanti suatu saat kami mengalami masa sulit maka orang lain itu yang akan membela kita.”

Leo menggaruk kepalanya dengan tersenyum kecil “Bahasa kamu membuat pusing, intinya adalah nilai diri.”

Fransiska tersenyum “Pintar.” 

Leo lagi-lagi terdiam melihat bagaimana Fransiska berekspresi, menelan saliva kasar dan jantungnya berdetak sangat kencang. Leo menggelengkan kepala, dan pastinya mengalihkan pandangan kearah sekolah. Tidak lama kemudian Fransiska menarik tangan Leo, sekali lagi membuatnya berdetak kencang.

“Sudah pulang, kalau kita lama nantinya mereka nggak akan melihat.”  Fransiska menjelaskan sambil melepaskan genggama  tangan mereka berdua.

Fokus Leo adalah mencari keberadaan Risa, mencari dengan melihatnya perlahan. Sampai akhirnya ada teriakan disampingnya, menatap bocah laki-laki yang memeluk Fransiska erat dan lagi-lagi membuat Leo menelan saliva kasar.

“Belum terlihat?” pertanyaan Fransiska mengejutkan Leo dan menatap sekitar “Mau dibantu?”

“Pak Leo sedang apa disini?” suara Putik membuat Leo membeku dan tidak bisa berkata apapun “Dia kekasih siapa? Cantik sekali.” Leo menyadari ada sesuatu yang membuat Putik menolaknya.

“Sampai jumpa.”

Leo menggandeng tangan Putik menjauh dari keramain, tidak tahu alasan Leo menarik Putik menjauh dari Fransiska. Leo benar-benar tidak bisa berpikir jernih sama sekali. Mengalihkan pandangan ke Putik, seakan menunggu alasan Leo mendatangi sekolah Risa.

“Aku hanya ingin dekat dengan Risa, memperkenalkan diri sebagai ayahnya nanti.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status