Share

Bab 7 Cinta Pertama

"Jadi maksud kedatangan kami ke sini untuk melanjutkan pembicaraan kemarin, Buk," ujar Adnan dengan hati-hati. Sementara sang istri masih mengamati keadaan rumah yang hampir roboh itu. Ia masih tak menyangka mengapa suaminya memilih wanita dari keluarga seperti ini. Namun, sebagai seorang istri, Inggid hanya ingin menjadi wanita yang patuh sebagaimana adab yang sudah ditetapkan. Ia hanya bisa mendukung keputusan suami, apa pun itu selagi tidak melanggar ketentuan agama.

Mendengar penuturan Adnan, Hana dan ibunya saling pandang. Keduanya masih belum percaya secepat ini Adnan dan istrinya datang lagi untuk membicarakan pernikahan.

"Anak saya umurnya sudah tiga puluh lebih, Buk. Saya harap ini bukan menjadi penghalang untuk anak saya, Rayhan dan Hana melanjutkan hubungan yang lebih serius. Anak saya sudah bersedia dan kalau kalian berkenan, secepatnya saja kita langsungkan pernikahannya. Tidak usah menunda sesuatu hal yang baik apa lagi mempersulitnya, bukan begitu, Buk?" tanya Adnan dengan wajah yang semeringah disertai anggukan Nining.

Menurutnya, Hana adalah anak yang baik, sopan dan bertutur sapa lembut. Ia yakin Hana akan mampu meluluhkan hati Rayhan yang kaku.

"Gimana, Han? Kamu siap?" tanya Nining sambil menggenggam sebelah tangan anaknya. Sebenarnya Nining sendiri belum yakin atas lamaran ini, ia sungguh takut jika anaknya hanya dijadikan pembantu persis seperti di sinetron-sinetron kesayangannya. Yang miskin selalu menjadi babu di keluarga kaya. Begitulah kurang lebih.

Hana mengangguk pelan. Ia sudah yakin dengan keputusannya itu. Adnan dan Inggid pun saling lempar senyum.

"Hana maunya gimana? Mau dilamar dulu atau langsung nikah aja?" Adnan to the poin. Sebenarnya ia sudah tidak sabar melihat Rayhan menikah agar tidak lagi suka keluar malam tanpa tujuan. Namun, ia akan menjunjung tinggi rasa hormat pada calon besannya itu, terlebih Hana, calon menantunya. Adnan akan melangsungkan acara sesuai kemauan Hana dan calon besannya.

"Langsung nikah aja, Pak! Nggak usah ada lamar melamar. Benar kata Bapak, kita nggak boleh mempersulit sesuatu yang baik. Lebih cepat lebih baik kan, Pak, Buk?"

"Tapi, kalaupun mau nikah, tunggulah selesai kakak kami menikahkan anaknya. Baru kita langsungkan terus acaranya. Kebetulan kakak kandung saya juga mau menikahkan anaknya dalam Minggu ini." Jelas Nining yang membuat Adnan dan Inggid mengangguk setuju. Sementara Hana, masih ada rasa patah hati dalam dirinya mendengar pernikahan yang akan digelar. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Ridwan tanpa pernah dihadapkan dengan masalah berat, membuat Hana tak semudah itu melupakan cinta pertamanya. Bahkan sampai saat ini nama Ridwan masih melekat erat di relung hatinya, meskipun Hana sadar bahwa ini adalah salah.

"Oh ya sudah, kita ikuti instruksi dari sini , Buk. Kita ngikut aja" jawab Inggid.

"Tapi kalau bisa, kita nggak usah terlalu lama mengulur waktu! Lebih cepat lebih baik kan ya, Buk?" Sambung Adnan. Sebenarnya ia takut kalau anak lelakinya itu berubah pikiran. Dulu juga pernah kejadian seperti itu, Rayhan diam-diam pergi begitu saja saat mau dijodohkan. Adnan tak ingin kejadian itu terulang lagi.

Nining hanya mengulas senyum mendengar ucapan calon besannya yang terkesan ingin buru-buru menikahkan anaknya.

"Ayo, Pak, Buk. Diminum dulu tehnya!" Ucap Nining sambil menunjuk dengan telapak tangan teh yang sudah tak lagi mengepul asapnya.

Adnan dan Inggit pun mulai menyeruput teh buatan Hana.

***

"Ray, Loe kenapa sih kok uring-uringan gitu. Seharusnya Loe itu happy dong karena bentar lagi bakal nikah. Jadi penasaran gue sama cewek itu, gimana ya tampangnya sampe bokap Loe nekad jodohin Loe sama dia?" Arfan senang karena sahabatnya itu akan segera melepas masa lajangnya.

"Apaan sih, Loe. Bukannya cari cara supaya gue bisa mangkir dari perjodohan ini, malah kayak kegirangan gitu. Loe itu sebenarnya sahabat gue apa sahabat papa gue sih? Heran," Rayhan mencebik kesal.

"Hei, nikah itu enak, Bro. Loe nanti bakal ada yang ngurus, ada yang perhatiin dan ada yang ngebucinin. Dan itu semua enak, Bro. Bisa ...." Arfan menepuk-nepukkan tangannya menandakan sebuah hubungan suami istri.

"Halah dasar omes, Lu. Loe liat tuh si Fikri, mana ada waktu dia buat kita setelah nikah. Jangankan ngumpul, nelpon aja nggak pernah kan? Loe mau gue kayak gitu?" Rayhan menatap sahabatnya itu dengan tatapan pias.

"Beda dong, Ray. Loe liat gue! Gue walaupun udah nikah dan punya anak tapi gue masih bisa kan ketemu sama Loe. Kalau Si Fikri beda, Ray. Perekonomian dia kan beda sama kita. Dia harus ekstra banting tulang buat nafkahi keluarganya. Sedangkan kita dari keluarga berada, tapi sih gue yakin, Si Fikri itu juga bahagia banget. Kalau pas kita ketemu nggak pernah tuh dia curhat tentang rumah tangganya. Lagi pula istri Si Fikri itu teman istri gue. Walaupun sederhana tapi mereka bahagia banget, Ray. Percaya sama gue! Loe pasti bisa lupain Si Anisa itu. Dia itu masa lalu, nggak pantas dikenang dan Loe nggak bisa mengharapkan dia kembali lagi," ucap Arfan panjang lebar. Ia yakin saat ini Rayhan cuma butuh sedikit diyakinkan atas pernikahannya yang mendadak ini.

Rayhan terdiam mendengar ucapan Arfan. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Arfan. Namun, ia memang belum bisa melupakan masa lalunya itu dan entah bagaimana nanti jika Anisa kembali setelah dirinya menikahi Hana. Sementara kedua orang tuanya tak lagi bisa menunggu untuk Rayhan tidak menikah.

Rayhan masih sangat mencintai Anisa. Anisa wanita pertama yang ia cinta, meski sekarang Rayhan sudah kehilangan komunikasi dengan Anisa. Namun, ia yakin bahwa suatu saat nanti Anisa akan kembali padanya.

"Lagian kenapa nggak bicara aja sama orang tua, kalau loe itu punya gebetan? Masak iya papa mama Loe nggak mau ngerti?" Arfan mencoba mencari solusi untuk sahabatnya itu.

"Nggak sesimpel itu, Fan. Gue udah pernah jelasin ke mereka, tapi memang mereka nggak mau tau lagi alasan gue. Kerena memang gue selalu gagal buat bawa Anisa ke orang tua gue. Bahkan itu jauh sebelum kami putus kontak." Rayhan tampak kesal. Ia memukul angin karena geram.

"Gue yakin Anisa pasti kembali ke pelukan gue, Fan. Dia cinta pertama gue, begitu juga gue. Gue itu cinta pertamanya. Sama seperti gue yang nggak bisa ngelupain dia, dia pun pasti ngerasain apa yang gue rasa."

"Hmmm ..., Yaudah deh terserah Loe maunya gimana. Pokoknya apapun keputusannya, gue ngikut dan dukung Loe." Arfan kembali menghidupkan rokok yang sempat mati karena pembicaraan serius ini.

Sementara Rayhan, tatapannya kosong. Memikirkan antara Anisa dan wanita pilihan orang tuanya. Sementara pilihannya tentu saja lebih berat ke Anisa, cinta pertamanya.

Bersambung

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status