Malam itu, Rayhan dan kedua orang tuanya terlibat pembicaraan serius. Sebenarnya malas bagi Rayhan untuk membahas ulang masalah pernikahan yang tak diinginkan itu.
"Acara pernikahan kalian akan digelar dua Minggu lagi, Ray. Kamu harus prepare! Papa nggak mau dengar alasan apapun lagi. Satu lagi papa tegaskan ke kamu. Jangan coba- coba kabur kalau kamu masih mau lihat papa hidup," ujar Adnan sebelum akhirnya masuk ke kamar. Sementara Inggid masih duduk bersama Rayhan sambil mengulum bibir bawahnya."Aarggh ...."Rayhan geram dan memukul sisi sofa."Ikuti aja maunya papa! Yakin kalau pilihan orang tua itu adalah pilihan yang terbaik buat kamu ,Ray.""Kenapa sih harus ngancem-ngancem gitu? Memangnya ini zaman apa sehingga harus dijodohin kayak gini?" dadanya naik turun emosi Rayhan memuncak. namun, seberusaha mungkin ia kontrol."Rayhan ini bukannya nggak mau nikah, Ma. Rayhan cuma pengen nunggu seseorang. Seseorang yang udah lama Rayhan cinta." Sungut Rayhan."Kalau memang kamu punya pilihan lain, kenapa kamu nggak pernah bawa perempuan. Itu ke mari? Apa kamu pikir kami sebagai orang tua percaya begitu aja kalau kamu itu udah punya pacar, tanpa pernah kamu bawa kemari? Hmm?" tanya Inggit hati-hati. Wanita berlesung pipi itu selalu bicara dengan lemah lembut pada anaknya.Sebenarnya Inggit juga ingin memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan pilihan. Namun, dirinya juga tak punya kuasa untuk menolak apa yang telah suaminya rencanakan. Selama ini Adnan selalu memperlakukannya dengan baik, memprioritaskan dan memberi yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya. Inggit tahu suaminya itu selalu memikirkan matang-matang untuk semua keputusan yang ia ambil.Rayhan mengangguk, "Berarti udah nggak ada lagi harapan buat mangkir dari keputusan Papa." Dengan raut kecewa Rayhan beranjak dari sofa dan menuju kamar. Baginya bicara dengan orang tuanya malah semakin membuat beban pikirannya menjadi-jadi.Rayhan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Mengambil handphone dari dalam saku celana. Membuka media sosial dan mencari nama Anisa Hafni. Disana terpampang sebuah foto seorang wanita dengan gaya rambut yang pernah nge-trend di zamannya sekitar sepuluh tahun yang lalu. sedangkan postingan itu dibuat sekitar lima tahun lalu. Entah sudah berapa ratus pesan dikirim Rayhan untuk Anisa. Berharap pesan itu dibaca. Kenyataannya tak satu pun pesan itu dilihat apalagi dibalas.Rayhan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata dan menarik nafas dalam dalam. Sepertinya memang inilah takdir yang harus ia jalani. Rayhan pun berusaha memantapkan hati untuk mengikuti apa yang kedua orang tuanya mau."Anisa ..., Andai sekali aja kamu balas chat aku, udah pasti aku akan membatalkan pernikahan ini dan mengatakan pada mereka semua kalau kamu telah kembali. Kita akan hidup sama sama," gumam Rayhan. Hingga matanya terasa berat. Tak menunggu waktu lama matanya mulai terpejam.***"Kamu kalau nggak kuat, nggak usah datang, Na!" Ucap Nining kepada anak perempuannya yang masih mematut diri di depan cermin."Memangnya kalau Hana nggak kesana apa nggak akan jadi masalah, Bu? Semua yang ada di sana pasti menyangka Hana belum move on dan nggak bahagia atas pernikahan sepupu Hana sendiri, Bu," jelas Hana."Memang kenyataannya seperti itu, kan? Hana, kamu nggak bisa nutupi itu dari ibu mu ini. Ibu yang melahirkan kamu, tentu ibu tahu apa yang ada di hati dan pikiran kamu," pungkas sang ibu.Sementara Hana terdiam mendengar apa yang diucapkan Nining. Semua itu benar, Hana memang masih memiliki rasa pada Ridwan. Padahal, sudah dengan bersusah payah ia menahan rasa ini. Kehadirannya di acara pernikahan Rina dan Ridwan hanya untuk memberi tahu kepada orang-orang bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Ia masih begitu hancur dan puing puing itu sudah melebur entah kemana. Entah bagaimana nanti dirinya akan memberi ucapan selamat pada Ridwan dan Rina."Kalau nggak kuat, nggak usah datang, Na. Kamu di rumah aja! Lagian disana juga udah rame. Ibu khawatir kamu ...," kata-katanya terhenti saat Hana langsung memotong ucapan ibunya."Buk, Hana juga udah mau nikah. Masak ia Hana nggak datang ke acara spesial Rina. Nanti apa kata dunia kalau Hana nggak datang, Bu? Ibu tenang aja ya! Hana baik-baik aja kok." Hana pun meraih handphonenya dan mengajak ibunya untuk bersama-sama pergi ke rumah Obed.Keduanya berjalan berdampingan hingga sampai di pelataran rumah Obed. Disana sudah ada pelaminan besar dengan nuansa putih biru, ada juga para sepupu yang berpakaian sama. Mereka semua adalah bridesmaids sang pengantin. Hanya Hana saja yang tak diminta untuk itu.Semua mata tertuju pada kedatangan Hana. Ada yang menatapnya dengan haru, kasihan dan ada juga yang menatapnya dengan tatapan menghina. Padahal mereka yang menjadi bridesmaids itu adalah sepupu Hana juga. Nining langsung berjalan terus ke dapur,sedangkan Hana mendekat ke arah mereka, berusaha bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa."Hana, lama banget kamu datang? Aku pikir kamu nggak datang, Na!" ucap Dina, sepupu sekaligus sahabat Hana dari kecil sampai sekarang. Hana mengulas senyum dan langsung ikut duduk bersama gadis-gadis itu.Beberapa Menik kemudian, pengantin keluar dengan menggunakan pakaian adat Jawa. Semua mata tertuju pada sepasang pengantin itu. mereka saling berbisik membicarakan keserasian pengantin itu. Semua sibuk mengabadikan momen itu.Sementara Hana, matanya memanas melihat pemandangan itu. Seberusaha mungkin untuk tidak menitikkan air mata. Namun tampak jelas sekali matanya berkaca kaca. Dina yang menyadari hal itu, langsung membawa pergi Hana dari sana. Ia tak ingin Hana merasa dipermalukan lagi karena Hana tak bisa menahan air matanya agar tidak tumpah."Kamu nggak usah kesana lagi ya , Han! Aku tau kamu pasti sedih banget lihat itu kan? Aku temani kamu ya!" Keduanya sudah sampai di dalam rumah Hana.Hana tak lagi bisa menahan air matanya. Ia merasakan sesak di dalam dadanya kala mengingat Rina yang dengan bahagianya menggandeng tangan suaminya untuk sampai ke pelaminan. Sungguh itu membuat Hana sesak dan sakit di dalam sini, hati."Han, kamu harus move on! Ridwan bukan yang terbaik buat kamu. Insha Allah, Allah udah nyiapin yang terbaik buat kamu. Kamu nggak pantas ingat-ingat dia lagi. Dia udah jadi suami orang, Han. Kamu cantik dan aku yakin kalau sudah tiba waktunya kamu juga akan di kamar oleh lelaki yang tepat," ujar Dina menyemangati. Ia belum tahu bahwa sahabatnya itu juga akan menikah dalam waktu dekat ini."Nggak tau kenapa masih sakit aja di dalam sini.""Tari nafas dalam dalam terus keluarkan perlahan! Ayo ikutin aku!" Dina meminta Hana untuk mengikutinya, bukan tanpa sebab. Ini berguna untuk meringankan sesak di dadanya.Setelah melakukan berkali kali,Hana pun merasa lebih lega dan plong."Makasih ya, Din. Udah selalu ada buat aku," ucap Hana yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Dina pun tersenyum."Din, sebenarnya Minggu depan aku juga akan menikah."" Apa ...," jawab Dina antusias.Bersambung ...Hana mengangguk kecil. "Memangnya siapa lelaki yang udah berhasil merebut hati kamu, Han?" tanya Dina penasaran dan menginginkan Hana segera menjawab rasa penasarannya itu."Nanti juga kamu bakalan tahu Din. Sabar aja!" jawab Hana. Sebenarnya ia juga tidak tahu akan dinikahkan dengan siapa, Hana nyaris belum pernah bertemu dengan calon suaminya, seperti calon pengantin pada umumnya. Penjajakan satu sama lain, saling cinta dan kasih untuk memulai sebuah hubungan baru yang disebut pernikahan. Namun, Hana tak ingin membuat orang lain bingung dengan pernikahannya ini, cukuplah dirinya saja yang tidak mengerti dengan pernikahannya ini. "Tega kamu, Han. Aku penasaran loh ini." Dina mengerucutkan bibir karena Hana tak memuaskan rasa penasarannya.Hana tersenyum geli melihat ekspresi Dina yang seperti itu."Sabar! Nggak lama lagi kok," jelas Hana sambil mencubit pipi Dina."Eh, betewe kamu memang udah berhasil move on ya
"Huuuuuuu ...." Sekali lagi teriakan muda-mudi yang gagal mendapatkan buket bunga itu. Meski tak bisa meraih, tampaknya mereka begitu menikmati momen ini. Sepasang pengantin itu pun membalikkan badan melihat siapa orang yang beruntung mendapatkan buket bunga itu, karena ada hadiah cincin untuk orang yang beruntung. Cincin emas seberat dua gram sebagai hadiah sudah berada di tangan MC dan akan di serahkan kepada pemegang buket bunga itu.Hana dan lelaki yang tak dikenalnya itu saling tatap dalam beberapa detik. Dengan buket bunga sebagai pembatas wajah keduanya.Hana segera sadar dan membenarkan posisinya berdiri. Lelaki itu pun tampak canggung."Yaaaay ternyata yang dapat dua orang dong. Bisa maju ke depan nggak? Ayo sini Mas sama Mbaknya maju ke depan!" Pembawa acara itu menginterupsi."Berhubung cincinnya cuma satu, si Masnya aja yang pakein cincin ini sama Mbaknya ya!"Semua mata tertuju pada sepasang yang beruntung itu. Termasuk Ridwan dan Rina. Ridwan terkesima memandang dari jauh
[Ma, Ray langsung balik aja! Bilangin ke Papa ya!] Tuuuuuut."Ray ..., Rayhan ..., Gimana sih? Kok malah pergi, bukannya mampir dulu sebentar liat calon istri" kesal Inggit saat panggilan yang baru saja ia angkat malah diakhiri sepihak oleh Rayhan."Kenapa, Ma?" tanya Adnan yang penasaran dengan apa yang terjadi pada Rayhan."Itu tuh si Rayhan bukannya singgah kesini. Eeeeh malah pergi. Ngeselin nggak tuh?" Inggit merasa tidak enakan pada Nining dan Hana.Sementara dengan Hana, ada raut wajah kecewa saat calon suaminya itu tidak bisa mampir di rumahnya yang jauh dari kata sederhana ini. Entahlah mungkin karena Rayhan belum siap menemui Hana, karena biar bagaimanapun dijodohkan itu tidak mudah."Kamu nggak apa-apa kan, Han? Rayhan mungkin lagi sibuk. Kan bentar lagi mau ambil cuti panjang. Jadi semua pekerjaan harus diselesaikan jauh sebelum waktunya," jelas Adnan."Iya, Pak," jawab Hana sambil kemudian mengulas senyum."Oh iya, saya mau ajak kamu ke klinik kecantikan besok. Kamu mau ka
Tibalah saat dimana Rayhan dan Hana akan bersatu dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan.Semua yang hadir ingin menyaksikan ijab kabul itu. Ada raut wajah bahagia disana. Namun, tidak dengan Rayhan. Sejak pagi tadi wajahnya terlihat muram dan sangat tidak menyenangkan. Semua mata tertuju pada Hana yang baru saja keluar dari ruangan make up. Ia tampak cantik dan nyaris sempurna dengan balutan gaun pengantin berhijab. Make up bernuansa nude color berpadu dengan busana serba putih itu, sangat pantas jika disandingkan dengan Rayhan yang memakai teluk belanga lengkap dengan dengan songket yang tersimpul indah di pinggangnya.Ada yang memandang takjub dan ada juga yang tak mau kalah mencibir Hana."Sebenarnya sih nggak pantes aja pesta di gedung. Tapi lihat rumah udah mau ambruk," cibir seseorang. Siapa lagi kalau bukan Obed yang ketenarannya tak mau dikalahkan oleh siapapun. Pelaminannya juga bagusan si Rina kemarin toh," Obed berbisik-bisik pada tetangga yang sengaja diundang ole
Hana tak lagi perduli dengan penampilannya kini. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia bisa tertidur lelap malam ini karena sekujur badannya sudah sangat lelah. Hana pun mulai naik ke tempat tidur, ia menarik bed cover yang dikuasai Rayhan kemudian tidur dengan saling memunggungi.Saat tengah malam, suasana kamar menjadi begitu dingin. Hana menguasai bed cover dan terjadilah aksi saling tarik bed cover itu, meski keduanya masih saling memunggungi. Rayhan menarik dengan kuat bed cover itu agar menutup sekujur tubuhnya, sehingga Hana terpaksa meringkuk sambil memeluk guling. Kini ia tak lagi menarik bed cover itu, karena percuma. Rayhan akan mengambilnya lagi.Saat subuh, Hana terbangun. Ia duduk bersila sambil menatap lelaki yang telah sah menjadikannya istri semalam. "Nggak punya hati banget sih, istri dibiarin kedinginan, huuuh," Hana mencebik kesal.Sebentar menatap diri, Hana merasa tak nyaman dengan pakaiannya ini. Namun, apa mau dikata. Tidak ada lagi pakaian yang pantas ia
"Kamu nggak ada kerjaan lain ya selain berdiam diri di kamar? Jalan- jalan kek. Kenapa sih buat orang makin kesel aja," ketus Rayhan. Ia memang belum bisa menerima pernikahannya ini. Lagi pula jika melihat wajah Hana entah mengapa emisi semakin menjadi-jadi."Kenapa nggak kamu aja sih yang pergi? Ngeselin banget," lirih Hana yang nyaris tak terdengar oleh Rayhan. Ia juga mewanti-wanti agar Rayhan tidak mendengar apa yang ia katakan. Selain takut, Hana juga tak ingin Rayhan semakin marah padanya."Siap-siap! Kita pulang sekarang juga!" ucap Rayhan. Ia masih memilih pakaian yang nyaman ia pakai. "Kenapa pulang, Mas? Bukannya kita akan ...," kata- kata Hana terputus saat Rayhan dengan garang menatap ke arahnya."Ia kita pulang," jawab Hana sambil tertunduk. Padahal ia masih ingin berlama lama menikmati hotel gratis ini.Setelah melakukan perjalanan sekitar hampir dua jam, Hana dan Rayhan sudah sampai di rumah orang tua Rayhan.Papa dan mamanya pun tak menyangka bahwa Rayhan dan Hana akan
[Ray, gue udah tahu di mana Anisa. Di sudah kembali dan sekarang tinggal di apartemen di jalan Asia.] Rayhan langsung berlari meraih kunci mobilnya setelah membaca pesan singkat dari Rendi, sahabatnya.Mendengar nama Anisa, ia begitu semangat dan antusias untuk bertemu. Ingin memeluk dan menumpahkan segala kerinduan yang telah bersemayam dalam diri. Sudah sejak lama ia menunggu momen ini dan ketika momen itu datang, Rayhan tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."Ray, kamu mau kemana? Jangan pergi! Nanti malam itu ada acara penting di rumah ini," teriak Inggit dan itu sama sekali tak digubris oleh Rayhan. Rayhan dengan buru-buru masuk ke dalam mobil dan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju tempat dimana cinta pertamanya itu berada.Satu jam melakukan perjalanan akhirnya Rayhan tiba di depan sebuah apartemen yang menurut informasi adalah satu-satunya tempat tinggal Anisa.Tok tok tokTok tok tokCeklek.Pintu kamar apartemen terbuka, muncullah seorang wanita dengan perawa
"Kamu ngapain sih ikut acara mereka, Mas? Itu acara keluarga dan kamu bukan bagian dari mereka. Bisa nggak kamu tetap di sini temani aku. Aku lebih butuh kamu dari pada mereka, Mas," rengek Rina saat Ridwan sudah bersiap akan pergi ke acara makan malam yang diadakan oleh keluarga Adnan, menyambut kehadiran menantu baru di keluarga besarnya. Adnan dan Inggit memang meminta Ridwan hadir karena dianggap mampu mensukseskan acara ini. "Kamu juga harus ngerti, Rin. Ini semua perintah dari atasanku. Aku nggak punya kuasa untuk menolak ini, karena biaya pernikahan kita tempo hari juga atas bantuan mereka. Kalau bukan karena kebaikan hati Pak Adnan dan keluarganya mana mungkin kita bisa menyelenggarakan pesta besar waktu itu. Please ngertiin aku juga! Cuma malam ini aja. Masih banyak kan malam-malam selanjutkan untuk kita menghabiskan waktu?" Ridwan mencoba memberi pengertian kepada wanita yang baru beberapa minggu ini menjadi istrinya.Namun, Rina tetap tidak mau mengerti dan hanya ingin d