Share

Bab 4 Dilamar Orang Asing

"Selain penyakit jantung, ibu kamu juga mengalami penyakit maag akut, juga tekanan darah yang tinggi. Sementara ini harus di rawat dulu sampai waktu yang belum bisa dipastikan," ujar sang dokter bernama Kumala Sari.

Hana hanya bisa tercenung mendengar penjelasan sang dokter. Ia tahu bahwa ibunya hanya berusaha bersikap tegar di depannya, tetapi nyatanya tak seperti itu. Selain ia mengkhawatirkan keadaan sang ibu, ia juga khawatir tentang biaya rumah sakit itu. Pikirannya jadi tak menentu bagaimana ia bisa melewati ujian ini?

***

POV Hana

[Mbak, ibu masuk rumah sakit. Kamu pulang dulu dong, Mbak!] ucapku di sambungan telepon. Namun bukan jawaban yang kuharap kan yang ada, mbak Riana malah mengatakan bahwa dirinya tidak bisa libur terlalu sering, lagi pula Minggu kemarin dirinya sudah mengajukan cuti selama tiga hari saat acara lamaranku.

[Kamu yang harus bertanggung jawab sama kondisi Ibu sekarang, Han. Ibu itu sakit gara gara kamu. Jadi, kamu lah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya!] ucap mbak Riana kemudian memutuskan panggilan itu sepihak.

Aku tak bisa menahan kesedihan dalam hati ini. Tangisku tertahan. Satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong malah menyerahkan dan menyalahkanku atas peristiwa ini. Aku ini adikmu mbak, nggak bisa kah kau berbaik hati meringankan sedikit saja beban di pundak ini?

Ku tatap wajah ibu yang masih tertidur pulas di brankar rumah sakit. Kasihan sekali wanita ku ini, aku tahu dirinya tak baik baik saja sejak kejadian batalnya lamaranku. Ia hanya berusaha bersikap tegar di depanku.

*

Sudah tiga malam ibu dirawat di rumah sakit ini, artinya sudah tiga hari pula aku tidak masuk kerja, untungnya pemilik toko roti tempatku bekerja memberiku dispensasi.

Dengan langkah gontai dan rasa was was aku berjalan menuju bagian administrasi.

"Astaga ... ," lirihku ketika baru saja melihat nominal yang sangat banyak menurutku. Dari mana aku mendapatkan biaya sepuluh juta dalam waktu dekat? itu adalah nominal yang sama dengan enam bulan gajiku di toko roti.

Bagaimana ini ya Allah? siapa yang bisa aku mintai tolong?

Seketika ingatanku tertuju pada Bude Obed. Di keluarga ibuku hanya Bude Obed yang hidupnya lumayan sejahtera.

Aku pun kembali keruangan tempat ibuku berada. Rupanya beliau sudah duduk dengan posisi kaki yang menggantung.

"Buk, Hana pergi sebentar ya!"

"Mau kemana kamu, Han?"

"Hana mau ke toko sebentar aja, buk!" ucapku. Aku memang ingin pergi ke toko roti sebentar. Namun tak aku katakan padanya bahwa aku ingin menjumpai bude Obed. Aku tak ingin beban pikiran wanitaku itu semakin bertambah tambah.

"Iya, tapi jangan lama lama ya! Ibu takut kalau ditinggal sendiri. Oh iya, Han. Biaya rumah sakit gimana?" tanya ibuku dengan tatapan khawatir.

Aku berusaha mengulas senyum padanya meski aku sendiripun belum menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.

"Ibu tenang aja ya! Hana bisa pinjam ke bos Hana" setelah mencium tangan ibuku, aku pun segera pergi. Tidak mungkin bosku mau meminjamkan uang sebanyak itu, sementara aku belum genap sebulan bekerja disana.

Sebenarnya ada keraguan dalam hati untuk meminjam uang pada bude ku itu. Selain cerewet, bude Obed juga terkenal pelit di dalam keluarga kami. Sebelum ke rumah bude Obed, aku akan pergi ke toko kue untuk meminta izin libur sehari lagi untuk mengurus kepulangan ibuku.

Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam toko tempatku bekerja. Seperti biasa saat baru datang, aku akan membersihkan seisih toko dari kotoran dan debu yang menempel sampai akhirnya pelanggan pertama ku datang.

Seorang lelaki paruh baya berpenampilan parlente dan rambutnya sudah terlihat putih merata.

"Selamat pagi ... ,cari apa, Pak?" tanya ku sambil mengulas senyum.

Lelaki itu sebentar menatap dan memindai aku dari atas hingga bawah. Aku jadi mengernyit hingga pandangannya tertuju pada etalase kue tart.

"Saya ambil yang ini," ucap lelaki yang usianya lebih pantas aku sebut ayah itu. Selama aku bekerja sudah entah berapa kali ia datang membeli kue. Ia sudah menjadi langganan tetap disini dan entah mengapa lelaki itu hanya ingin aku yang melayaninya.

Saat ia memilih milih kue, handphone ku berdering menandakan bahwa ada panggilan masuk.

"Mbak Riana ... ," lirihku, aku mengulas senyum pada lelaki itu karena ingin mengangkat telepon dari kakakku. Sementara, Sintia yang mengerti langsung menggantikan posisiku melayani lelaki itu.

[Mbak, kamu kemana aja sih? Aku nelponi kamu tapi nomor kamu nggak aktif. Ibu lagi butuh biaya Mbak,] ucapku antusias.

[Maaf ya Hana, di lain waktu anggap aja kita nggak punya hubungan apa apa lagi. Aku udah nggak mau kenal sama kalian lagi, kalian selalu buat beban pikiran aku. Selamat tinggal!]

Tut Tut Tut ...

Panggilan diakhirinya sepihak. Tubuhku meremang mendengar apa yang barusan diucapkan mbak Riana. Saudara kandungku satu- satunya. "Beginikah balasan kamu terhadap orang yang pernah merawat dan membesarkanmu, Mbak?" tanyaku dengan suara tertahan.

Aku menangis di balik bilik sunyi.

"Han, Hana ..., Bapak itu nggak mau dilayani sama aku, dia maunya dilayani sama kamu," ujar Sintia yang tiba tiba datang. Buru buru aku menyeka air mataku, namun tak bisa menghapus rasa penasaran Sintia, teman baikku di toko roti ini. Ia menatapku dengan rasa penasaran.

"Udah kamu kesana dulu. Abis itu kita cerita ya." Sambungnya lagi sambil mengelus bahuku. Segera aku merapikan penampilan dan membuat wajahku seperti semula, seberusaha mungkin mengulas senyum agar tak membuat pelanggan ku bertanya tanya.

"Kamu kayaknya lagi ada beban ya?" tanya lelaki tua itu dan menurutku pertanyaannya itu tidak etis jika ia tanyakan padaku, karena kami tak saling kenal, hanya sebatas antara penjual dan pembeli.

"Kamu mau nggak saya lamar? Saya kasih kamu mahar pantastis, mau?" Ucap lelaki itu yang sontak saja membuat aku terkejut. Dinikahi lelaki yang seusia sama dengan almarhum ayahku? Tidak mungkin. Aku tidak bisa dan tidak mau. Aku hanya menganggap itu sebuah gurauan.

Bersambung

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status