Share

Bab 6

Husein melihat barang-barang berserakan di lantai, semuanya adalah pakaian biasa, tidak ada satu pun barang mewah dari merek terkenal yang Sita bawa.

Bukankah itu alasan Sita menikahi Husein? Anehnya, Sita tidak pernah meminta apa pun.

Pandangan Husein tertuju pada tas karung yang sangat kotor, dia berkata sambil mengerutkan dahi, “Sok jual mahal lagi, kali ini dia ingin mendapat belas kasihan dari siapa? Nenek juga tidak ada di sini.”

Selama tiga tahun menikah, secara finansial dia tidak pernah memperlakukannya tidak adil, kecuali untuk menyukai Sita.

Meskipun bercerai, Husein juga memberi Sita kompensasi dalam jumlah besar, cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar Sita.

Apakah dia benar-benar ingin pergi atau hanya berpura-pura?

Sita menggenggam erat ponselnya yang mati, dia masih belum mencerna berita yang disampaikan Bibi padanya jika keluarganya sudah ketemu. Bahkan Sita juga bermimpi kalau dirinya ditemukan oleh keluarganya, sejak saat itu dia tidak lagi sendirian.

Sita agak linglung, tepat di depan mata Husein seolah menyetujui.

Linda berpura-pura pincang menyusul Husein, “Kak Husein, Sita baru saja mengemasi barangnya untuk pergi, tapi dia malah mengambil tas karung yang sangat kotor dari dapur, aku sudah membujuknya tapi tidak digubris.”

Pelayan langsung memprovokasi, “Tuan Muda, saya sudah membujuk Nyonya Muda untuk tidak menggunakan tas karung ini, tapi beliau menolak, bahkan pakaiannya berserakan di lantai. Sudah jelas ada koper bermerek terkenal yang tidak digunakan, tapi malah memilih yang jelek. Jika sampai tersebar, orang-orang akan berpikir jika Keluarga Handoyo memperlakukannya dengan buruk.”

Suasananya sangat tenang, Sita dapat mendengar fitnahan kedua orang itu terhadapnya, dia mematung di tempatnya berdiri seperti sebuah kayu.

Sita memandang Husein di depannya, ingin tahu apa yang akan dia katakan.

Mata Husein menyala dan berkata dengan dingin, “Kamu tidak ingin mengakui apapun?”

Benar saja.

Mata Sita mencemooh dirinya sendiri, “Semua sudah dikatakan oleh mereka, aku tidak mau mengatakan apa pun.”

Lagi pula, Husein tidak akan percaya meskipun Sita mengatakannya, mengapa repot-repot menjelaskannya.

“Sita, kamu masih belum puas? Apa lagi yang kamu mau?”

Di mata Husein, Sita adalah seorang perempuan yang menikahinya demi uang.

Sita membiarkan keadaan makin memburuk dengan menjawab, “Aku hanya ingin menjadi istri orang kaya yang hanya tahu foya-foya. Lihatlah istri orang lain, mereka tidak belanja, tapi ngopi cantik. Setelah aku menikah denganmu, tempat yang paling banyak ku kunjungi adalah dapur, dan tempat yang paling jauh adalah pasar. Tiga tahun kemudian, kamu mengusirku dan menyia-nyiakan tiga tahun masa mudaku! Kita sudah bercerai, sekarang aku sudah tidak ingin melayanimu, apakah tidak boleh?

Sita melampiaskan kebenciannya selama bertahun-tahun dalam satu tarikan napas, seketika dia merasa jauh lebih lega.

Benar saja, menjadi pembangkang, membuat hidup jauh lebih lancar.

“Sudah selesai yang bicara?”

Mata Husein menunjukkan keraguan, dia sudah memberinya kartu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang berisi 200 juta per bulan.

Biasanya Husein meminta pelayan untuk mengirimkan pakaian dan tas bermerek pada Sita setiap season.

Biaya pengobatan paman Sita juga ditanggung oleh Husein.

Mereka bercerai pun, Sita menerima kekayaan yang melimpah. Cukup untuk kehidupannya, Husein sudah melakukan hal yang luar biasa.

Sita merasa itu masih belum cukup?

“Untuk beberapa saat, aku belum selesai bicara.”

“Lanjutkan saja.”

“Kalau kamu ingin mendengarnya, kamu harus membayar lebih.”

Bibir tipis Husein mengerucut dan berkata dingin, “Sita, kamu sangat meterialistis. Serakah tidak akan memberikan hasil yang baik.”

Cukup yakin dengan perkataan Sita, Sita masih menganggap uangnya terlalu sedikit.

Husein sedikit kecewa. Dia menatap mata Sita yang tegar, bersih dan jernih. Husein benar-benar tidak mengerti perempuan serakah yang sombong dan bermulut besar ini, bagaimana bisa memiliki mata yang begitu bersih!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status