Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong.
Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat.
Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia.
"Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela.
Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela.
"Astaga Bela, kakimu kenapa?"
Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat.
"Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
Halo! Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan!! Happy Reading~
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Pintu kaca yang tertutup itu terbuka kasar dan menampakan sosok lelaki yang berjalan masuk dengan cepat. Bela menatap lelaki itu penuh rasa penasaran dan heran tapi tidak untuk kedua rekan kerjanya yang menegang.Dina, salah satu rekan kerjanya, yang duduk di sebelahnya bahkan terlihat meneguk ludah dan tangannya gemetar."Siapa yang membuat nota pembelaan Paladin Palace?" Suara bariton khas milik lelaki itu membuat Bela sedikit terkejut. Suaranya itu lugas, berat dan memberi kesan seksi.Semua pujian itu sayangnya tidak menutup amarah yang bergejolak disana. Keadaan semakin menegang ketika lelaki itu melempar berkasnya ke lantai. Saat itulah Bela menyadari betapa seriusnya keadaan ini."S-saya, pak." ujar Dina, sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar ke bawah meja.Kepalanya tertundung dan bahunya turun. Dina menarik napas lalu menghembuskannya lembut berusaha menenangkan diri. Bela bisa melihat di bawah meja, Dina mencengkram roknya kuat.
"Aku bisa pulang sendiri." "Rumahmu berjarak satu setengah jam perlajanan dari sini." Bela memutar bola matanya. "Bukan berarti aku tidak bisa pulang sendiri, 'kan?" Yoga menoleh ke arah Bela dan mendengus. "Tidak salah juga jika kau bisa pulang lebih cepat dari biasanya, 'kan?" nada bicaranya mengikuti bagaimana Bela tadi berbicara. Jelas sekali kalau dia sedang mengolok Bela. Matanya menatap Yoga geram. "Setidaknya lepaskan tanganku dulu. Aku kesulitan berjalan." keluh Bela yang tersandung beberapa kali karena harus mengikuti tempo langkah kaki Yoga. "Kau ingin kabur dariku." Mulut mungil Bela terbuka tidak percaya. Dia kehabisan kata-kata. Perkataan Yoga itu memang Benar. Kesan pertamanya yang tidak baik dimata Bela membuatnya ingin menjauhi lelaki yang sebenarnya sudah dikenal Bela selama dua tahun belakangan ini. "Wajahmu menunjukan semuanya." tambah Yoga seolah tahu apa yang ada dipikiran Bela dan itu membuanya meri
Tidak tahu apa yang ada dipikirannya ketika Yoga menyetujui ajakan Sean untuk membebaskan diri di akhir pekan membuatnya duduk di salah satu deretan meja yang ada di kelab malam.Suara musik yang kencang dan cahaya lampu redup bermandikan lampu disko, lantai dansa yang penuh dengan orang bergeliat dan menempelkan diri kepada satu sama lain seolah tidak ada hari esok membuat Yoga merasa pusing.Tempat ramai seperti ini bukan tempat yang Yoga sukai. Selain bising, dia tidak suka bagaimana wanita-wanita itu memandangnya seolah dia santapan lezat bagi mereka.Seperti wanita dengan terusan ketat sepanjang paha berwarna silver itu. Dia sudah mondar mandir di depan meja Yoga berkali-kali tapi Yoga tidak peduli padanya.Sekarang wanita itu tengah berliuk seksi di lantai dansa tepat di depan meja Yoga berusaha menarik perhatian lelaki itu.Yoga melirik perempuan itu dengan jijik. Dia pikir Yoga akan tertarik kepadanya dengan memamerkan tubuhnya sepert
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t