Share

Dengan Lembut
Dengan Lembut
Author: Irisha

Bagian Satu

Pintu kaca yang tertutup itu terbuka kasar dan menampakan sosok lelaki yang berjalan masuk dengan cepat. Bela menatap lelaki itu penuh rasa penasaran dan heran tapi tidak untuk kedua rekan kerjanya yang menegang.

Dina, salah satu rekan kerjanya, yang duduk di sebelahnya bahkan terlihat meneguk ludah dan tangannya gemetar.

"Siapa yang membuat nota pembelaan Paladin Palace?" Suara bariton khas milik lelaki itu membuat Bela sedikit terkejut. Suaranya itu lugas, berat dan memberi kesan seksi.

Semua pujian itu sayangnya tidak menutup amarah yang bergejolak disana. Keadaan semakin menegang ketika lelaki itu melempar berkasnya ke lantai. Saat itulah Bela menyadari betapa seriusnya keadaan ini.

"S-saya, pak." ujar Dina, sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar ke bawah meja.

Kepalanya tertundung dan bahunya turun. Dina menarik napas lalu menghembuskannya lembut berusaha menenangkan diri. Bela bisa melihat di bawah meja, Dina mencengkram roknya kuat.

"Apa otakmu kau jual? Sudah berapa kali aku memberitahumu bagaimana membuat nota pembelaan? Apa kau buta huruf?! Tidak bisa membaca contoh yang ada di arsip!!"

Suaranya pada setiap kalimat semakin naik dan memenuhi isi ruangan yang menggema membuat ucapan itu semakin mencekam.

Bela yang tidak ada hubungannya pun ikut menunduk karena takut. Dia baru saja bekerja hari ini. Melamar satu minggu lalu kemudian dipanggil lagi dua hari lalu untuk diberikan pelatihan dan pengertian awal dan resmi bekerja hari ini.

Bela belum bertemu banyak orang dan lelaki yang baru masuk ini adalah salah satu orang yang belum pernah Bela lihat.

"Apa gunanya kau merias diri dan memakai pakaian yang bagus kalau otakmu kosong? Kau lebih baik ke bar siapa tahu bisa mendapat sokongan untuk riasan dan baju mewahmu itu dari pada ke kantor untuk bekerja!"

Bela tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Bukankah secara tidak langsung dia menyuruh Dina menjual diri? Bela merinding melihat lelaki itu lagi.

Menurutnya, ucapan itu kasar dan tidak pantas bagaimana pun Dina membuat kesalahan. Bela melirik ke arah Dina yang wajahnya mererah menahan malu juga takut, sudut matanya mulai berair.

Lalu dia melirik ke arah Sarah yang terlihat kebingungan. "M-maaf, pak. Untuk nota pembelaan itu, kemarin saya belum mengeceknya, jadi tidak sepenuhnya salah Dina." ucap Sarah mencoba membela Dina.

"Apa aku bilang kau tidak bersalah dalam hal ini?" tanya lelaki itu sinis. Matanya menatap Sarah mencemooh dan seolah berkata, Sarah hanya perlu menunggu karena ada bagian untuknya juga. Sarah segera menundukan kepalanya. Niat membantu juniornya malah berbalik kepadanya.

"Kalau kau teliti dan tidak banyak mengurusi hal orang lain hingga mulutmu berbusa, tentu kejadian ini tidak akan terjadi. Apa kau pikir pengadilan itu tempat bermain?"

Sarah dan Dina menggeleng bersamaan membuat Bela ikut menggelengkan kepala. "Ambil contoh nota pembelaan di arsip dan buat sesuai itu. Kalau ada yang tidak dimengerti, Tanya!!" ujarnya yang kemudian pergi meninggalkan ruangan begitu saja. 

Bela segera menarik napas, tanpa dia sadari, Bela sudah menahan napas karena takut untuk membuat suara sekeceil apapun. Ya, ampun ini menegangkan dan ini baru hari pertama Bela kerja.

"Kau baik-baik saja, Dina?" Bela menarik kursinya mendekati Dina dan mengusap punggung perempuan itu. Dina mengangguk dan meremas kedua tangannya untuk menghilangkan rasa gugup dan gemetar di tangannya.

"Ah, tubuhku terasa lemas." ujar Dina, kepalanya dia jatuhkan ke atas meja dengan mata terpejam. 

"Yang tadi itu siapa?" tanya Bela hati-hati sambil menoleh ke arah Sarah yang tengah mengelus dadanya dan mengatur napas.

"Pak Yoga, salah satu pengacara disini dan yang paling galak, bermulut ketus, tidak punya perasaan. Ugh! Aku harap dia akan kesulitan menemukan pasangan!" Sarah yang sudah lebih tenang mulai merutuki lelaki bernama Yoga itu.

Mendengar bagaimana Sarah menggambarkan Yoga, Bela tersenyum kecut. Dari penampilannya, Bela tidak yakin kalau Yoga akan kesulitan mendapati pasangan tapi mungkin akan kesulitan mempertahankan pasangannya. 

"Jadi, dia selalu seperti itu?" 

"Ya, selalu!"

"Bahkan untuk masalah kecil sekali pun." Sarah dan Dina saling menyahut tidak sabar. Mata mereka terlihat berapi-api ketika menjawab. 

Melihat reaksi kedua rekan kerjanya dan kejadian tadi, Bela tidak meragukan itu sama sekali. "Sungguh, jika bukan karena bayaran disini sangat bagus, aku tidak akan bertahan karena lelaki brengsek itu!"

Dina mengelap matanya yang sempat berair tadi dan mengambil napas dengan berlebihan. Mengingat soal tadi, Bela mengambil kertas yang berserakan di lantai. "Memang apa yang salah dengan ini?" gumam Bela.

"Apa mau aku ambilkan contoh dokumennya?" mengingat Bela adalah pegawai baru, dia merasa perlu melakukan hal-hal seperti ini.

"Tolong ya, Bela." Senyum mengembang di wajah Dina, merasa bersyukur karena rekan kerja barunya begitu perhatian. Bela meletakan berkas itu di meja Dina sebelum meninggalkan ruangan menuju tempat penyimpanan dokumen. 

Untuk sampai di ruang arsip, Bela harus melewati ruangan Yoga. Dari balik kaca buram, Bela bisa melihat kalau lelaki itu sedang bekerja dengan serius. Bela kembali terbayang wajah marah Yoga dan bergidik ngeri.

Ucapan yang dikeluarkan Yoga tadi begitu mulus walau dia sedang mengatai Dina untuk menjual diri mirip sekali dengan teman menulis Bela, Rio

Teman menulisnya itu mempunyai tempramen yang buruk dan memiliki cara memaki seperti Yoga sampai membuat Bela yang hanya membaca umpatannya melalui teks bergidik ngeri dan tidak kuat membacanya seolah dia mendengar itu secara langsung.

Sambil berjalan menuju ruang arsip Bela merogoh kantung bajunya, mengambil ponsel untuk mengirim pesan kepada Rio. Dia ingin memberitahukan hal ini kepadanya.  

To: Rio

From: Lala

Aku baru saja bertemu dengan seseorang sepertimu. Dia tiba-tiba masuk ruangan kerjaku dan marah-marah lalu menyarankan rekan kerjaku untuk menjual diri!!

Caranya mengumpat sepertimu saat marah. Aku tidak menyangka ada orang yang memiliki tempramen sama buruknya dan mulut sama licinnya denganmu. Tsk. Tsk. :P 

Setelah mengirim pesan itu, Bela memasukan ponselnya ke dalam kantung baju dan masuk ke dalam ruang arsip. Ruangan itu tidak besar dan hanya berisikan rak-rak yang dipebuhi dengan dokumen.

Pada bagian atas rak sudah ada label untuk menandai dokumen apa yang ada disana. Menyusuri rak-rak penuh dokumen itu, Bela mencari yang bertuliskan 'Nota Pembelaan' pada raknya. Tidak butuh waktu lama untuknya menemukan yang dia cari.

Mengambil secara acak beberapa dokumen untuk dijadikan referensi, Bela segera keluar dari ruang arsip. Getaran pada ponselnya membuat Bela yang baru saja menutup pintu ruang arsip segera membuka ponselnya. 

To: Lala

From: Rio

Kenapa kau selalu membuat orang kesal? Tidak bisakah sekali saja bersikap manis?

Melihat balasan itu Bela mendecah sambil menggelengkan kepalanya. Lihat betapa buruk tempramennya. Sudah dua tahun Bela mengenal lelaki yang bernama Rio ini.

Berawal dari Bela yang pergi mengunjungi sebuah kafe-resto, The Old Pals, yang mempunyai jasa pencarian sahabat pena. Tujuan awal Bela kesana adalah untuk melihat bagaimana isi kafe itu dan juga ingin tahu mengenai jasa sahabat pena ini.

Setelah mendengar penjelasan yang diberikan oleh pelayan disana, Bela semakin penasaran dan akhirnya memutuskan untuk mencari sahabat pena. Bela merasa tidak ada salahnya mencoba karena dia tidak akan dirugikan apapun dalam melakukan hal ini. 

Ada dua cara untuk mendapatkan sahabat pena. Pertama, kita menulis sebuah surat. Dari kertas dan amplop sudah disediakan di kafe.

Isi surat yang dibuat harus memuat perkenalan diri, dan sedikit membahas tentang diri kita seperti hobi, kesukaan dan pekerjaan tapi tidak boleh memberitahukan informasi pribadi seperti nama lengkap, nomor telepon, dan alamat rumah.

Setelah surat selesai dibuat, pelayan kafe akan memastikan isi surat tidak melanggar ketentuan yang sudah ada lalu kita bisa memasukan surat ke dalam amplop yang kemudian pelayan akan memasukannya ke dalam loker yang sudah dinomori. Bela memakai cara pertama ini. 

Sementara Rio menggunakan cara yang kedua. Pada meja konter tempat mencari sahabat pena, diujung sisi kiri terdapat sebuah kotak yang diisi oleh berbagai macam warna bola yang di dalam bolanya terdapat nomor.

Pelanggan akan mengambil satu bola dan membuka nomornya lalu memberikan nomor itu kepada pelayan. Selanjutnya, loker dengan nomor yang sama akan diambil suratnya. Pemilik nomor bisa membalas surat dari dalam loker.

Untuk menjaga keamanan antara pelanggan, selama setengah tahun, surat hanya bisa dikirimkan ke kafe. 

Pelanggan akan meninggalkan kontak yang bisa dihubungi entah itu nomor telepon atau email, juga nama yang mereka pakai pada surat ke sahabat penanya.

Jika ada surat balasan untuk mereka, maka pelayan akan memberikan informasi kepada pelanggan yang bersangkutan. Begitulah Bela berkenalan dengan Rio. 

Setelah berkenalan selama satu tahun, karena memiliki hobi yang sama, Bela dan Rio akhirnya membuat akun menulis bersama di sebuah platform.

Dari sana, mereka semakin sering berkomunikasi dan bertukar kontak untuk berbincang secara langsung, namun mereka berdua belum pernah bertatap muka dan mengetahui wajah satu sama lain.

Semakin Bela mengenal Rio, dia tahu kalau lelaki itu memiliki tempramen yang buruk dan juga mudah tersinggung. Bela sering kali bertengkar dengan Rio walau pada akhirnya mereka berbaikan. 

Karena itu, melihat bagaimana Rio membalas pesannya, Bela bisa membayangkan dua skenario. Jika dia berhenti membahas ini dan mengalihkan pembicaraan, Rio tidak akan marah. Lain hal jika Bela terus membahas hal ini, Rio akan kesal dan memakinya.

Dan tentunya Bela tentu memilih yang kedua. Dia tidak ingin menambah masalah di hari pertamanya bekerja. 

To: Rio

From: Lala

Jangan marah!! Lihat, aku memakai gelang yang kau berikan. (gambargelang.jpg)

Terlalu asik memandangi ponsel, Bela menabrak sesuatu yang keras namun tidak sakit. Kepalanya mendongak untuk mendapati Yoga sedang meandanginya seolah Bela adalah semut yang baru saja mengganggunnya.

Terkejut melihat lelaki yang dia tabrak adalah Yoga, Bela segera meminta maaf. "Maaf, Pak."

"Kalau lagi jalan jangan lihat ponsel." tegur Yoga yang berlalu meninggalkan Bela. Takut Yoga akan berbalik dan memarahinya, Bela segera berlari masuk ke dalam ruangannya. 

Bela membuka pintu ruangan sekretaris dan menutupnya kembali dengan cepat. "Kenapa, Bela?" Melihat Bela yang seperti dikejar-kejar membuat Sarah heran. Tidak hanya Sarah, Dina juga menatap Bela bingung dan menunggu jawabannya.

"Bertemu Pak Yoga." penjelasan singkat Bela itu langsung dimengerti oleh Sarah dan Dina. Siapa pun pasti ingin berlari dari lelaki bringas itu. "Ini arsip nota pembelaannya, Dina." Arsip itu Dina ambil dan dia baca.

"Thank you, Bela." Wajah suram Dina berubah menjadi cerah. "Dina, coba kamu lihat apa yang salah dari nota pembelaan yang kamu buat." Sarah yang tadi duduk pada mejanya kini berjalan menghampiri meja Dina. 

"Aku sebenarnya mengambil contoh dari website yang disarankan oleh mesin pencari." aku Dina sambil menunjukan contoh yang dia maksud. Membaca isi contoh itu Sarah mengerti kenapa Yoga marah.

Memang contoh itu tidak salah juga tapi memang bentuk dari nota itu terlihat santai dan tidak serius. Sebagai firma hukum yang mempunyai reputasi, tentu saja ada standar dalam menulis setiap dokumen hukum yang dikeluarkan oleh mereka.

"Lain kali jangan ambil contoh dari internet seperti ini. Kita punya format khusus dan standar yang harus dipakai saat membuat dokumen. Jadi lebih baik kamu ambil salah satu dokumen di ruang arsip." 

"Iya." Dina mengangguk patuh. Melihat ini Sarah merasa pening. Dia tidak tahu apa Dina benar-benar mengerti atau hanya dimulut saja. Kesalahan seperti ini bukan pertama kali Dina lakukan.

Sarah sudah sering memberitahunya untuk mengecek dan mengambil contoh di ruang arsip atau jika dia malas, di komputer yang dia gunakan pasti ada dokumen untuk kasus-kasus sebelumnya.

Dina bisa membukanya dan mencontoh dokumen tersebut dan mengganti kata-katanya untuk disesuaikan dengan kasus yang mereka tangani saat ini tapi setiap kali Dina pasti lebih memilih untuk mencari di internet dan tidak bertanya kepada Sarah sama sekali. 

Terkadang Sarah tidak punya waktu untuk mengecek setiap dokumen yang Dina buat. Ada satu manager partner, tiga partner, dua advisor, empat pengacara, dua pengacara junior dan dua paralegal di firma hukum ini. Sementara hanya ada tiga sekretaris di sini, Sarah, Dina dan Karin tapi semenjak Karin hamil, dia sudah jarang sekali masuk.

Tugasnya semakin banyak dan Sarah sering lupa untuk memeriksa Dina sehingga kejadian-kejadian seperti ini sering kali terjadi. Karena itu, Sarah sudah memutuskan untuk lebih keras kepada Bela agar beban pekerjaannnya jauh lebih ringan walau Bela hanya disini sampai Karin kembali. 

"Bela, sini aku akan memberi tahumu apa tugasmu selama satu bulan ke depan." Sarah mengajak Bela duduk di mejanya. Bela menarik bangku yang ada di depan meja Sarah dan duduk.

"Karena kau baru saja masuk, maka dari itu untuk sekarang tugasmu adalah mengatur jadwal kantor. Dari pertemuan pengacara dengan klien, panggilan dari pengadilan, kantor polisi dan lainnya, Untuk sekarang ini, kau yang menangani." 

Sarah menarik laci di sisi kanan mejanya dan mengeluarkan catatan miliknya.

"Ini buku catatan jadwal. Jadwal pasti sudah ada untuk satu bulan ke depan. Lalu ini," Sarah menunjuk pada halaman yang dia maksud.

"Ada beberapa yang sudah aku tandai, ini jadwal tahunan di sini. Seperti yang kau tahu, Firma hukum kita ini bekerja sama dengan DS grup. Mereka adalah klien utama kita. Urusan legal perusahaan itu dan segala hal yang berhubungan dengan hukum termasuk surat kerjasama dan surat kerja karyawan dibuat oleh kita." Sarah berhenti sesaat sebelum melanjutkan.

"Yoga yang memegang DS grup dan dia punya tim sendiri untuk mengurus itu. Jadi banyak jadwal mereka yang akan kita ikuti juga seperti Annual greeting party, dan perayaan lainnya. Ini sudah aku masukkan ke dalam jadwal mengikuti tanggal di tahun-tahun sebelumnya. Jika sudah ada jadwal pasti jangan lupa kau ubah, ya. Sampai disini apa kau paham?"

Bela yang sejak tadi mendnegarkan ucapan Sarah mengangguk mantap seperti murid yang sedang diberikan pengarahan oleh gurunya. 

"Bela," panggil Sarah dengan menggenggam tangan Bela. Perlakuan Sarah ini membuat Bela bingung dan dia berusaha menarik tangannya kembali namun Sarah menggenggamnya dengan erat.

Diam-diam Sarah melirik ke belakang Bela untuk melihat Dina yang sepertinya sibuk dengan nota pembelaannya. Bela mengikuti arah pandang Sarah lalu balik memandang Sarah

"Ya?" jawab Bela ragu-ragu dengan suara pelan.

"Aku mohon," Sarah berbicara dengan pelan dan hampir berbisik. Ini membuat Bela semakin bingung dan merasa tidak nyaman.

"kalau ada yang tidak kau mengerti tolong bertanya kepadaku dan jangan kau pikirkan sendiri . Jangan bertanya kepada Dina dan tidak mengambil keputusan sendiri. Apa kau mengerti?"

Tiga bulan belakangan ini Sarah mengerti betapa pentingnya rekan kerja yang kompeten. Selama ini, Sarah selalu merasa kesalahan-kesalahan Dina tidaklah besar tapi ketika mereka hanya berdua dan Sarah harus selalu membenarkan kesalahan Dina.

Pekerjaan miliknya sudah menumpuk ditambah Sarah harus memberbaiki kesalahan Dina, itu membuatnya tertekan.

Karena itu, walau hanya tiga bulan saja, dia berharap banyak kepada Bela agar tiga bulan kedepannya Sarah punya kehidupan kerja yang jauh lebih baik. 

Dalam tekanan Sarah yang seperti itu, Bela tentu tidak bisa menolak. Lagi pula sudah wajar baginya untuk bertanya jika tidak mengerti karena Bela hanya anak baru.

Walau pernah menjadi seorang sekretaris dan manajer aktor, Bela belum pernah menjadi Sekretaris legal jadi banyak yang perlu dia pelajari.

Pada akhirnya Bela mengangguk dan memberikan tatapan meyakinkan kepada Sarah.

Untungnya, Bela bukan seseorang yang suka mencari cara sendiri jika dia baru memulai sesuatu.

Bela akan bertanya sebanyak apapun dan sesering apapun ketika dia belum memahami sesuatu. Bela juga tidak berani mengambil keputusan sendiri kalau pengetahuannya mengenai suatu bidang belum cukup.

"Aku pasti akan bertanya padamu kalau tidak mengerti. Kuharap kau tidak bosan." 

Sarah merasa lebih tenang. "Sekarang kau catat kontak penting dan juga lihat jadwal untuk besok lalu konfirmasi kepada yang bersangkutan mengenai jadwal itu. Ingatkan saja mereka kalau mempunya janji dengan kita dan tanya apa akan tetap datang lalu akan datang jam berapa. Pastikan kedua pihak oke dengan jadwal.”

Bela meninggalkan meja Sarah dan kembali duduk pada mejanya.

Sisa hari kerjanya Bela sibukan dengan menghubungi banyak orang untuk memastikan jadwal hingga tiga hari ke depan. Tanpa sadar, hari pertama Bela bekerja berlalu begitu saja.

Meregangkan badannya yang kaku karena terlalu lama duduk, Bela menoleh ke meja yang kosong di sebelahnya. Saat makan siang, Sarah pergi bersama Pak Andreas ke DS Grup dan sepertinya tidak kembali lagi ke kantor.

Sementara Dina tadi sudah berpamit pulang ketika Bela sedang menerima telepon.

Bela mematikan komputer lalu merapikan mejanya. Memasukan buku catatan dan juga ponsel ke dalam tas.

Setelah memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, Bela meninggalkan kantor. Melihat jam pada tangan kirinya, Bela mengerang.

Pada jam seperti ini, dimana waktu pulang kantor, lift pasti penuh. Saat masih dalam masa pelatihan, Bela perlu menunggu sekitar lima belas menit untuk bisa masuk ke dalam lift.

Bela berjalan keluar kantor dengan lunglai menuju area lift. "Oh, tunggu, tunggu!" ujar Bela ketika melihat ada lift yang terbuka.

Sepertinya seseorang baru saja masuk ke dalamnya. Bela segera berlari dan masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift tertutup dan menampakkan pantulan wajah dari penumpang lift, mata bulat Bela melebar.

Tepat di belakangnya, Yoga berdiri. Mata mereka tidak sengaja bertemu dari pantulan di pintu lift. Merasa canggung, Bela menganggukan kepalanya, menyapa. 

Yoga bisa merasakan kalau perempuan di depannya ini takut kepadanya. Tubuh perempuan itu berdiri tegak dan berusaha untuk tidak menyenggolnya sama sekali seolah hal yang buruk bisa terjadi jika dia bersentuhan dengan Yoga.

Ini baru hari pertamanya bekerja, Yoga tidak mengerti kenapa perempuan itu sudah takut melihatnya. 

Ah, Sepertinya karena tadi dia memarahi Dina. Lucu juga. Tidak sadar karena terlalu mengamati Bela, Yoga jadi terus menerus memandang Bela. 

Itu membuat Bela merasa tidak nyaman. Bela tidak tahu kenapa Yoga terus memandangnya seperti itu. Apa ada sesuatu di kepala atau pundaknya?

Tapi Bela tidak bisa mengingat apa yang salah dengannya. Sepertinya dia sudang mengikat rambutnya dengan rapi dan tidak ada sesuatu selain tas yang menggelantung di pundaknya.

Sibuk dengan pikirannya masing-masing keduanya hanya diam dan saling memandang. Yoga yang memandang Bela langsung dan Bela yang memandangnya dari pantulan di pintu lift. 

Perjalanan turun lift yang hanya sebentar itu terasa berabad-abad lamanya untuk Bela. Maka ketika pintu terbuka lebar Bela merasa tuhan begitu menyayangi tapi karena terlalu sibuk mensyukuri dia tidak cepat berjalan keluar membuat Bela didorong-dorong dan di sela oleh penumpang lift lainnya.

Meringkukan badannya dan berusaha menyeimbangi diri agar tidak jatuh dari dorongan manusia itu, Bela perlahan keluar dari lift tapi sialnya dia tersandung dan hampir menyerusuk ke depan.

Beruntung Yoga dengan sigap menarik tangan Bela hingga pundaknya menabrak dada bidang Yoga. "Kau tidak apa-apa?" tanya Yoga yang tidak menyuarakan rasa khawatir sama sekali. Dia memang hanya basa-basi.

Bela mengangguk, "Terima kasih." Jantungnya hampir copot ketika hampir jatuh tadi.  

Baru saja Yoga akan melepas genggamannya pada tangan Bela, matanya menangkap benda yang tidak asing melingkar di tangan Bela. Ingin melihat benda itu lebih dekat, Yoga mengangkat tangan Bela mendekati wajahnya.

Bela yang tangannya ditarik dan dibawa mendekat ke arah wajah Yoga langsung menarik tangannya kembali dan mundur satu langkah.

Dia memegangi tangannya seolah Yoga akan mengambilnya kalau Bela tidak menyimpan tangannya baik-baik. Tanpa perlu Yoga mendengar dia tahu kalau Bela mempertanyakan tindakannya.

"Dari mana kau mendapatkan gelang itu?" Seingatnya dia hanya membuat satu gelang itu dan orang yang dia berikan bukan perempuan ini, setidaknya itu pendapat Yoga. 

Memegang gelang yang ditanya oleh Yoga, Bela menatap gelang itu lama sebelum menatap Yoga kembali. "Kurasa itu pertanyaan pribadi." jawab Bela yang enggan memberitahu.

Dia tidak merasa punya hubungan dekat dengan Yoga jadi Bela tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.

Berbeda kalau Sarah atau Dina yang menanyakan hal yang sama kepada Bela, tentunya dia akan menjawab. Yoga mendengus kesal mendengar jawaban Bela. Dia yakin perempuan ini sudah salah paham.

"Jangan salah paham, aku tidak tertarik kepadamu tapi aku tertarik dengan gelangmu karena aku yakin aku hanya membuat satu gelang itu." 

Mendengar ucapan Yoga, Bela merasa dipermalukan. Dia juga tidak berpikir kalau Yoga tertarik kepadanya. "Aku tidak berpikir begitu!" sanggah Bela yang malah membuatnya terlihat tidak meyakinkan.

Yoga mencemooh. "Aku tidak peduli. Kau cukup memberi tahu darimana kau dapat gelang itu." Yoga semakin tidak sabaran.

Dia merasa perempuan ini menghabiskan waktunya hanya untuk pertanyaan mudah. Padahal dia hanya perlu menjawab dan Yoga akan segera pergi dari sana.

"Temanku." jawab Bela pada akhirnya. 

"Lala?" Yoga menduga teman yang Bela maksud adalah Lala, perempuan yang dia berikan gelang itu. Tapi reaksi Bela selanjutnya membuat Yoga meragukan dugaannya.

"Dari mana kau tahu nama itu?" Bela menatap Yoga horor. "Tidak ada orang yang tahu aku memakai itu."

Dia berjalan mundur semakin menjauh dari Yoga. Perkataan Bela itu sama mengejutkannya untuk Yoga.

Perempuan ini bukan mendapatkan gelang itu dari Lala tapi dia sendiri adalah Lala, sahabat penanya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status