Share

Dendam yang Belum Dituntaskan

Althea berulang kali membaca berkas yang diberikan oleh Agung Permana untuk memastikan nama Joan Alexander adalah laki-laki yang ia kenal dan sialnya, segalanya benar. Joan Alexander, klien Agung Permana itu adalah seorang CEO yang sudah menolongnya setahun silam.

"Arum Kenanga?"

Tubuh Althea seketika menegang hebat usai mendengar namanya dipanggil, maniknya melebar sempurna dan pandangannya seketika mengarah pada sosok si pemanggil.

Althea seketika bangkit dari duduknya dan mendapati Joan Alexander di hadapannya. "Joan? A-Apaan-apaan kamu?" Althea seketika menarik Joan untuk ke ruangannya dan menutup pintu ruangannya dengan cekatan usai memastikn tidak ada seorang pun yang melihatnya.

"Surprise!!" ujar Joan dengan senyum sumringahnya, pandangannya pun penuh binar menatap perempuan yang sudah memiliki identitas baru juga wajah baru itu.

"Surprise apa-apaan ini, Jo? Kenapa kamu tiba-tiba menjadi klien dari Mas Agung? Kenapa kamu tidak mengatakannya kepadaku? Hum?" cecar Althea panjang lebar.

Joan menghela napasnya panjang, laki-laki yang merupakan CEO itu melepas kaca mata hitam yang membingkainya. "Arum Kenanga...."

"Jangan panggil aku dengan nama itu, Jo! Sudah aku bilang Arum Kenanga sudah mati! Aku Althea!" tegas Althea dengan penuh penekanan.

"Oke-oke, baiklah Althea! Dengarkan aku baik-baik! Aku sama sekali tidak menduga jika perusahaanku mengambil properti dari perusahaan Agung. Aku baru mengetahuinya beberapa saat lalu dan ya di sinilah sekarang aku." Joan menjeda sejenak ucapannya, sembari memasukan tangannya pada saku coat hitam yang ia pakai.

"Lagipula, bukankah sebuah keuntungan bagimu karena aku juga ikut campur pada urusanmu? Aku yakin kamu membutuhkan bantuanku untuk membalaskan dendammu itu, Althea," ujar Joan Alexander.

"Aku bisa melakukannya sendiri, Jo! Kamu tidak perlu menjerumuskan diri untuk terjun ke masalahku!" timpal Althea dengan suara yang dingin.

Joan seketika mencubit hidung Althea dengan gemas. "Dasar keras kepala!"

"Sudahlah, mau atau tidak mau, aku memaksa! Aku akan ikut membantumu untuk menuntaskan balas dendammu!" tegasnya.

"Sekarang antarkan aku ke ruangan Agung Permana, aku ingin membahas masalah properti yang akan dibeli perusahaanku," lanjut Joan dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

Althea merutuk kesal, perempuan itu menyambar berkas yang ada di atas mejanya. "Kamu seorang CEO, Jo! Tidak semestinya kamu mengurus hal sepele seperti ini," ketus Althea sembari melenggang keluar dari ruangannya.

Kekehan kecil Joan keluarkan begitu saja sembari mengekori Althea yang sudah lebih dahulu pergi tanpa permisi. "It's for you my spesial queen. Jika bukan karena kamu, aku tidak akan turun mengurus hal seperti ini," gumam Joan lirih yang tak bisa didengar Althea sedikit pun.

Langkah panjang Althea berhenti di depan ruangan Agung Permana, kemudian diketuknya perlahan hingga laki-laki yang ada di dalam itu mengizinkannya masuk.

"Selamat siang, Pak! Klien Bapak, Joan Alexander telah tiba," pungkas Althea.

"Oh! Baiklah, ajak masuk, Althea!"

Althea mengangguk dan segeralah ia mempersilakan Joan duduk di hadapan Agung Permana, sedangkan Althea mengambil duduk di sisi Agung Permana sembari membuka berkas yang telah laki-laki itu berikan kepadanya.

Percakapan mulai serius, mengenai beberapa properti yang akan Joan beli untuk keperluan perusahaannya, hingga akhirnya kesepakatan antara keduanya pun berlangsung.

"Lain kali, saya akan melakukan investasi di perusahaan properti Anda jika diperkenankan. Saya cukup tertarik, apalagi setelah mendengar penjelasan Anda, Pak Agung." Joan mengembangkan senyum sumringahnya dan mengulurkan tangannya.

"Dengan senang hati, Pak Joan." Agung Permana menjabat tangan Joan Alexander.

"Saya juga berterima kasih atas kesepakatan kita."

"Tidak masalah, saya menyukai properti Anda dan itu adalah alasan saya untuk melakukan investasi."

"Sekali lagi terima kasih."

Joan Alexander mengangguk kecil menimpali sembari melepaskan jabat tangannya. "Kalau begitu saya permisi." Joan Alexander mengembangkan senyum kecil sekaligus gerlingan mata kepada Althea yang ada di sisi Agung Permana.

Diam-diam Althea menghela napas sembari merutuk dalam batinnya. Selama percakapan berlangsung, sesekali Joan memang mengambil pandangan ke arahnya dan hal itu sedikit menyebabkannya gusar.

Kepergian Joan Alexander menyisakan Althea dan Agung Permana yang ada di ruangan tersebut. Wajah-wajah sumringah Agung masih tercetak jelas, apalagi usai mencapai kesepakatan dengan Joan Alexander, kliennya.

"Selamat, Pak! Saya ikut senang dengan kesepakatan Pak Agung dengan Pak Joan tadi," pungkas Althea sumringah.

"Terima kasih, Althea. Hari ini menjadi hari yang baik untukku," pungkas Agung.

"Kalau begitu, sekarang kembalilah ke ruanganmu. Aku akan mengirimkan jadwalku untuk besok dan lusa."

Althea mengangguk patuh, perempuan itu lantas bangkit dari duduknya untuk meninggalkan ruangan Agung Permana. Tetapi sialnya, sudah terlalu lama Althea duduk dan tubuhnya sedikit sempoyongan apalagi pusing sedikit menghampiri kepalanya.

"Al-Althea? Kamu baik-baik saja?" Suara Agung menyapa indera pendengaran Althea, pasalnya tiba-tiba perempuan itu sempoyongan dan hampir terjatuh jika Agung tak meraih pinggangnya hingga menyebabkannya jatuh di pangkuannya.

Althea menggeleng sembari memijit keningnya. "Sa-Saya sedikit pusing, Pak," ujar Althea jujur.

Seketika Agung Permana menjadi risau dengan keadaan Althea, sekretarisnya itu. "Kamu istirahat dulu ya, sepertinya kamu kelelahan. Saya yakin kamu belum makan tadi siang." Agung Permana tanpa aba-abas lagi segera membopong Althea menuju sofa di ruangannya. Laki-laki itu merebahkan Althea yang setengah lemas ke sofanya.

"Saya izin lepas sepatu kamu ya," pungkas Agung dan hanya diangguki lemah oleh Althea.

Usai mendapatkan persetujuan dari Althea, segeralah Agung melepaskan sepatu heels hitam yang dipakai Althea, hingga terpampanglah kaki mulus Althea. Satu hal yang menyebabkan Agung Permana terdiam usai melepaskan sepatu heels dari kaki Althea, laki-laki itu melihat ada tanda lahir di tumit Althea.

'Arum Kenanga?' ingatan Agung Permana seketika kembali jatuh pada Arum Kenanga, mendiang istrinya. Laki-laki itu cukup terkejut pasalnya tanda lahir di kaki Althea benar-benar sama seperti milik mendiang istrinya, tepat di tumit.

Agung Permana lantas menatap Althea yang setengah tak sadarkan diri itu, dilihatnya lekat-lekat dan perempuan itu berbeda dari mendiang istrinya. 'Tanda lahir seperti ini, bisa saja orang lain punya, bukan?' batin Agung menepis kegundah-gulanannya.

"Althea? Saya akan belikan kamu makan siang dan obat ya, saya yakin kamu belum makan," pungkas Agung.

Althea menggeleng lirih sembari menggenggam tangan Agung Permana tanpa permisi. Tatapannya pun sedikit sayu dan lemah. "Saya baik-baik saja, Pak. Tidak perlu beli obat," ujar Althea.

"Tapi, Althea? Kondisimu..."

"Saya baik-baik saja, Pak. Saya hanya butuh istirahat sebentar," pungkas Althea berusaha menenangkan Agung yang diliputi risau.

"Baiklah jika begitu. Jika ingin sesuatu katakanlah!"

Althea mengangguk dan barulah ia melepaskan genggamannya pada Agung Permana. Agung Permana terdiam usai merasakan genggaman tangan Althea terlepas dari tangannya. Entah mengapa Agung merasakan ada sesuatu tak asing ketika Althea menggenggam tangannya, sesuatu yang hilang seolah kembali lagi di tangannya.

"Pak? Boleh saya minta air minum?"  celetuk Althea seketika menyentak lamunan Agung yang masih memikirkan tangan Althea itu.

Agung Permana mengangguk dengan cepat. "Saya ambilkan."

Langkah panjang Agung pun melenggang, mengambil setengah gelas air mineral dan segeralah diberikannya air mineral itu pada Althea setelah dibantunya perempuan itu duduk di sofa.

Althea meneguk habis air mineral yang diberikan oleh Agung tersebut hingga tak tersisa, kemudian barulah ia memberikan gelas kosong itu kepada Agung lagi. "Terima kasih, Pak."

"Sama-sama. Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"

Althea mengangguk sejenak. "Sepertinya darah rendah saya kambuh tadi," ujar Althea kemudian mengembangkan senyuman tipisnya.

"Syukurlah kalau begitu. Aku akan membelikanmu makanan yang enak setelah ini."

"Eh? Tidak perlu, Pak."

"Tidak apa-apa! Anggap saja ini imbalan karena kamu sudah berusaha keras."  Agung Permana mengembangkan senyumnya hingga merekah sempurna.

"Ayo! Saya akan traktir di kantin!" ajak Agung sembari mengulurkan tangannya, mengajak Althea untuk makan bersamanya.

Althea ragu-ragu menerima uluran tangan Agung Permana, tetapi pada akhirnya perempuan itu pun menerima uluran tangan laki-laki yang ia cintai itu. Kapan lagi makan dengan laki-laki yang masih dianggapnya sebagai suami? Apalagi setelah sekian lama.

Segeralah Althea bangkit dari duduknya menyejajarkan diri dengan Agung Permana, sialnya tubuhnya kembali sempoyongan dan ia pun kembali jatuh di sofa. Sialnya, Agung Permana pun turut serta jatuh bersamanya di sofa, keduanya sama-sama terjebak dengan posisi yang sedikit tak mengenakkan.

Agung berada di atas Althea dan jarak antara keduanya hanya sebatas satu jengkal tangan. Lengan Agung pun masih merengkuh pinggang Althea dan semakin menyebabkan posisi keduanya intim. Keduanya bahkan bisa merasakan deru napas satu sama lain dan iris keduanya saling mengunci hingga tatapan intens pun tak terelakan antara keduanya.

Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keduanya, tetapi jantung mereka sama sekali tidak bisa dikontrol, dipenuhi debaran hebat dengan wajah yang sedikit merona.

Cantik, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Althea di mata Agung Permana. Laki-laki itu tersihir dengan kecantikan sekaligus kemolekan perempuan yang menjadi sekretaris pribadinya itu. Wajah rupawan, bibir plum seksinya, maniknya yang menggoda, leher jenjangnya yang putih dan surai legamnya yang berombak, semuanya pas pada Althea dan entah mengapa timbul gairah berdesir di hati Agung Permana. Hingga tanpa permisi, Agung Permana mengikis jarak dengan perempuan itu.

Jantung Althea semakin memburu apalagi perlahan dilihatnya Agung memejamkan manik sembari mengikis jarak dengannya. Apa yang akan Agung lakukan kepadanya? Apakah Agung akan mengecupnya? Itulah pertanyaan besar di benak Althea.

Hingga semuanya buyar ketika suara ketukan pintu menyentak keduanya. Agung dan Althea segera bangkit dari posisi yang tidak mengenakkan itu.

"Ma-Maafkan saya, Althea. Ba-Bagaimana keadaan kamu? Ba-Baik?" tanya Agung sedikit gelagapan.

"Ti-tidak apa-apa, Pak. Sa-Saya sudah ba-baik-baik saja, Pak."

"Baguslah kalau begitu. Se-Sekarang kamu boleh keluar," ujar Agung Permana sedikit canggung dengan wajahnya yang merona.

Althea segera manggut-manggut kecil, perempuan itu melenggang dengan buru-buru usai memasang kembali heels pada kakinya. Perempuan bertubuh molek itu lantas keluar ruangan Agung Permana dan sialnya, manik Althea dibuat terkejut ketika baru menginjakkan kaki di luar.

Debar gairah Althea hilang seketika dan berganti dengan sebuah kekesalan yang terpendam selama dua tahun lamanya. Nyonya Ayu, ibu dari Agung Permana berada di hadapan Althea. Perempuan paruh baya itu masih sama seperti dulu, berwajah tegas dengan tatapan tajamnya. Oh! Sungguh, muak sekali Althea melihat perempuan yang sudah menjerumuskannya pada lubang kematian.

"Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Minggir! Saya mau lewat! Saya ingin menemui anak saya!" tegas perempuan paruh baya itu menyentak lamunan Althea.

Suara tegas, ketus, dingin masih sama seperti dulu. 'Belum saatnya kamu mengungkap segalanya, Althea' batin Althea.

"Maaf, Bu. Silakan, Masuk!" ujar Althea sopan dengan senyum terkembang di bibirnya, barulah perempuan itu melenggang dari tepi perempuan paruh baya itu.

Senyum kecut Althea terlukis begitu saja diliputi kesal. 'Sepertinya dia tidak memiliki rasa bersalah atas apa yang dia lakukan kepadaku,' batin Althea, kemudian mendecih sebal.

'Lihat saja! Sebentar lagi kamu tidak akan memiliki kebebasanmu,' batin Althea lagi lantas menuju ke ruangannya dengan kesal.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status