Share

DANURWENDA - Rahasia Putri Senapati
DANURWENDA - Rahasia Putri Senapati
Author: Nandar Hidayat

1. Sebuah Permintaan

Seekor kuda tampak berlari melintasi jalan yang membelah belantara rimbun. Di atas hewan tunggangan ini, seorang lelaki setengah baya agak berdiri mengapit punggung kuda jantan tersebut. Kedua tangannya menggenggam erat tali kekang.

Wajahnya menyiratkan kecemasan. Keringat sebesar biji jagung menetes di dahi. Dia tampak terburu-buru. Bukan karena dikejar waktu, tetapi sedang menyelamatkan diri dari kejaran beberapa orang yang memburunya.

Sementara itu, tiga orang yang wajahnya ditutupi topeng terbuat dari kayu tipis, berkelebat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu meringankan tubuh. Mereka mengejar si penunggang kuda.

Dua orang di kanan dan satu lagi di kiri jalan. Hebatnya, meski kuda berlari begitu kencang, mereka bertiga mampu mengejar bagaikan elang yang terbang sambil meliuk-liuk.

Ketika jaraknya sudah semakin mendekat, sekitar lima tombak lagi bisa mengejar si penunggang kuda. Salah satu orang bertopeng melemparkan senjata berupa anak panah berukuran kecil.

Syutt!

Namun, naluri si penunggang kuda cukup kuat juga. Dia merundukkan badan, maka lewatlah senjata kecil itu hanya menemui tempat kosong.

Syutt!

Sekali lagi serangan datang dari sebelah kanan. Si penunggang kuda merebahkan badannya ke sebelah kiri punggung kuda. Selamat lagi untuk kedua kalinya.

Akan tetapi serangan terus berlanjut. Dalam situasi seperti itu tentu saja si penunggang kuda tidak bisa bergerak bebas. Selain menyelamatkan diri, juga harus mengendalikan kuda dan menjaga barang penting yang dibawanya di balik baju.

Sampai suatu ketika akhirnya tiga orang bertopeng kayu memilih untuk melukai hewan tunggangannya.

Syutt!

Cepp!

Anak panah kecil itu tepat mengenai paha kanan kaki depan. Tak ayal lagi kuda ini langsung tersungkur.

Sementara si penunggang kuda sudah waspada. Sebelum kudanya terjungkal dia sudah melenting ke atas setinggi dua tombak dari punggung kuda. Dia lalu bersalto satu kali guna menyeimbangkan diri.

Begitu mendarat di tanah, posisinya sudah dikepung tiga orang bertopeng yang kini sudah menggenggam senjata masing-masing berupa golok.

Kejap berikutnya tiga serangan beruntun memburu si penunggang kuda ke tiga titik berbahaya pada tubuhnya. Namun, lelaki setengah baya ini mampu menghindari ketiganya dengan sekali berkelit.

Sayangnya si penunggang kuda tidak membawa senjata yang bisa melindungi dan mungkin bisa menyerang balik. Sehingga dia lebih banyak menghindar saja.

Tetapi tentu saja hal itu tidak bisa bertahan lama. Selain karena tenaganya yang mulai menurun, gerakannya juga melambat. Akibatnya senjata lawan berhasil menggoreskan luka di kulitnya.

Srett!

Meski tipis, tapi terasa perih karena bercampur keringat dan ini sangat menggangu konsentrasinya. Akhirnya sabetan demi sabetan menghujani badannya.

Darah menetes dari luka-lukanya yang menguak. Pandangan lelaki setengah baya ini mulai kabur, kepalanya juga terasa berat.

Sementara tiga orang bertopeng ini sepertinya tidak mau memberi ampun. Mereka memang berniat menghabisi si penunggang kuda.

Namun, di saat-saat genting seperti itu tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat bersama sebuah pukulan jarak jauh yang terbentuk dari kumpulan tenaga dalam.

Wutt!

Blasss!

Tiga golok yang hampir menebas leher, dada dan perut terpental kembali bagaikan menghantam dinding tak kasat mata.

Seorang pemuda tampan tampak sudah merangkul si penunggang kuda yang hendak roboh karena kelelahan.

"Danurwenda!" seru salah seorang bertopeng kayu.

"Berani sekali kau ikut campur!" maki yang lainnya.

"Gawat, kita menghadapi lawan yang tangguh!" bisik yang satunya lagi.

Danurwenda tampak tenang saja mendudukkan si penunggang kuda ke pinggir jalan. Dia belum melakukan apa pun ketika tiga orang bertopeng menyerbunya.

Namun, begitu satu jangkauan lagi senjata mereka menemui sasaran.

Plakk!

Tiga senjata mereka terlepas dari genggaman. Wajah ketiganya seketika pucat.

"Edan, gerakannya sangat cepat sekali!" ujar salah seorang bertopeng.

"Benar, padahal tadi dia masih membelakangi kita!" sahut yang lain.

"Mau main curang, hah!" hardik Danurwenda.

Danurwenda seorang pendekar muda yang memiliki tubuh gagah ideal. Tidak terlalu kekar, juga tidak kurus. Bentuk wajah yang lonjong dengan garis sempurna membentuk pesona yang memikat kaum wanita.

Tiga orang bertopeng pantang menyerah, mereka kembali menyerang Danurwenda. Namun, permainan jurus mereka dapat diimbangi si pendekar muda yang asal-usulnya cukup misterius ini.

Di dunia persilatan tidak ada yang tahu dari mana Danurwenda berasal. Orang tua, guru dan dari perguruan mana lahir sebagai pendekar, belum ada yang tahu.

"Kepung tiga arah!" ucap salah seorang bertopeng.

Sekarang mereka lebih ke penasaran ingin menjajal kemampuan pendekar muda tersebut.

"Kenapa cuma tiga, bukannya ada delapan arah?" Danurwenda masih bisa bersikap konyol dengan raut wajah seperti linglung. Kini dia diserang dari tiga arah. Kadang datang secara bersamaan, ada pula menyerang dengan cara bergantian.

Walaupun demikian ternyata si pemuda masih mampu mengimbangi tiga lawannya. Jurusnya selalu tidak mudah ditebak.

"Kau tahu jurusnya yang ini?" tanya salah seorang bertopeng kepada temannya ketika mereka saling bertukar tempat.

"Seperti kata orang, jurusnya tidak bisa  dikenali!" jawab temannya sambil berpindah tempat, lalu dia memberi isyarat kepada temannya dengan kedipan mata.

Maka lawan yang berada di belakang dengan cepat melemparkan senjata rahasia anak panah kecil ke arah leher Danurwenda.

Wutt!

Tepp!

Senjata tersebut terjepit di antara dua jari tangan Danurwenda yang bergerak cepat ke belakang begitu merasakan ada kesiur angin menerpa lehernya.

Si pemuda tersenyum tipis sambil mengacungkan dua jari yang menjepit senjata itu. "Mau curang lagi?"

"Jurus Jepitan Jari Dewa, ternyata bukan omong kosong!" seru si topeng yang melemparkan senjata tadi.

Hebatnya lagi, sekejap kemudian senjata itu meluncur balik ke arah si pemilik. Kontan saja dia tak bisa menghindar karena saking cepatnya luncuran senjata tersebut.

Crepp!

"Ukh...!"

Anak panah kecil ini tepat menancap di tengah-tengah kening. Si topeng yang satu ini langsung roboh.

Dua temannya terkejut bukan main. Nama besar Danurwenda memang bukan cuma isapan jempol belaka. Namun, sepertinya mereka belum putus asa.

"Kurang ajar, terima pembalasan kami!" teriak si topeng di sebelah kanan.

"Aku kira kalian yang akan menyusul dia!" balas Danurwenda. Pertarungan pun berlanjut.

Dalam satu kesempatan, dua orang bertopeng berhasil memungut kembali senjatanya lalu segera digunakan untuk menyerbu Danurwenda.

Seperti tadi, mereka akhirnya merasakan Jurus Jepitan Jari Dewa. Ujung golok mereka terjepit jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan Danurwenda tanpa tergores sedikit pun.

Lebih terkejut lagi keduanya tidak bisa melepaskan senjata masing-masing dari jepitan tersebut.

"Edan, kuat sekali!" Si topeng satu kerahkan seluruh tenaganya, tapi tiada hasil.

Tidak ada cara lain akhirnya mereka melepaskan genggamannya lalu melemparkan senjata anak panah kecil sebelum berbalik mengambil langkah seribu.

Trang!

Trang!

Anak panah kecil itu ditangkis oleh golok yang masih terjepit di jari Danurwenda.

"Ini pembalasan bagi tukang curang!" Danurwenda lemparkan dua golok tersebut ke depan.

Wushh!

Crepp!

Crepp!

Lemparan golok lebih cepat dari gerakan lari mereka. Akhirnya keduanya roboh setelah punggung masing-masing tertembus senjatanya sendiri.

Danurwenda segera berbalik menolong si penunggang kuda. Ternyata kondisinya semakin parah. Sepertinya sudah tidak kuat menahan luka-lukanya.

"Paman, bertahanlah. Aku akan membawa Paman ke tempat tabib!"

"Tidak perlu, Danurwenda!" Si penunggang kuda berkata dengan terpatah-patah karena menahan sakit.

"Jangan khawatir, Paman pasti bisa selamat!"

"Jangan repot-repot, tolong penuhi permintaanku... Ah!"

"Katakan, Paman!"

Si penunggang kuda mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kantung kain tipis, menandakan isinya juga tipis.

"Berikan ini langsung kepada Senapati Mandura!"

Danurwenda menerima bungkusan tersebut yang tidak memakan tempat andai disimpan di balik baju. Sementara si penunggang kuda sudah mulai kejang-kejang.

"Paman, paman!" Danurwenda tampak panik.

"Namaku ... Janitra, ah!"

Si penunggang kuda akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Tiba-tiba telinga Danurwenda menangkap suara angin berdesir dari belakangnya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dik Syabana
suka bgt ,.........
goodnovel comment avatar
devid.sofyan01
lama updatenya
goodnovel comment avatar
Indra Prahasta
Pembukaan yg bagus, lanjut terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status