Share

5. Penculik

Tujuh orang bertopeng seperti memukul dinding batu. Tenaga yang sudah terlanjur dilepaskan tidak bisa dihentikan.

Akibatnya bagaikan burung terbang menabrakkan diri ke tebing, hancur tubuh sampai ke tulang-tulangnya.

Begitu juga yang dirasakan ketujuh orang bertopeng. Tangan mereka yang terkena hantaman jurus Benteng Seribu retak sampai ke tulang. Ketujuhnya terlempar lalu jatuh bergulingan.

"Hahaha … sekarang kalian jadi manusia cacat!" ejek Danurwenda.

Kalau sudah begini apa lagi yang diandalkan. Ibarat burung kalau sayapnya patah sebelah, maka tidak bisa terbang.

Akhirnya mereka memilih mundur. Danurwenda sudah berdiri gagah di samping Prabarini. Sedikit peluh terlihat menetes di dahi.

Prabarini menarik nafas lega setelah situasi menjadi aman. Gadis ini tidak berhenti mengagumi kepandaian Danurwenda.

"Mari kita lanjutkan!" ajak Danurwenda.

Tanpa bertanya lagi Prabarini mengikuti langkah Danurwenda di sebelahnya.

Untuk kembali ke perbatasan kota sebelah timur cukup jauh jarak yang akan di tempuh. Sementara tidak mungkin mereka akan melewati perbatasan sebelah utara.

Danurwenda sedang dicari pihak kerajaan. Prabarini yang merupakan putri Senapati Mandura berada di sisinya, ini akan menimbulkan persepsi lain.

Akhirnya sepasang pemuda ini memilih jalur lain asal tidak melewati kota raja. Mereka menapaki jalan-jalan kecil yang melewati hutan, bukit dan kaki gunung.

Ketika matahari hampir tenggelam di langit barat, si gadis dan pemuda ini sudah hampir sampai di tempat tujuan. Kira-kira sejauh seratus tombak lagi markas tugas Senapati Mandura berada.

"Penjagaan pasti sangat ketat," ujar Danurwenda.

Mereka tidak segera bergerak ke sana, tetapi berhenti dulu di tempat tersembunyi.

"Kalau aku yang datang pasti tidak akan mengalami hambatan!"

Sudah pasti orang-orang di sana terutama Sutasena sedang menantikan kedatangan Prabarini.

"Kau alihkan perhatian, aku akan coba menyusup dari belakang, dari arah lereng gunung!"

"Baiklah, kita berbeda jalan, tapi tetap dalam jangkauan penglihatan. Gelapnya malam tidak masalah buatmu, kan?"

"Tentu, bukan masalah!"

"Kalau begitu aku akan melewati jalan utama dan kau mengikuti dari tempat tersembunyi!"

"Baik!"

Prabarini mengambil jalan utama dan satu-satunya menuju markas tugas ayahnya yang kini dipimpin sang kakak sebagai pengganti.

Sementara Danurwenda mengambil jalur tersembunyi. Dia meloncat dari pohon ke pohon. Bahkan dia sudah melesat jauh mendekati markas tugas, tetapi masih bisa melihat sosok Prabarini.

Gadis cantik putri Senapati Mandura ini membiarkan keadaannya yang sedikit kotor karena keringat dan debu.

Awalnya dia dikawal, tapi begitu sampai cuma sendirian dengan kondisi yang cukup memprihatinkan bagi seorang puti senapati yang biasanya selalu dimanjakan dengan kemewahan.

Prajurit jaga yang mengenalinya sejak dari jauh langsung melakukan tindakan penjemputan.

"Itu Gusti Putri, astaga! Kenapa berjalan sendirian?"

Empat prajurit jaga langsung berlari mengawal meski jaraknya sudah dekat. Mereka langsung membawa masuk ke rumah tinggal.

Sang kakak tentu saja terkejut melihat adiknya dalam kondisi sedemikian rupa.

"Rayi, apa yang terjadi?"

Prabarini langsung duduk dengan wajah muram. Dia sengaja berjalan agak cepat agar nafasnya terlihat terengah-engah. Dia tidak segera menjawab pertanyaan kakaknya.

Sutasena mengerti, maka dia membiarkan saja adiknya menenangkan diri terlebih dahulu. Berjalan sendirian tanpa menaiki kereta kuda dan tidak ada pengawalan, sudah pasti terjadi sesuatu hal buruk padanya.

Setelah Prabarini membersihkan diri, barulah dia menceritakan kejadiannya. Bahwa rombongannya dihadang perampok. Semua pengawalnya tewas. Lalu dia berhasil melarikan diri dan selamat. Tentu saja tidak menceritakan tentang Danurwenda.

Sementara Danurwenda sudah berada di atas pohon paling besar yang tumbuh di halaman belakang. Di bawah pohon ini terdapat barak prajurit.

Penjagaan di sini tidak seketat di depan. Tidak ada yang bertugas di pagar pembatas yang berseberangan dengan lereng gunung. Hanya ada penjaga pintu belakang rumah sebanyak empat orang.

Setelah beberapa lama menunggu tampak Prabarini muncul dari pintu belakang. Pura-pura melihat keadaan. Prajurit jaga langsung memberi hormat. Danurwenda mengerti itu merupakan isyarat untuknya.

Maka dengan ilmu Hampang Awak si pemuda melayang ke atap rumah tanpa menimbulkan suara. Danurwenda mengintip sejenak ke bagian dalam. Mencari di mana jasad Senapati Mandura disemayamkan.

Kemudian dengan menggeser atap rumbia itu Danurwenda berhasil menyelinap ke dalam. Kini dia menggantung di langit-langit lalu bergerak ke atas kamar di mana jasad senapati disimpan.

Di sana tampak Prabarini sedang bersimpuh di samping jasad ayahnya ditemani Sutasena. Gadis ini terisak-isak, tentu saja merasa kehilangan atas kepergian ayahnya.

Danurwenda memperhatikan wajah gadis itu lekat-lekat. Lalu pandangannya beralih ke mayat senapati.

Wajah senapati tampak menghijau seperti lumut. Kadang-kadang seperti gosong. Tidak ada luka lain di seluruh tubuh kecuali di wajah saja.

Karena Prabarini tampak larut dalam kesedihan, maka Sutasena meninggalkannya sendirian. Padahal si gadis sengaja agar bisa memberikan kesempatan kepada Danurwenda.

Begitu Sutasena keluar, Prabarini menutup pintu rapat-rapat walau tidak dikunci. Danurwenda tahu gadis itu sadar dan tahu ada dirinya di atas langit-langit kamar.

Jlek!

Danurwenda mendarat indah di samping jasad senapati, lalu dia langsung duduk memeriksa ulang keadaan jasad senapati untuk memastikan sesuai dengan penglihatannya semula.

"Hanya ini yang bisa dijadikan petunjuk!" tunjuk Danurwenda ke wajah senapati. Suaranya sangat pelan hampir berbisik.

Dua remaja ini tetap merasa tegang karena sewaktu-waktu bisa saja Danurwenda ketahuan.

"Apa yang akan kau perbuat?"

"Ijinkan aku mengambil sedikit darahnya di bagian sini,"

"Untuk apa?"

"Memastikan dia terkena racun atau ilmu apa yang bersarang di wajahnya ini!"

"Cepatlah sebelum kakakku kembali lagi!"

Kemudian Danurwenda mencari alat untuk menggores sedikit kulit di wajah senapati. Dia menemukan pisau kecil dan bumbung bambu kecil sebesar jari tangan untuk menyimpan darah.

Tidak butuh waktu lama Danurwenda sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Nantinya akan dijadikan petunjuk. Untungnya darahnya belum membeku di bagian kulit yang menghijau ini.

"Sudah selesai!" ujar Danurwenda langsung menyimpan bumbung kecil itu ke balik ikat pinggangnya.

Brakk!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Sutasena masuk dengan wajah garang.

"Kurang ajar, lancang!"

Putra sulung sang senapati langsung menarik pedang lalu diayunkan dengan cepat ke leher Danurwenda.

Danurwenda mendorong Prabarini agar menjauh, lalu dia sendiri melengkungkan badan ke belakang seperti gerakan kayang.

Swukk!

Ayunan pedang lewat satu jengkal di atas tubuhnya, tetapi pedang itu berputar cepat kini bergerak menebas dari atas ke bawah.

Tepp!

Untungnya Danurwenda lebih cepat menahan tebasan pedang ini dengan Jurus Jepitan Jari Dewa. Lalu dihentakkan sedikit tangannya.

Plakk!

Pedang patah jadi dua, Sutasena terjengkang dua langkah. Lalu dia ambil sebilah golok yang tergantung di dinding kamar seraya langsung dibabatkan ke kepala Danurwenda.

Sayangnya Danurwenda sudah mundur mendekati Prabarini. Digendongnya gadis itu bagaikan mengangkat benda yang sangat ringan.

"Aku bawa adikmu sebagai jaminan!" kata Danurwenda.

Kemudian pendekar muda ini meloncat ke atas menerobos atap. Hebatnya tidak satu pun potongan atap itu menyentuh tubuh Prabarini.

"Ada penculik, kejar dan tangkap dia!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indra Prahasta
Author yg ini selalu berlatar sejarah, good
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status