Share

Tentang Dia

Sejak dia menghubungiku melalui chat Wa malam itu, aku mulai berani untuk menghubunginya lebih dulu. Kadang aku menelponnya,dan kadang aku hanya berkirim pesan melalui Wa. Akan tetapi aku harus pintar-pintar memilih waktu, aku takut istrinya tahu.

Satu hal yang membuatku sangat bahagia, dia selalu menyambut baik apabila aku menghubunginya terlebih dulu. Dia tidak pernah menolak teleponku, dia selalu membalas pesanku.

Faisal Pranata, sejak pertemuan itu aku gencar mencari tahu tentangnya. Kemampuan analisisku yang di atas rata-rata, membuatku tidak kesulitan untuk mencari rekam jejaknya.

Dia lelaki berdarah biru, dengan karier yang sangat cemerlang. Saat ini dia menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahahan besar, yang bergerak di bidang ekspor impor. Kantornya ternyata tidak begitu jauh dari kantor di mana aku sedang bekerja saat ini. 

Aku ingin sering mengajaknya keluar, walau hanya untuk sekedar minum kopi bersama. Aku selalu beralasan, ingin meneraktirnya sebagia tanda terimakasih karena dia sudah menolongku waktu itu. Akan tetapi dia selalu menolak ajakanku.

Aku paham, sangat riskan baginya berjalan dengan seorang wanita. Mengingat dia sudah beristri dan colleganya di mana-mana.  Satu kali saja dia ketahuan selingkuh, maka aku pastikan kariernya akan hancur.

Hingga sutu ketika, kerinduannku padanya sudah tidak terbendung. Terpaksa aku menyusup ke Kantornya. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia begitu kebingungan melihatku dengan mudah menemuinya. Aku pastikan padanya, bahwa ini aman.  Aku berpura-pura menjadi salah satu Client yang sedang ingin menemuinya.

Aku membawanya pergi makan siang ke tempat yang cukup jauh. Akhirnya aku bisa berduaan dengannya. Hari itu aku begitu bahagia, dan sekaligus aku begitu hancur.Di hari itu aku baru tahu bahwa dia ternyata lelaki setia. Dia begitu mencintai istrinya.

Namun, cintaku yang terlanjur menggebu tak patah arang. Kesetiaanya adalah sebuah tantangan bagiku. Aku akan terus berusaha untuk mendapatkannya. Bagaimnapun caranya.

“Hei … ngelamun terus! Kita sedang dikejar dealine nih!” Suara Nadia mengagetkannku, lamunanku buyar seketika.

“Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Kalau atasan tahu kamu bisa dipecat lho …,” lanjut Nadia menakut-nakutiku.

Kali ini mataku terbelalak. Benar juga ucapan Nadia, duh aku harus bisa kontrentasi bekerja. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku.

“Cri … memikirkan suami orang, itu tidak ada gunanya," ujar Nadia.

“kamu tidak paham Nad,” sanggahku.

“Aku paham Cri, kamu sedang kasmaran. Aku sarankan, akhiri segera. Atau kamu akan hancur nantinya.” Nadia menatapku tajam.

“Apa yang mau diakhiri, diantara kami bahkan belum ada yang dimulai. Kami tidak punya hubungan apa-apa.” Aku sedikit terpancing emosi.

“Oh ya?” Nadia mengangkat kedua bahunya.

“Come on Nadia. Beleave me!” Aku berusaha meyakinkannya.

Nadia menggeleng-gelengkan kepalanya ambil mensedekapkan tangannya di  dada. Sedang aku duduk dengan tertunduk.

“Aku saja yang tak bisa berhenti memikirkannya. Dia baik banget Nad, tampan, mapan pula," ungkapku.

“Kalau dia tampan, kalau dia mapan itu sih rezki istrinya Cri ….” Nadia menyentilku.

“Dan aku harap itu akan menjadi rezkiku di suatu hari nanti Nad.” Aku menengadahkan wajah.

“Gila kamu Cri ….” Nadia meninggalkannku dengan wajah kesal.

Nadia tidak pernah bosan menasehatiku, aku saja yang bebal. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk tidak memikirkan tentang mas Faisal.

***

Seharian bekerja di depan laptop membuat mataku lelah. Aku melirik jam yang berada tepat di hadapanku, jam pulang kantor ternyata masih kurang 30 menit lagi. Aku menarik nafas panjang, kemudian melakukan straching ringan dengan menarik kedua tangan ke atas.

Aku mulai mematikan laptop dan mengemasi barang-barangku. Aku lihat Nadia juga melakukan hal yang sama denganku. Aku berjalan menghampirinya.

“Kita pulang bareng yuk,” pintaku.

“Maaf Cri, aku harus jemput mama,” jawabnya.

“Oh it’s ok,” ucapku sambil mengangkat kedua tangan.

Nadia meraih tasnya, lalu memelukku, “aku duluan ya,” ucapnya.

Nadia izin pulang lebih awal karena mau menjemput mamanya yang baru pulang dar luar kota. Kami memang sering bersi tegang, namun setelah lima menit kemudian semuanya selesai, dan hubungan kami kembali membaik.

Setelah jam pulang kantor tiba, aku segera bergegas untuk pulang. Aku lelah sekali, aku ingin segera sampai di rumah dan istirahat.

Di lift, tanpa kuduga aku bertemu dengan sosok yang sama sekali tidak asing bagiku. Randi, dia sahabat kecilku. Dari kecil kami tinggal dalam satu panti asuhan yang sama.

“Cri . . .,” sapanya sambil tertegun melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya.

“Randi …,” ujarku pura-pura antusias.

Sebenarnya aku sangat malas bertemu dengannya. Aku keluar dari panti gara-gara Ibu panti yang ingin sekali menjodohkan kami.

“Kamu kerja di sini?” tanyanya.

“Iya, baru sekitar dua bulan. Kamu sendiri kenapa ada di sini?” jawabku sambil menanyakan kepentingannya berada di kantor ini.

“Aku melamar kerja di sini, doakan ya semoga diterima. Jadi kita bisa barengan lagi nanti,” ucapnya sambil tersenyum.

“Amin,” responku  dengan penuh kepura-puraan.

Duh, jujur aku tidak suka jika harus bekerja satu kantor dengannya. Kami dibesarkan di panti asuhan yang sama. Sejak Tk, SD hingga kuliah kita selalu di tempat yang sama. Dan sekarang harus bekerja di kantor yang sama pula. Aku sudah sangat bosan selalu satu tempat dengannya. Aku harap dia tidak diterima bekerja disini.

Setelah sampai di lantai satu, aku keluar dari lift lebih dulu, “Cri, tunggu …,” ujarnya sambil mengejar langkahku.

Aku terpaksa menghentikan langkah, “Ran aku buru-buru nih,” kilahku.

“Cri … Bu Fatimah selalu mengkhawatirkanmu lho. Datanglah kepanti sesekali, jenguk beliau," pintanya.

Mendengar nama Bu Fatimah, tidak terasa air mataku menetes. Kerinduanku padanya tiba-tiba menyeruak. Aku teringat jasa-jasanya, aku teringat kasih sayangnya yang tumpah ruah terhadapku. Setelah orang tuaku meninggal, hanya dia yang aku punya di kota ini. Tidak terasa sudah dua bulan aku tidak mengunjunginya.

“Iya Ran, mungkin weekend ini aku akan ke Panti,” ucapku sambil menyeka air mata.

“Baguslah, Bu Fatimah pasti akan senang dengan kedatanganmu nanti,”ungkap Randi sambil tersenyum, aku pun tersenyum.

Randi sangat berbeda denganku, dia begitu berbakti kepada Bu Fatimah. Sampai saat ini dia masih tinggal di Panti, membantu Bu Fatimah mengajar dan mengurus anak-anak.

Sedang diriku, terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku sibuk mengejar mimpi.

Sejak lulus kuliah aku sudah pamit untuk keluar dari panti. Namun Bu Fatimah mencegahku, Beliau ingin aku tetap tinggal disana agar bisa membantunya.

Hingga masalah yang tak pernah kuduga datang. Bu Fatimah menjodohkanku dengan Randi, namun kutolak mentah-mentah. Kami sempat bersitegang, dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari panti tanpa meminta izin pada beliau terlebih dulu.

Aku tahu aku salah, aku telah membuat Bu Fatimah murka. Mungkin niat beliau menjodohkanku dengan Randi itu baik. Namun aku tidak punya rasa sedikit pun pada Randi.

“Ran, taxiku sudah datang. Aku duluan ya,” pamitku.

“Iya, silahkan,” responnya.

“Salam untuk Ibu Fatimah ya,” ucapku sambil tersenyum. Dia hanya meresponku dengan sebuah anggukan kecil.

Aku memilih naik taxi kali ini. Aku ingin segera menghindar dari Randi. Di dalam taxi kupejamkan mata, aku ingin terlelap sesaat untuk menghilangkan penat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status