Share

Vibrasi

Randi menghantarkan kami menemui Ibu Fatimah, “silahkan masuk,” ucapnya sambil membukakan pintu ruang tamu untuk kami.

“Tunggu sebentar, aku panggilkan Ibu dulu,” ucapnya sekali lagi. Dia masuk ke dalam dan meninggalkan kami berdua.

Aku dan mas Faisal duduk di ruang tamu. Aku lihat mata mas Faisal memperhatikan satu persatu foto-foto yang berjejer rapi di dinding.

“Itu fotoku waktu masih kecil Mas …,” ucapku sambil menunjuk pada salah satu foto yang ada di dinding itu.

“Oh ya? Cantik dan imut sekali kamu waktu kecil. Beda sekali dengan yang sekarang, hehe …,” mas Faisal berkelekar.

“Maksud mas aku sekarang jelek ya?” gerutuku dengan memasang wajah cemberut.

“Tidak, kamu cantik juga kok sekarang, hehe ….” mas Faisal terkekeh sendiri.

“Dasar!” hardikku.

Kami terpingkal-pingkal berdua, hingga Bu Fatimah muncul di temani oleh Randi.

“Criana …,” bu Fatimah langsung memeluku. Beliau tersedu, mungkin saking rindunya kepadaku.

“Ibu sehat?” tanyaku.

“Sehat sayang, kamu bagaimna sehat juga kan?” bu Fatimah balik bertanya ke padaku.

“Iya Bu, Criana juga sehat," jawabku.

“Alhamdulillah, Ibu senang kamu datang ke sini, Ibu rindu sekali Cri.” Wajah bu Fatimah berbinar-binar, memancarkan kebahagiaan.

“Sama bu, Cri juga rindu ibu,” ungkapku.

Bu Fatimah melirik ke arah mas Faisal. Mas Faisal mengangguk penuh hormat.

“Siapa dia Cri?” tanya bu Fatimah.

“Oh dia mas Faisal Bu, pacar Criana,” jelasku.

Mendengar ucapanku mas Faisal menyikutku, aku mengedipkan mata ke arahnya. Aku lupa tadi tidak memberitahukan kepada mas Faisal tentang sandiwara ini. Mungkin nanti setelah pulang aku akan menceritakan kepadanya.

“Oh, kamu ternyata sudah punya pacar to, makanya tidak mau ibu jodohkan dengan Randi," ucap bu Fatimah.

“Iya bu, maaf ...,” responku.

Aku melirik Randi yang duduk di sebelah bu Fatimah. Wajahnya masam, mungkin dia tidak suka mendengar aku sudah punya pacar.

Aku tahu Randi sudah lama menyukaiku. Dia memang tidak pernah menyatakannya, namun aku tahu semua itu dari tatapan dan perhatiannya yang lebih terhadapku.

“Tidak apa-apa Cri, kamu sudah dewasa, jadi sudah berhak menentukan pilihanmu sendiri. Iya kan Ran?” Ibu Fatimah melirik ke arah Randi.

“Iya bu,” jawab Randi dengan tertunduk.

Aku lega, aku berhasil membuat Ibu Fatimah percaya bahwa mas Faisal itu adalah pacarku. Mulai hari ini beliau tidak akan memaksaku lagi untuk menikah demgan Randi.

Setelah berbincang-bincang, bu Fatimah mengajak kami untuk melihat-lihat keadaan panti. Bu Fatimah bercerita panjang lebar kepada mas Faisal tentang sejarah dibangunnya panti,tahun berdirinya dan lain-lain.

 Mas Faisal berkata bahwa dia bersedia menjadi donatur tetap. Mendengarnya Ibu Fatimah sangat bahagia. Aku pun juga ikut bahagia.

Setelah waktu makan siang tiba, Bu Fatimah menjamu kami. Kami makan siang bersama dengan anak-anak panti. Aku lihat mas Faisal begitu bahagia berada di tengah-tengah kami. Tawanya begitu lepas, dia seolah-olah baru menghirup udara bebas.

Setelah jamuan makan siang usai. Aku putuskan pamit pulang. Aku yakin mas Faisal sudah di tunggu oleh keluarganya.

Kami berpamitan pada Bu Fatimah dan sekaligus pada anak-anak panti. Mereka menghantar kami hingga ke pintu gerbang. Mereka melambai-lambaikan tangannya mengiringi kepergian kami.

“Cri … terimakasih ya,” ucap mas Faisal kepadaku.

“Terimakasih untuk apa mas?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Karena aku pikir, akulah yang seharusnya berucap terimakasih.

“Terimakasih untuk hari ini. Kamu sudah membawaku ke panti. Kamu tahu? Aku bahagia sekali berkumpul bersama mereka,” ungkapnya dengan mata berbinar-binar.

Aku tersenyum mendengarnya. Memang, berkumpul dengan anak-anak yatim selalu membawa aura kebahagian tersendiri.

“Mas, aku juga terimakasih lho. Mas sudah mau menolongku,” ucapku.

“Menolong, maksud kamu? Eh tunggu, kenapa kamu tadi bilang ke bu Fatimah kalau aku ini pacar kamu?” tanya mas Faisal penasaran.

“Begini mas, sebenarnya aku keluar dari panti itu karena Ibu Fatimah mau menjodohkanku dengan Randi. Makanya tadi aku bilang kalau mas ini pacarku, agar Bu Fatimah tidak lagi menjodohkanku dengan Randi,” jelasku.

Mas Faisal tersenyum-senyum mendengar penjelasanku, “kamu itu aneh …,” ujarnya.

“Aneh kenapa mas?” tanyaku.

“Randi itu baik, tampan lagi. Kenapa tidak mau?” dia menggodaku.

“Baik dan tampan, memang sih. Tetapi hatiku tidak punya vibrasi sama sekali kepadanya,” ungkapku.

“Haha … haha, kamu ada-ada saja.” Mas Faisal terkekeh.

Kami tertawa bersama, ingin rasanya aku katakan bahwa hatiku ini hanya bervibrasi jika berada di dekatnya.


Aku meliriknya yang masih menggelar tawa dari balik kemudi. Lalu kupejamkan mata sambil menikmati aroma tubuhnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering, dia melirikku,“istriku menelpon,” ucapnya.

Aku tersentak, “angkat saja mas,” responku. Dia mengangguk, lalu mengangkat telepon dari istrinya.

“Walaikum salam, iya Ma. Ada apa?” Mas Faisal sengaja me-loudspeaker ponselnya, jadi aku bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.

“Mas lagi di mana, aku chat tidak dibuka.” Suara istrinya bergetar, seolah ada sesuatu yang gawat sedang terjadi.

“Aku lagi di jalan ini Ma, menuju pulang. Ada apa sih?” Mas Faisal mulai terlihat cemas.

“Friska mas ….” Tangis istrinya pecah di seberang sana. Jantungku berdebar.

“Kenapa Friska Ma?” Mas Faisal mulai tegang mendengar nama puteri sulungnya disebut dengan disertai tangisan oleh istrinya.

“Friska panas tinggi mas, disertai kejang," ungkap istrinya.

“Apa? Kamu ada dimana sekarang, sudah di bawa ke rumah sakit belum?” Kali ini raut wajah mas Faisal menegang, dia begitu khawatir dengan keadaan puterinya itu.

“Aku sudah ada di rumah sakit mas, mas cepat ke sini. Friska menanyakan mas terus dari tadi.” Istrinya masih tersedu.

“Ok, baiklah. Aku segera kesana.” Mas Faisal mengakhiri pembicaraan.

Telepon ditutup. Mas Faisal menambah kecepatan laju mobilnya. Kami terdiam, mas Faisal fokus mengendalikan kemudinya.

Sungguh aku merasa bersalah. Seharusnya mas Faial tidak bersamaku saat ini. Seharusnya dia berada bersama keluarganya. Friska sakit pasti karena permintaannya untuk liburan ke puncak ditolak.

“Mas, maafkan aku ya,” ucapku penuh rasa bersalah.

“Tidak Cri, tidak perlu minta maaf. Anak itu memang sering panas dan kejang. Oia aku antar kamu pulang dulu, baru setelah itu aku ke rumah sakit," ungkap mas Faisal.

“Jangan mas, aku pulang naik taxi saja. Mas harus segera menyusul ke rumah sakit. Kasihan Friska," ucapku.

“Kamu tidak apa-apa naik taxi?” tanya mas Faisal.

“tidak apa-apa mas, aku sudah biasa kok.” Aku berusaha meyakinkannya.

“Baiklah kalau begitu. Terimakasih ya atas pengertiannya,” ucap mas Faisal sambil menatapku. Aku meresponnya dengan senyuman disertai anggukan kecil.

Mas Faisal memesankan sebuah taxi online untukku. Kami memarkir mobil sebentar, setelah taxi datang, mas Faisal mempersilahkanku untuk pulang.

“Mas, kabari aku ya tentang keadaan Friska nanti," pintaku sebelum pergi.

“Ok," jawabnya.

Lalu aku naik ke dalam taxi. Bersamaan dengan itu mas Faisal pun naik ke dalam mobilnya. Aku lihat dia membawa mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi. Aku tahu, pasti dia sangat mengkhawatirkan keadaan puteri sulungnya itu.

Pernikahan adalah ikatan suci yang sangat sakral. Apalagi hubungan itu diperkuat dengan hadirnya si buah hati. Mampukah aku merebut hati dan cinta mas Faisal dari istri dan anaknya. Criana, kenapa kamu sangat bodoh, kenapa harus jatuh cinta pada suami orang. Ah ….!

***

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status