Share

2. Tidak Sabar

“Duta …” Kiya berdehem. Memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Kendati jantungnya saat ini berdetak begitu cepat, tetapi Kiya harus menjaga emosinya. “Kenapa saya harus jelasin itu ke Mas Gilang? Oh iya, Mas tadi minta arsip notulen rapat direksi, ya? Dari bulan berapa, Mas?”

Gilang berdecak karena Kiya mengabaikan pertanyaannya. “Duta itu siapa?”

“Duta itu siapa, saya rasa nggak ada hubungannya dengan Mas Gilang, kan?” Kiya tersenyum sopan sembari mengangguk. “Saya ke dalam dulu, Mas. Mau nyiapin arsip notulen. Permisi.”

“Nggak usah!” Gilang berseru sambil berjalan mendahului Kiya yang baru saja hendak mengayunkan kaki. “Gue udah nggak mood lihat kerjaan, jadi, lo boleh pulang.”

Kiya berbalik. Senyum manis itu mendadak terlukis sempurna di wajahnya. “Beneran, ya, Mas? Saya pulang, ni, ya? Jangan mendadak di telepon di tengah jalan, terus suruh balik lagi ke sini.”

“Pergi sekarang, atau lo balik malam,” ancam Gilang.

“Eh! Bentar, bentar!” panggil Gilang saat Kiya hendak berbalik pergi meninggalkannya. “Lo, kalau ke sini bawa kendaraan sendiri?”

Kiya mengangguk, sedikit bingung. “Kalau cuacanya cerah, saya bawa motor sendiri, kalau lagi hujan saya naik taksi.”

Gilang mengangguk, lalu mengibaskan tangan dengan tujuan mengusir gadis itu. “Dah! Pergilah.”

Kiya balas mengangguk. Tanpa berbicara, Kiya segera berbalik dan berlari kecil meninggalkan Gilang. Daripada pria itu berubah pikiran, lebih baik Kiya kabur segera mungkin.

Ketika Kiya sudah menghilang dari hadapan Gilang, ia segera mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.

“Mbak, di mana alamat Kiya?” tanya Gilang ketika panggilannya baru saja diterima.

“Kiya, ya …” Elok, wanita yang ditelepon Gilang menggumam panjang. “Sebentar, bukannya kamu ada di rumah?”

“Iya, aku di belakang.”

“Ya, kamu tanya Kiyalah, Lang,” ujar Elok memberi saran yang praktis dan efisien. “Lagian, jam segini Kiya masih di rumah, kan? Apa, dia sudah pulang?”

Gilang mendesah panjang sambil menggaruk kepala. Kakak perempuannya itu ternyata tidak dapat memberinya solusi. “Ya sudahlah, Mbak.” Sebelum Elok meresponsnya, Gilang segera mengakhiri panggilan tersebut.

Setelah menelepon Elok, Gilang kembali menelepon seseorang. Yakni salah satu penjaga rumah yang bertugas dari siang. “Van, ikuti Kiya dan jangan sampe dia tahu kalau elo lagi ngikutin dia.”

“Lah, Mas, saya lagi jaga di luar ini,” sahut Evan.

“Suruh yang lain gantiin elo,” titah Gilang tidak mau tahu. “Siapa, kek, yang ada di sana. Entar gue kasih uang rokok. Inget! Jangan sampe Kiya tahu kalau lo ngikutin dia. Ngerti, lo?”

“Ngerti, Mas.”

“Buruan! Dia udah keluar lima menit yang lalu,” titah Gilang lagi. “Awas kalau sampe hilang jejak. Gue berentiin lo jadi security.”

Selesai dengan masalah Kiya, sekarang ada satu hal lagi yang harus dibereskan oleh Gilang. Ia kembali memasuki rumah, dan langsung menuju ke lantai dua, di mana kamar Kasih berada. Melihat pintu kamar keponakannya tertutup, Gilang pun mengetuknya terlebih dahulu.

“Kas! Kasih.” Dengan sabar gilang menunggu di depan pintu. Walaupun tidak ada sahutan dari dalam, tetapi Gilang yakin Kasih sudah pulang ke rumah. Lantas, tidak sampai satu menit menunggu, pintu tersebut terbuka. Namun, bukan sosok Kasih yang berdiri pada celahnya.

“Mbak … El?” Gilang reflek menggaruk kepala. Sedikit kesal.

“Kasih lagi mandi,” ujar Elok kemudian bersedekap, sembari bersandar pada bingkai pintu. “Ngapain tanya-tanya alamat Kiya? Mau ngapelin dia?”

“Nggaklah!” seru Gilang menjawab cepat. “Iseng doang!”

Elok berdecak, dan menaruh sedikit rasa curiga. “Awas, ya! Jangan samain Kiya, sama perempuan-peremp—”

“Nggaklah!” Gilang kembali memutus ucapan Elok. Enggan mendengar wanita itu berceramah. “Aku mau ngirim sesuatu aja buat dia sama keluarganya. Sebagai ucapan terima kasih.”

“Nggak masuk di akal, Lang,” sanggah Elok sambil memindai penampilan sang adik dari atas ke bawah. Belakangan ini, Gilang selalu terlihat rapi dengan kemeja dan celana bahan yang sangat jarang dikenakan. Jadi, wajar rasanya bila Elok mencurigai sesuatu.

“Dimasuk-masukin ajalah, Mbak,” sahut Gilang kemudian berbalik dan meninggalkan kakak perempuannya. “Kirimannya besar, jadi nggak mungkin aku suruh Kiya bawa dari sini. Oia, jangan bilang-bilang sama Kiya!”

Tetap saja tidak masuk di akal bagi Elok. Namun, sudahlah. Elok tidak ingin memperpanjang sesuatu, karena masalahnya saja sudah sangat memusingkan kepala. “Lang! tadi ngapain cari Kasih?”

“Mau aku ajak jalan, Mbak.” Untung saja otak Gilang itu bisa berpikir cepat. Tanpa berbalik dan terus berjalan menuju tangga, Gilang kembali memberi alasan, “beli es krim! Kalau sudah mandi, buruan suruh ke bawah.”

“Aku ikut!”

Gilang kembali menggaruk kepala, karena rencananya bicara dengan Kasih terpaksa harus digagalkan kembali. “Ya, buruan!”

~~~~

“Bundaaa, ayoook!”

Kiya menoleh ke arah pintu. Menyimpulkan senyum, ketika melihat bocah berusia delapan tahun bertolak pinggang di bibir pintu. Meskipun lelah, tetapi Kiya harus tetap memenuhi janji pada bocah gembul tersebut. “Lima menit? Duta pake jaket, pake sepatu, pake helm, terus tunggu Bunda di luar dulu, okeee?”

Duta mengangguk. Namun, wajahnya sudah tertekuk masam, karena tidak sabar ingin segera pergi bersama sang bunda. Dengan segera, ia berbalik pergi menuruti perintah Kiya. Memakai jaket, sepatu dan helm yang sudah disiapkan sejak semalam di kursi kayu ruang tamu.

Sementara Kiya, segera menyapukan lipstik seadanya. Yang penting, wajahnya tidak terlihat pucat dan lebih segar. Setelah mengambil tas selempang kecil berisi dompet dan ponsel,, Kiya pun memakai jaket lalu pergi keluar kamar yang langsung berhadapan dengan ruang tamu. “Sudah siap?”

“Sebentar,” kata Duta sambil menunduk menyatukan ujung resleting jaketnya.

“Sudah pamit nenek?” tanya Kiya lagi, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sosok yang baru saja ia tanyakan pada Duta.

“Sudah,” angguk Duta seraya menarik kepala resleting, yang ujungnya sudah menyatu dan terkunci rapat. “Nenek lagi ke warung bentar.”

“Tunggu nenek bentar, ya,” kata Kiya menghampiri Duta, lalu duduk di sebelah bocah itu. “Bunda belum pamit.”

Duta kembali mengangguk, kemudian menatap sang bunda dengan telisik. Ada hal yang ingin disampaikan, tetapi Duta ragu untuk mengutarakannya.

“Kenapa?” tanya Kiya merasa ada yang disembunyikan bocah itu dari kemarin. Karena Kiya terlalu sibuk, maka ia belum sempat bertanya hal apapun pada Duta. Pekerjaannya sebagai asisten pribadi memanglah sangat menyita waktu, sehingga Kiya terkadang harus menomorduakan bocah itu. 

“Ayah kemaren ke sekolah.”

Kiya tersenyum dan tetap tenang. Mengusap kepala Duta dengan perlahan, agar putranya tidak ragu untuk bercerita padanya. Ada firasat tidak enak, karena bocah itu tidak langsung mengatakan semua hal seperti biasanya. “Terus?”

“Ayah mau pindah kerja di Kalimantan?” Duta menunduk, lalu menjatuhkan tubuhnya di pelukan Kiya. “Kata papa tempatnya jauh. Ke sananya naik pesawat.”

“Ya, nggak papa,” ucap Kiya menurunkan usapannya ke punggung Duta. Seharusnya, mantan suaminya itu memberitahukan Kiya lebih dulu dan berdiskusi dengannya. “Nanti, kan, ayah pulang lagi ke Jakarta. Jadi, Duta bisa ketemu lagi.”

“Tapi katanya lama dapat liburnya.” Duta menarik diri, menatap Kiya. 

 “Kan, bisa video call tiap hari.”

“Tapi nggak bisa sering-sering ketemu lagi.”

“Kan, masih ada Bunda.”

“Tapi … Bunda sibuk terus.”

Untuk satu hal ini, Kiya memang merasa tertampar. Bukan tanpa alasan Kiya bekerja keras tanpa mengenal waktu. Bahkan, ia sampai mengorbankan banyak hal demi pekerjaan dan kesetiaannya pada keluarga Mahardika. Kiya hanya ingin memberi pendidikan yang terbaik baik putranya, dan itu tidaklah murah. Belum lagi, Kiya saat ini juga tengah membangun sebuah rumah sederhana dari hasil kerja kerasnya selama ini.

Kiya menghela dengan membingkai wajah putranya. Menahan haru dan sesak, yang tidak bisa Kiya ungkapkan pada siapa pun. “Bunda lakuin semua ini buat Duta, buat nenek, dan buat keluarga kita.”

“Tapi–”

“Ssstt …” Kiya meletakkan telunjuknya pada bibir bocah itu. “Kalau Bunda nggak kerja kayak gini, Duta nggak akan bisa sekolah di tempat yang bagus. Duta nggak bisa beli tas, sepatu, mainan, dan kita nggak bakal bisa jalan-jalan ke mana-mana karena nggak punya uang. Nggak cuma itu, kalau Bunda nggak kerja, kita semua nggak akan bisa tinggal di rumah ini. Kita juga nggak akan bisa makan enak. Jadi, Duta harus ngerti dan nggak boleh manja.”

Untuk beberapa hal, Kiya memang kerap bersikap keras pada putranya. Ia tidak ingin Duta menjadi anak manja, karena Kiya kerap menuruti semua permintaan putranya itu. Kiya melakukan itu semua, sebagai ganti rugi atas waktu yang tidak bisa diberikannya selama ini.

“Tugas Duta itu, cuma belajar yang benar dan jadi orang sukses kalau sudah besar nanti,” lanjut Kiya. “Bunda ngerti kalau rasanya memang nggak adil,Tapi, suatu hari nanti Duta pasti ngerti, karena yang Bunda lakuin sekarang, semuanya cuma buat Duta.”

~~

“Yakin rumahnya masuk sana?” Gilang berdecak, saat melihat sebuah gang yang tidak bisa dilalui mobil. 

“Iya, Mas,” sahut Evan yang kala itu bertugas menjadi sopir Gilang. “Tapi sekitar 200 meter, belok kanan lagi ke gang yang lebih sempit dari itu.”

Gilang bersedekap. Menatap ujung jalan yang menuju rumah Kiya. Entah mengapa, nama Duta membuat Gilang tiba-tiba terusik. Terlebih lagi, asisten pribadinya itu enggan menjelaskan perihal nama Duta kepadanya. Hal tersebut memanglah hak Kiya, tetapi rasa penasaranlah yang membuat Gilang sampai harus bersikap seperti sekarang.

“Mas Gilang mau masuk?” tanya Evan memecah lamunan Gilang.

“Apa ada anak kecil di sekitaran rumahnya?” Bukannya menjawab, Gilang justru melempar pertanyaan lagi. Apa yang disembunyikan Kiya dari Gilang, sehingga gadis itu tidak ingin menceritakan perihal Duta kepadanya?

“Nggak ngerti, Mas.”

Gilang kembali memikirkan banyak hal. Jangan-jangan, Duta adalah anak Kiya?

Jangan-jangan, Kiya sebenarnya sudah menikah dan menutupi statusnya dari keluarga Mahardika.

Namun … mengapa?

Gilang mendadak menjentikkan jari. Lalu, ia mengambil ponsel yang sedari tadi berada di door pocket. Gilang segera menelepon seseorang, untuk bertanya sesuatu.

“Mbak! Dulu, waktu nyari aspri, apa aja syaratnya?” Gilang tidak mau berbasa-basi, karena ia tahu Elok juga tengah dirundung masalah pelik.

“Kenapa lagi?” Elok menghela panjang. “Kamu mau gantiin Kiya?”

“Jawab aja, biar cepat.”

“Ck! Syarat utama itu single, mau bekerja underpre—”

“Thanks, Mbak.” Gilang sudah yakin tebakannya benar, dan langsung mengakhiri panggilannya dengan Elok. 

“Lagian, Mas, kenapa mendadak kepo sama mbak Kiya?” celetuk Evan kembali mengacau lamunan Gilang. “Suka, ya?”

“Jangan ngasal lo, kalau ngomong!” Gilang mendadak sewot karena pertanyaan Evan.

Evan hanya bisa membalas dengan cengiran, dan tidak lagi berkata-kata. Bila nada bicara Gilang mulai meninggi, maka di situlah Evan harus diam. Sebuah perubahan sifat dan sikap Gilang, yang sudah bisa dimaklumi oleh seluruh orang yang bekerja di kediaman Mahardika.

“Mas, Mas!” Evan mendadak berseru, sambil menunjuk ujung gang tempat Kiya tinggal. “Itu mbak Kiya! Yang bonceng anak kecil!”

Gilang menajamkan tatapannya. Melihat seorang wanita, dengan jaket yang sering dikenakan Kiya. Tatapan Gilang kemudian bergeser cepat, melihat seorang bocah yang tengah duduk di belakang dan memeluk erat tubuh Kiya. 

Pasti bocah itulah yang bernama Duta! Gilang yakin akan hal tersebut.

“Kejar, Van!” titah Gilang tidak sabar. “Kalau sampe lepas, lo gue pecat!”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
siti rahmah
sambil nunggu Lintang lahiran, mlipir ke mas Gilang
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
mulai baca kisah Gilang....
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Gilang beneran kepo deh..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status