Share

5. Empat Mata

Gilang tidak punya jalan keluar, selain kembali ke rencana awal. Jika dibandingkan dengan Kiya, jelas saja papanya itu lebih percaya pada wanita itu daripada Gilang sendiri. Ulah Gilang selama inilah, yang membuat seluruh kepercayaan Adi hilang kepadanya. Karena itulah, Gilang butuh orang seperti Kiya untuk meyakinkan Adi, dirinya saat ini sudah berubah dan bisa diberi kepercayaan untuk masuk ke jajaran direksi Jurnal.

“Kalau suka, dilamar, Jangan tunggu jadi CEO, baru dinikahin.”

Gilang sontak membeku beberapa saat. Lamunannya tentang Kiya menguap detik itu juga. Kemudian, ia menoleh pelan pada Elok yang tersenyum, dengan pandangan yang tertuju ke halaman rumah. Apa kakaknya tahu mengenai perjanjian yang telah disepakatinya dengan Kiya? Atau, hal tersebut hanyalah sindiran semata, tanpa ada maksud apa-apa.

Lantas, Gilang pun terkekeh hambar untuk menanggapi ucapan Elok tersebut. “Lagi ngomongin siapa, Mbak?” tanyanya pura-pura tidak tahu.

“Kamu, sama Kiya?” todong Elok tanpa ingin berbelok-belok. Ia sedikit memutar posisi duduknya, lalu mengusap perut yang sudah membesar. “Kiya itu pekerja keras, dia jujur, dan … overall dia itu baik. Nggak neko-neko anaknya.”

Don’t judge a book only by its cover, Mbak.”

“Aku nggak lagi ngejudge Kiya.” Elok menoleh tanpa mengulas senyum. “Aku kenal sama Kiya itu nggak setahun dua tahun, Lang. Lebih dari itu, sampai aku sama papa bisa percaya 100 persen sama dia.”

“Itu karena kita banyak uang.” Gilang memberi senyum miring pada Elok. “Coba kalau kita bukan siapa-siapa, memangnya dia mau seloyal itu sama kita? Bullshitlah, Mbak.”

“Kamu ini kenapa, sih, Lang?” Elok jadi bingung sendiri. Bila ada surat perjanjian antara Gilang dan Kiya akan menikah, mengapa sikap adiknya itu terkesan tidak peduli. Sebenarnya, apa yang mendasari hingga surat perjanjian itu dibuat? “Kenapa bawaannya sensi terus sama Kiya?”

Gilang bersedekap. Menghela panjang karena tidak bisa menjawab pertanyaan Elok dengan pasti. “Dia itu nggak tulus, Mbak. Di matanya cuma ada uang, uang dan uang.”

Elok semakin bingung. Yang ia tahu, Kiya bukanlah seorang gadis matre, yang selalu mementingkan uang di atas segalanya. Namun, mengapa pandangan Gilang justru seperti itu?

“Lang—”

“Nggak tahulah, Mbak.” Gilang berdiri dan berniat masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum ia melangkah, Gilang menatap Elok dan kembali menghela. “Mulai besok, tolong ajari aku semua hal tentang Jurnal. Terutama masalah yang sering ada di direksi. So, jadikan aku asistenmu mulai besok.”

Kedua alis Elok hampir tertaut mendengar perkataan Gilang. Hampir tidak percaya bila sang adik bisa tiba-tiba berubah dan memiliki niat serius untuk memegang Jurnal. “Serius?”

“Yaiyalah.”

“Terus Kiya?”

“Dia …” Gilang menoleh sejenak pada gadis yang baru saja ditanyakan Elok. “Terserah. Aku sudah nggak butuh dia lagi.”

“Lang, wait, kenapa—”

“Aku ke dalam dulu, Mbak,” kata Gilang memotong ucapan Elok karena tidak ingin lagi meneruskan pembicaraan mereka. Sudah cukup rasanya bekerja dengan Kiya selama beberapa bulan ini, dan Gilang hampir bisa meraih kepercayaan Adi. Jadi, Gilang rasa ia tidak lagi membutuhkan Kiya. “Biar aku panggilkan mas Lex.”

“Aku sudah di sini,” ucap Lex baru saja berhenti di belakang kursi Elok.

Gilang tersenyum. Ikut senang karena melihat Elok yang kembali ceria dan dipenuhi kebahagiaan. “Dicariin dari tadi, Mas.”

Gilang segera berlalu, sembari menepuk pelan pundak kakak iparnya. Namun, langkahnya terhenti di tangga teras saat melihat Adi baru saja keluar dari rumah.

“Mau ke mana, Lang?” Adi terus saja berjalan dan berhenti di depan putranya. Beberapa bulan belakangan ini, Gilang memang menunjukkan kemajuan yang pesat. Putranya itu lebih fokus dengan masalah perusahaan, dan sudah tidak pernah lagi pergi ke luar untuk bersenang-senang, sampai tidak pernah pulang ke rumah seperti dulu.

“Aaa, nggak ada,” ucap Gilang tiba-tiba tidak bisa berpikir apapun. “Cuma mau ke dalam.”

“Ngapain di dalam.” Adi membalik tubuh Gilang lalu merangkulnya. Mengajak kembali ke halaman rumah, untuk berbaur dalam pesta gender reveal sederhana yang diadakan Elok. “Nggak ada orang.”

Gilang tidak dapat mengelak. Ia kembali ke tempat semua, lalu duduk melihat jalannya acara sembari terus menatap Kiya. Sejak Gilang mengetahui status gadis itu yang sebenarnya, ia semakin menjaga jarak. Lebih banyak diam, dan hanya bicara ketika membahas masalah pekerjaan saja.

Gilang akui, Kiya memang menguasai hampir semua lingkup pekerjaan Elok. Gadis itu sangat profesional, dan fokusnya tidak pernah terpecah sama sekali. Namun, kebohongan Kiyalah yang membuat Gilang tidak bisa bersikap ramah seperti dahulu kala.

~~~~

“Mau bicara apa, Lang?”

Setelah pesta sederhana Elok digelar, Gilang meminta waktu untuk bicara empat mata dengan Adi di ruang kerja. Melihat wajah serius putranya, maka Adi menghilangkan senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya.  

“Aku sudah siap masuk lagi ke Jurnal.” Gilang berujar penuh percaya diri, agar Adi juga bisa yakin dengan dirinya.

“Panggilkan Kiya, kalau begitu,” pinta Adi.

Gilang sedikit terkesiap. Mengapa Adi harus memanggil Kiya? Sementara pembahasan mereka hanya perlu diputuskan oleh Adi seorang?

“Kenapa?”

“Papa mau dengar sendiri dari Kiya, apa kamu betul-betul siap terjun ke Jurnal, atau cuma …” Adi mengangkat kedua bahunya sekilas. “Sebenarnya, bagaimana hubunganmu dengan Kiya, Lang? Kenapa nggak ada kemajuan? Katanya kalian dekat, tapi, kenapa kelihatan berjarak? Kalian putus?”

Gilang mengerjap pelan. Di mata papanya, Gilang dan Kiya memang menyatakan kedekatannya, sesuai dengan surat perjanjian yang pernah dibuat. Gilang ingin membuktikan, bahwa ia tidak lagi main perempuan dan bisa setia pada satu gadis saja, yakni Kiya. Di samping itu, Gilang juga sudah menunjukkan keseriusannya dalam memahami seluk beluk pekerjaan Elok dari Kiya selama ini.

Namun, Gilang rasa sudah cukup untuk semuanya. Ia ingin terjun langsung ke dalam Jurnal, dan menghadapi kenyataan yang sebenarnya.

“Setelah dijalani … sepertinya kita lebih cocok jadi partner kerja.” Satu kebohongan, pasti akan ditutup dengan kebohongan lainnya. Itulah yang sedang Gilang perbuat saat ini, untuk meyakinkan Adi.

“Itu karena kalian nggak pernah … jalan berdua.” Haruskah Adi turun tangan kembali, untuk menyatukan Gilang dan Kiya? Seperti halnya dengan putrinya dan Lex? “Kalian berdua itu selalu ketemu di rumah, dan cuma ngurusin pekerjaan. Pergilah keluar sekali-kali, bawa Kiya.”

Setelah kecelakaan, Gilang hampir tidak pernah keluar rumah dalam waktu yang lama. Sangat berbeda dengan Gilang dahulu kala. Yang terkadang tidak akan pulang ke rumah, bila Dianti tidak menelepon dan memintanya untuk pulang.  

“Aku lebih suka ada di rumah.” Dengan kondisi Gilang yang sudah tidak sempurna ketika melangkah, ia tidak punya kepercayaan diri bila harus tebar pesona seperti dahulu kala. Gilang lebih suka mengkoordinir event organizernya dari balik meja, tanpa harus ikut turun ke lapangan. Kecuali, untuk menemui sponsor-sponsor besar, barulah Gilang langsung turun tangan. Itu pun, Gilang akan segera pulang ke rumah bila semua sudah selesai.

“Lang, Papa tahu kamu itu lebih ahli merayu perempuan daripada Papa.” Entah sudah berapa banyak wanita yang dikencani oleh Gilang dahulu kala. Adi sampai sudah tutup telinga, bila mendengar berbagai macam gosip tentang putranya itu. “Jadi, ajaklah Kiya makan malam dan bicarakan lagi hubungan kalian dengan situasi yang berbeda.”

“Pa, bisa kita nggak bicara tentang Kiya?” Gilang harus mengalihkan topik pembicaraan sesegera mungkin. “Aku mau masuk ke Jurnal lagi.”

Adi mengangguk paham dengan keseriusan putranya. “Oke, keluar dan panggilkan Kiya lebih dulu. Papa mau bicara empat mata sama dia.”

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
penasaran sama suaminya kiya
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Niatnya Gilang mw mendepak Kiya, eh papanya malah percaya penuh sama Kiya.
goodnovel comment avatar
Ari_82
Gilang jadi temprament ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status